MODERNISME DALAM SEJARAH FILSAFAT INDONESIA
Tujuan dan Manfaat
Tujuan utamanya ialah memulai tulisan perdana (pioneering) yang mengkaji Sejarah Filsafat Indonesia, yang selama ini, hemat penulis, dapat dikatakan belum pernah ada. Kedua, dengan kajian ini penulis hendak menganalisa fenomena filosofis yang penulis sebut dengan ‘Modernisme’—yakni, semua pemikiran atau
gagasan yang mengritik tradisi Adat, yang terinspirasi oleh pemikiran dan gagasan Modernisme-Barat. Tujuan utamanya ialah memulai tulisan perdana (pioneering) yang mengkaji Sejarah Filsafat Indonesia, yang selama ini, hemat penulis, dapat dikatakan belum pernah ada. Kedua, dengan kajian ini penulis hendak menganalisa fenomena filosofis yang penulis sebut dengan ‘Modernisme’—yakni, semua pemikiran atau
Manfaat yang mungkin didapat dalam kajian ini adalah, setidaknya, generasi Indonesia di masa datang akan mengetahui bahwa kajian Sejarah Filsafat Indonesia sudah pernah dimulai. Kedua, dengan dimulainya kajian tersebut berarti tradisi Filsafat Indonesia sudah memasuki ‘era historis’—era penulisan—yang karenanya, generasi baru Indonesia dapat menggumulinya, mengritiknya, membuat solusi baru dan gagasan baru darinya, sehingga tradisi Filsafat Indonesia kian maju lagi dan dinamisme sejarah budaya Indonesia berjalan dengan semestinya, bukan karena paksaan luar seperti di era kolonialisme dulu. Ketiga, kajian ini setidaknya dapat membuat generasi baru Indonesia lebih tahu tentang tradisi filosofis yang dijadikan sasaran kritik Modernisme yang disebut Adat itu, sebab-sebab mereka mengritik Adat, apa yang disebut Modernisme dalam konteks historis Filsafat Indonesia, dan apa pandangan mereka terhadap Adat, sehingga dengan pengetahuan itu, generasi muda dapat membuat perbandingan, memutuskan pilihan, dan berjuang dengan pilihannya itu untuk menjadikan ‘proyek Indonesia’ lebih baik di zaman mereka nanti.
Ruang Lingkup Studi
Karena ini merupakan kajian pionir dalam bidang Sejarah Filsafat Indonesia, penulis masih sulit untuk menunjukkan ruang lingkupnya. Untuk sementara, dapatlah dikatakan bahwa lingkup kajian Sejarah Filsafat Indonesia cukup luas karena banyak fenomena filosofis yang dapat dikaji olehnya, misalnya, fenomena Filsafat Adat, Modernisme, Paskamodernisme, Filsafat Indonesia Kontemporer, Filsafat Paska-Soeharto, dsb. Dalam tulisan ini, penulis membatasi kajian historisnya pada fenomena filosofis yang penulis sebut ‘Modernisme’, dengan alasan-alasan yang telah dijelaskan di muka. Karena munculnya Modernisme di Indonesia dipengaruhi dan disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal, maka di sini dikaji pula sebab-sebab itu, seperti kritik Wahhabiyah terhadap Adat di awal abad 19, kritik kolonialisme dan Protestantisme Belanda terhadap Adat di abad 17, serta kritik ‘anak kandung’ Indonesia sendiri yang diwakili oleh R.A. Kartini terhadap Adat di awal abad 19. Beberapa filsuf modernist Indonesia yang dikaji di sini memang ada yang di kemudian hari mengritik Modernisme yang pernah mereka puja, tapi itu tidak dibahas di sini. Mungkin, jika Sang Waktu mengijinkan, pembahasan mengenai itu akan ditulis dalam tulisan mengenai fenomena yang penulis sebut sebagai ‘Paskamodernisme’.
Sebagai pembanding, penulis juga membahas secara sepintas Modernisme dalam Sejarah Filsafat Barat, untuk mengetahui sebab-sebab historis yang menyebabkan para filsuf Barat menolak ‘Filsafat Pertengahan Barat’ dan mengadopsi ‘Filsafat Modern’ atau Modernisme, yang dengannya diharapkan dapat ditelusuri imbas-imbasnya dalam kemunculan Modernisme di Indonesia.
Modernisme dalam Sejarah Filsafat Barat
Para ahli Sejarah Filsafat Barat menyepakati dengan kesepakatan bulat, bahwa tradisi Filsafat Barat dimulai dengan ditemukannya tulisan Aristoteles di Yunani-Kuno (Old Greek) pada sekitar abad ke-4 SM, yang dianggap sebagai tulisan mula-mula yang dapat ditemukan dalam tradisi Filsafat Barat. Era sejak abad 4 SM hingga sekitar abad 3 M, kerap disebut oleh sejarawan filsafat dengan sebutan ‘Filsafat Barat Klasik’ (Classic Western Philosophy), sementara era dari abad 3 M hingga sekitar abad 16 M disebut mereka dengan ‘Filsafat Barat Pertengahan’ (Medieval Western Philosophy). Era ‘Filsafat Barat Modern’ (Modern Western Philosophy) tentu saja adalah era setelahnya, yakni setelah abad 16 M hingga sekitar abad 20 M.[i]
Bukan hanya perbedaan era yang mengimplikasikan bahwa Filsafat Barat mengalami evolusi dan metamorfosa, tapi juga perbedaan minat dan perhatian para filosof Barat yang hidup dalam era historis yang berbeda. Para filosof Barat Pertengahan mengalihkan perhatian mereka dari penelaahan terhadap alam dan pencarian kebahagiaan hidup yang dominan di ‘Era Klasik’, kepada problem-problem seputar keselamatan hidup di alam lain yang lebih baik (Alam Akhirat), sementara para filosof Barat Modern merubah wacana filosofis mereka dari perbincangan tentang keselamatan ukhrawi kepada diskursus tentang keselamatan pribadi (personal faith), pandangan mekanistik tentang alam semesta, aplikasi ilmu fisika dalam pandangan hidup, dan pencarian kepuasan untuk memenuhi hasrat-hasrat alamiah manusia. Jadi, dalam Sejarah Filsafat Barat, satu periode mengungguli dan menaklukkan periode filsafat yang sebelumnya dan pandangan ‘penakluk’ yang menang kelak menjadi pandangan ‘baru’; pandangan arus-utama dalam alur sejarah berikutnya.[ii]
Jika memang demikian, maka muncul pertanyaan: ‘aliran filsafat apakah yang ditaklukkan oleh Filsafat Barat Modern?’ Tentu saja jawabannya ialah ‘Filsafat Barat Pertengahan’. Lalu, apa saja pandangan filosofis era pertengahan yang ditaklukkan oleh ‘Filsafat Barat Modern’ itu? Frasa ‘Abad Pertengahan Barat’ (The Medieval Western Period) sering pula disebut dengan sebutan lain, ‘Abad Gelap’ (The Dark Ages), yang tentunya dibuat oleh filsuf modernist untuk menegaskan bahwa hanya di zaman mereka hiduplah Dunia Barat memasuki ‘Abad Terang’ (Aufklärung) atau ‘Abad Cahaya’ (Enlightenment). Karena diproduksi dalam periode ‘Abad Gelap’, maka produksi filsafat yang terjadi di dalamnya disebut pula oleh mereka sebagai ‘Filsafat Gelap’. Lalu, apa yang sebenarnya mereka anggap ‘gelap’?
Kata ‘gelap’ jelas merupakan ejekan filsuf modernist atas tradisi Kristiani Barat yang sudah mengalami aus: terjadi kontradiksi antara ideal-ideal Kristiani dengan realitas-realitas Kristiani dalam sejarah kongkret. Kegerejaan (papacy) yang semestinya merupakan manifestasi dari Bapak, Roh, dan Yesus di dunia, justru malah beraliansi dengan ‘Setan’ : kekuasaan duniawi monarki Barat yang gila-harta dan gila-kuasa.[iii]
Sebelum munculnya filsuf modernist, kritisisme sudah lebih dulu dilancarkan ‘dari dalam’ terhadap tradisi Kristiani yang sudah mulai dekaden dalam organisasi papacy itu, pertama-tama dengan cara sembunyi-sembunyi, kemudian terang-terangan. Beberapa romo Katolik mulai mengritik beberapa tradisi Gereja Kristiani Barat yang mapan. Seorang pastor Inggris bernama John Wycliffe (1330-1384), misalnya, menentang kebijakan Gereja untuk mengumpulkan pajak wajib (papal levies) atas kerajaan-kerajaan. Ketika Paus menyerukan kerajaan-kerajaan untuk wajib mengumpulkan uang pajak buat Gereja, John malah menulis beberapa pamflet yang isinya menentang seruan Paus dan mendukung upaya kerajaan-kerajaan Barat untuk mengurangi hak-hak Gereja atas kerajaan. Tindakannya tersebut jelas membuat pihak Gereja panas. Bukan hanya itu, pada tahun 1376, John mengajarkan doktrin ‘kekuasaan berdasarkan karunia Tuhan’ (doctrine of ‘dominion as founded in grace’), yang mengajarkan bahwa otoritas merupakan karunia langsung dari Tuhan, oleh sebab itu, otoritas akan hilang, apabila si pemegang otoritas melakukan dosa. Walaupun doktrin ini tidak secara langsung mengritik Gereja Inggris sebagai berdosa dan berkecenderungan duniawi, namun implikasinya jelas. Pada 19 Februari 1377, John dipanggil menghadap bishop London, William Courtenay, untuk mempertanggungjawabkan kebenaran doktrinnya dan pada 22 Mei 1377, Paus Gregorius XI menuduhnya sebagai ‘pembid’ah’ (heretic). Tapi itu semua tidak membuat John gentar. Pada 1378, John menerjemahkan Bible Latin (Vulgate) ke dalam bahasa Inggris, suatu tindakan yang dianggap menyalahi tradisi papacy, karena penerjemahan ke dalam bahasa awam akan merendahkan kesakralan Bible Latin itu. Tapi, tak ada tindakan yang amat memukul perasaan pihak Gereja Inggris selain yang satu ini: pada 1379, John secara terang-terangan menolak doktrin ‘transubstansiasi’, suatu dogma tradisional Gereja yang amat mapan, karena merupakan fundamental ajaran Kristiani Barat yang disahkan dalam Konsili Trent (1551). Doktrin tersebut mengajarkan bahwa dalam sakramen Ekaristi (Ibadah Syukur) roti dan anggur merupakan badan dan darah Yesus yang sebenarnya, meskipun manifestasi luarnya tetap merupakan roti dan anggur.[iv] John mengajarkan ‘ajaran sesat’ nya kepada banyak muridnya, lalu menyuruh muridnya untuk mewartakan ajarannya. Mereka terkenal dengan sebutan ‘Pewarta Miskin’ (the Poor Preachers).[v]
Karena semua yang dilakukannya, pada Mei 1415, Konsili Constance memutuskan, bahwa John sungguh-sungguh seorang pembid’ah dan ajaran-ajarannya harus dilarang. Konsili memerintahkan agar badannya dibakar hidup-hidup dan itu dilakukan pada 1428. Setelah badannya dikubur pun, John masih juga disiksa. Tulang-tulangnya yang telah dikubur di tanah digali kembali atas perintah Gereja, lalu tulang-tulangnya dibakar sambil dicaci-maki, dan abunya dibuang ke sungai.[vi]
Setelah dikritik, amat disayangkan, Kegerejaan tidak berintrospeksi-diri, tapi justru kian bertindak tidak masuk-akal. Tapi, bagaimana mungkin berintrospeksi-diri jika 'materi' (maya) lebih menarik di mata Gereja di masa itu daripada 'roh' (brahma)? Seorang monk dari Siena bernama Pietro mengaku mendapat wahyu (revelation) dari Yesus untuk menangkap Giovanni Boccaccio (1313-1375) lantaran ia mempelajari puisi Yunani-Kuno dan membuat puisi sepertinya. Hal itu amat membuat Boccaccio gusar. Lalu, Boccaccio menulis surat kepada Francesco Petrarca (1304-1374), yang lalu dijawabnya sebagai berikut:
…it is an ancient abuse, that an air of divinity should draw a veil of religion over lies and falsities, that men should pretend to sanctity in order to hide human trickery…[vii]
(…ini merupakan penyelewengan yang sudah kuno, bahwa Tuhan harus membuka tirai kebohongan dan kepalsuan agama, bahwa manusia harus pura-pura suci, supaya dapat menyembunyikan tipuan-tipuannya.)
Petrarca mengritik pastor tersebut sebagai ‘pura-pura suci, supaya dapat menyembunyikan tipuan-tipuannya’. Kalau saja dia tidak dilindungi oleh Cosimo de’ Medici (1389-1464), penguasa Italia di zaman itu, mungkin Giovanni dan Petrarca dibunuh pihak Gereja.[viii]
Gereja Barat kembali mendapat serangan telak dari ‘anak’ nya sendiri, ketika Martin Luther (1483-1546), seorang pastor Jerman, secara terang-terangan pada tahun 1517 mengritik praktek jual-beli surat penghapusan dosa (indulgence) bagi orang yang telah mati, dalam tulisannya berjudul Disputation on the Power and Efficacy of Indulgences yang lebih terkenal dengan ‘Ninety-Five Theses’ (95 Alasan), yang di dalam Tesis No.11 Luther menegaskan:
…Ignorant and wicked are the doings of those priests who, in the case of the dying, reserve canonical penances for purgatory…(H.E.Jacobs 1915:3).
(…Jahil dan jahatlah tindakan para pastor yang, dalam kasus dosa orang yang telah mati, melakukan sakramen penghapusan dosa…)
Menurut Luther, ketentuan tentang penebusan dosa hanya diuntukkan bagi orang yang masih hidup, bukannya orang yang telah mati (Tesis No.8). Jual-beli surat penebusan dosa untuk orang mati, menurut Luther, hanya bertujuan memperkaya aparat Gereja—sesuatu yang amat dibenci Luther. Kata Luther: ‘…Christians are to be taught that the pope, in granting pardons, needs, and therefore desires, their devout prayer for him more than the money they bring…’ (Orang Kristiani harus diajarkan bahwa Paus, ketika memberikan pengampunan, memenuhi kebutuhan serta keinginan mereka, doa mereka lebih tulus daripada uang yang mereka bawa…).[ix]
Kemapanan tradisi telah digoyang secara hebat oleh ‘orang dalam’, sehingga ‘orang luar’ tinggal mereguk keuntungan darinya. Ilmu-ilmu yang diajarkan Gereja seperti teologi dan metafisika mulai ditinggalkan orang. Sebagai gantinya, orang Barat mempelajari ilmu fisika, matematika, sejarah, puitika, retorika, dan estetika, yang dikenal dengan sebutan the humanities. Segala ilmu pengetahuan, yang dulunya selalu dinspirasikan ayat-ayat Alkitabiah dan menerima asumsi-asumsi Alkitabiah, kini mulai digali dari pengalaman kemanusiaan yang biasa, dan menghasilkan asumsi-asumsi humanistik yang jelas saja bisa berbeda dari sebelumnya. Niccolò Machiavelli (1469-1527), misalnya, menulis bukunya tanpa satupun ayat Alkitabiah yang dikutip, tapi berdasarkan pengamatan dan observasi empirisnya sendiri. Bukunya yang terkenal, The Prince, berisi konsepsi monarki baru yang sepenuhnya sekuler, karena sama sekali tidak menyinggung agama di dalamnya—sesuatu yang amat tidak lazim dalam tradisi Christendom di masa itu. Lalu muncul René Descartes (1596-1650), yang dalam bukunya Discourse on Method, mengutamakan ‘keraguan metodis’ (methodic doubt) untuk mendapatkan pengetahuan, yakni, meragukan segala-galanya sampai kemudian mencapai kepastian yang tak terbantahkan, dan bukannya lewat resep-resep wahyu dari Kitab Suci. Sejak kemunculan Descartes, maka dimulailah ‘Filsafat Barat Modern’, yang dasarnya ialah keraguan dan tujuannya menghilangkan keraguan lewat pembuktian rasional, bukan lewat keyakinan wahyu.[x]
Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia
Berbeda dengan tradisi kesejarahan Barat, di Indonesia tradisi kesejarahan belum menyentuh bidang Filsafat. Sejauh penelitian penulis, belum ada sejarawan Indonesia yang pernah menulis kajian Sejarah Filsafat Indonesia. Karena itu, mengkaji tradisi Filsafat Indonesia dari dimensi kesejarahan menjadi tugas yang cukup sulit, karena merupakan tugas pionir yang cukup melelahkan. Dimulai dengan pengumpulan bahan kesejarahan, diikuti dengan pembacaan dan interpretasi kesejarahan, lalu diakhiri dengan penyusunan buku sejarah. Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa tugas itu mustahil dimulai. Dengan data-data yang minim, penulis terpaksa harus merekonstruksi kesejarahan Filsafat Indonesia secara pionir.
Adat, khazanah peradaban asli Indonesia, tidak pernah berhasil ditaklukkan secara sempurna oleh peradaban apapun yang pernah mencoba untuk menaklukkannya. Hinduisme dan Buddhisme dari India, Konfusianisme dari Cina, Islam dari Arab dan Persia, kemudian Katolikisme dan Protestantisme dari Eropa, memang pernah berpenetrasi dalam otak manusia Indonesia dan pernah mewarnai budaya dan peradabannya, tapi tak pernah sekali-kali mampu menggantikannya secara total.
Menghadapi serbuan penetrasi peradaban asing itu, penegak Adat (di Minang disebut penghulu) melakukan strategi ‘indigenisasi’ (pempribumian), yakni, mereka membiarkan peradaban asing itu masuk, lalu membiarkan rakyat untuk memilih-milih mana dari peradaban asing itu yang dapat mereka terima, dan jika diterima, peradaban itu harus diekspresikan lewat filter dan dengan bahasa lokal Adat. Jadi, sebenarnya, peradaban asing itu bukannya menaklukkan, tapi ditaklukkan oleh Adat.
Adat tidak mungkin ditaklukkan dan tidak mungkin dibiarkan untuk ditaklukkan oleh peradaban asing, karena, dalam pandangan Adat, Adat bersifat abadi, tak berubah-ubah. Hampir semua suku etnis lokal berpandangan bahwa Adat tidak boleh berubah dalam bentuk perubahan yang aksidental-historis. Suku Bugis mengatakan ‘rusak taro datu tenrusak taro ade`’ (hukum raja bisa saja rusak, tapi hukum Adat tidak bisa rusak). Suku Melayu-Minangkabau mengatakan ‘Adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’.
Untuk menghadapi penetrasi peradaban asing ke dalam Adat, suku Melayu-Riau membuat 3 (tiga) jenis Adat : (1) Adat sebenar adat, (2) Adat yang diadatkan, dan (3) Adat yang teradat. Adat yang disebut pertama ialah Adat yang abadi, sedangkan dua Adat yang disebut terakhir, yang dibuat sesuai kepentingan manusia dalam masa historis tertentu ialah Adat yang temporal. Peradaban asing bisa saja berpenetrasi ke dalam Adat yang diadatkan dan Adat yang teradat, tapi mustahil ke dalam Adat sebenar adat.[xi] Karena itu, boleh saja orang Islam senang dengan pepatah Melayu-Minang ini, ‘adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah’, tapi sesungguhnya penetrasi Islam ke dalam peradaban Adat Minang hanya dibiarkan sebatas ‘kulit’. ‘Kulit’ nya nampak sebagai Islamik, tapi sesungguhnya ‘isi’ nya tetap Adat. Atau, ‘kulit’ dan ‘isi’ nya dibiarkan Islamik, tapi kemudian yang dipilih oleh Adat ialah yang serupa dengan ‘isi’ Adat. Maka, tak heran, seorang Minang yang Muslim melakukan shalat 5 (lima) waktu, tapi juga tetap melakukan upacara-upacara spiritual Adat.
Mengeluarkan ‘isi’ yang universal-abadi dari ‘kulit-kulit’ partikular-aksidental yang berbeda, sudah merupakan keahlian Adat Indonesia yang jenuin. Mpu Tantular, si anak Adat asli Indonesia, berpengalaman dalam mencari ‘isi’ peradaban asing untuk diindonesiakan dengan ‘isi’ Adat yang universal. Menghadapi peradaban asing Hinduisme dan Buddhisme dari India, Tantular lalu mengelupasi ‘kulit-kulit’ dua filsafat asing itu, kemudian mengambil ‘isi-isi’ nya yang universal, yang serupa dengan ‘isi’ Adat asli. Kata Tantular:
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.[xii]
(Orang bilang Buddha dan Siwa adalah dua substansi berbeda,
Keduanya memang berbeda, tapi bagaimana mungkin memahami
perbedaan keduanya secara sepintas,
sebab kebenaran Jina (Buddha) dan kebenaran Siwa adalah satu,
keduanya memang sungguh berbeda, tapi keduanya dari jenis yang sama, karena tidak ada dualitas dalam Kebenaran.)
Menurut Tantular, ‘…tidak ada dualitas dalam Kebenaran’, karena itu, tak ada kebenaran lain yang diajarkan oleh peradaban asing yang sanggup menaklukkan Adat, karena Kebenaran (‘isi’) universal hanyalah satu, dan Kebenaran (‘isi’) itu sudah terkandung dalam ‘kulit-kulit’ berbeda atau manifestasi luar, baik dari Adat, Buddhisme maupun Hinduisme (Siwaisme). Tantular dan orang Indonesia yang memegang Adat tidak akan gentar menghadapi peradaban asing apa pun yang datang kepada mereka, sebab mereka yakin bahwa dalam ‘kulit-kulit’ yang berbeda itu terdapat ‘isi’ universal yang sama dan satu. Domestifikasi dan pasifikasi yang ‘lembut’ untuk menghadapi ‘penetrasi damai’ peradaban asing.
Tapi, bagaimana jika penetrasi peradaban asing ke dalam Adat itu dilakukan bukan dengan cara damai, melainkan secara kasar dan keras? Itulah yang dilakukan oleh sekelompok orang Minang pada awal abad 19 yang diilhami oleh Wahhabiyah Arab.
Penyebar-penyebar Islam yang berasal dari Mekkah dan Persia—pendatang-pendatang asing—menikahi penduduk asli Indonesia, lalu mengislamkan mereka. Dari situ, muncullah satu generasi baru terdiri dari anak-anak mereka yang menganut Islam. Tapi karena jumlah mereka relatif sedikit, maka mereka pun harus beradaptasi dengan peradaban Adat asli yang melingkari mereka. Mereka menyebarkan Islam perlahan-lahan, dan saking perlahan-lahannya, keislaman penduduk dalam bentuknya yang ideal seperti di Arab tidaklah mungkin terwujud. Mula-mula mereka terpaksa menolerir Adat, karena mereka berjumlah sedikit. Tapi, lama kelamaan, ketika upaya pengislaman penduduk asli cukup berhasil dan mereka mendapat dukungan dari penduduk asli yang diislