Jumat, 13 April 2012

LARANGAN MEMINANG GADIS KECIL MELALUI WALINYA DAN GADIS DEWASA LENGSUNG KEPADA YANG BERSANGKUTAN

LARANGAN MEMINANG GADIS KECIL MELALUI WALINYA DAN GADIS DEWASA LENGSUNG KEPADA YANG BERSANGKUTAN

Imam Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (6/128-129):
عن عراك ان النبي ص م خطب  عا ئشة الي ابي بكر فقال له ابو بكر: انما انا اخوك فقال له: اخي في دين الله وكتابه وهي لي حلال. رواه البخاري هكذا مرسلا
“Dari ‘Arak dari Urwah, sesungguhnya nabi SAW meminang ‘Aisyah melalui Abu bakar, lalu Abu Bakar berkata kepadanya: Sesungguhnya aku adalah saudaramu, maka Nabi bersabda: Engkau saudaraku dalam Agama Allah dan kitabnya, dan dia (‘Aisyah) halal bagiku. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diriwayatkan secara mursal.”

وعن أم سلمة قالت ‏ "‏لما مات أبو سلمة أرسل إليّ النبي صلى اللّه عليه وآله وسلم حاطب بن أبي بلتعة يخطبني له فقلت له إن لي بنتا وأنا غيور فقال أما ابنتها فتدعو اللّه أن يغنيها عنها وأدعو اللّه أن يذهب بالغيرة‏" ‏‏.‏
مختصر من مسلم‏.‏
“Dan dari Ummi Salamah, ia berkata: ketika abu salamah meninggal, nabi saw mengutus habib bin abi balta’ah kepadaku guna meminangku untuknya. Maka aku berkata kepadanya: sesungguhnya aku mempunyai seseorang anak gadis, sedang aku pencemburu. Lalu nabi bersabda, “adapun tentang anak gadisnya, aku berdoa kepada Allah, semoga Allah memberinya kecukupan dan aku (juga) berdoa kepada Allah, semoga ia menghilangkan cemburunya”. (diringkas dari riwayat muslim)
Mengenai hadist yang pertama adalah salah satu hadis yang diriwayatkan secara mursal, maksud mursal disini adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, dan hukum daripda hadis mursal adalah dhoif dan menganggapnya sebagai bagian dari hadist mardud (tertolak), karna tidak diketahui kondisi perawinya.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa dibolehkan bagi seorang ayah untuk menikahkan putrinya sebelum memasuki usia baligh." Dan beliau juga mengatakan (Syaukani), "Hadits tersebut menunjukkan dibolehkannya pernikahan usia muda dengan usia tua." Mengenai perkawinan gadis muda, Imam Bukhari meletakkan pada bab tersendiri dengan menyebutkan hadits Aisyah dan mengatakan di dalam mukadimah babnya, bahwa hal itu adalah sesuai ijma'.
Tidak terdapat perbedaan di kalangan ulama berkaitan tentang permintaan persetujuan dari seorang gadis muda yang akan dinikahkan. Ayahnyalah yang mempunyai hak untuk mengawinkan tanpa meminta persetujuan darinya. Dan gadis muda tidak mempunyai hak untuk mengizinkan perkawinan. Sebab Abu Bakar Ash-Shidiq Radiyallahu anhu menikahkan putrinya, Aisyah dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pada umur 6 tahun dan digauli oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pada umur 9 tahun.(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sedangkan yang dimaksud dengan perkataan “sedang aku adalah pemcemburu” dalam hadis yang kedua adalah timbulnya rasa cemburu apabila suami menikah lagi dengan perempuan lain (poligami). Dan ini menunjukkan bahwa meminang perempuan janda yang sudah dewasa adalah dengan cara langsung kepada yang bersangkutan.

LARANGAN MEMINANG PEREMPUAN YANG SUDAH DIPINANG ORANG LAIN
عن عقبة بن عا مر ان رسول الله (ص) قال : المؤمن أخوالمؤمن فلا يحل للمؤمن ان يبتا ع على بيع أخيه ، ولايخطب على خطبة أخيه حتى يذر  (رواه أحمد ومسلم)
“Dari Ukbah bin Amir sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda: seorang mu’min adalah saudara bagi mu’min yang lain maka tidak dihalalkan seorang mu’min membeli sesuatu yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak dihalalkan melamar seseorang yang telah dilamar oleh saudaranya hingga.saudaranya meninggalkannya.(HR. Ahmad dan Muslim)
عن ابن عمر أن رسول الله (ص) قال : لايخطب الرجل على خطبة الرجل حتى يترك الخا طب قبله أويأ ذن له الخا طب.       (رواه أحمد والبخا رى والنسائ)
“Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasullah SAW Bersabda: tidak boleh seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau ia telah diizinkan oleh peminang sebelumnya. Diriwayatkan oleh ahmad dan Bukhari dan Nasa’i)”
Para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain  berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan : “ Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang sholeh ( orang fasik ), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk melamar perempuan tersebut. “ (  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz :  2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut ? Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena dating laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian dan dendam antara satu dengan yang lain.
Keadaan Pertama:
Namun dalam perkembangannya apabila laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya maka terdapat beberapa pendapat para ulama mengenai hal ini. diantaranya:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah swt, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari madzhab Dhohiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah saw mengadu :
قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku merasa bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas :
وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ
“Fatimah telah memberitahukan Rasulullah saw bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah saw pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah saw melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang ( yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain ),  saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama ; Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadist Ibnu Umar di atas yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua : Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid ( pendapat yang terbaru ). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadist Fatimah binti Qais menunjukkan bahwa dia  ( Fatimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah saw tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.
itu, di dalam hadist tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad saw bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fatimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.

MEMINANG YANG SEDANG MASA IDDAH DENGAN SENDIRIAN
عن فاطمة بنت قيس ‏ "‏أن زوجها طلقها ثلاثا فلم يجعل لها رسول اللّه سكنى ولا نفقة قالت وقال لي رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم إذا حللت فآذنيني فآذنته فخطبها معاوية وأبو جهم وأسامة بن زيد فقال رسول اللّه أما معاوية فرجل ترب لامال له وأما أبو جهم فرجل ضراب للنساء ولكن أسامة فقالت بيدها هكذا أسامة أسامة فقال لها رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم طاعة اللّه وطاعة رسوله قالت فتزوجته فاغتبطت‏" ‏‏.‏
رواه الجماعة إلا البخاري‏.‏
Dari Fatimmah binti Qais : sesungguhnya suaminya telah mentalak tiga kali, sehingga rasulullah SAW tidak memberinya (hak) tempat tinggal dan nafkah. Fatimmah berkata dan Rosullah SAW bersabda kepada ku : “ apabila engkau telah halal dengan habis iddah, maka beritahulah aku”. Kemudian aku memberitahu kepadanya. Lalu ia dipinang oleh Mu’awiyah. Abu Jahm dan Usamah bin Zaid. Kemudian Rosullah SAW bersabda, “ Adapun Mu’awiyah adalah seorang laki-laki miskin, tidak berharta sama sekali sedang Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang suka memukul perempuan. Tetapi Usamah..... lalu Fatimah berkata (menirukan ucapan nabi) dengan menggerakan tangannya demikian : Usamah! Lalu berkatalah Rosullah saw. Kepada Fatimah, “taatlah kepada Allah dan kepada Rosul-Nya”. Fathimah berkata: kemudian aku kawin dengan Usamah. Lalu akupun berbahagia. (HR.Jamaah kecuali Bukhari)
وعن ابن عباس ‏ "‏فيما عرضتم به من خطبة النساء يقول أني أريد التزويج ولوددت أنه يسر لي امرأة صالحة‏" ‏‏.‏
رواه البخاري‏.
Dari ibnu Abbas r.a  (tentang firman Allah) “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran”.(QS. Al-Baqarah:235) ia berkata (memberi contoh kata sindiran dalam meminang, yaitu seperti): sesungguhnya aku ingin kawin, dan senag sekali bila ada seorang perempuan solikhah yang mau denganku. Hadis riwayat Bukhari.
Lengkap kutipan ayat di atas ialah:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُوا قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمُُ {235}

"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Baqarah: 235).

Pelajaran dari Ayat :
    Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
    Bolehnya menawarkan diri kepada wanita tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau ‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan yang semisal)
    Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan) dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
    Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai, dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar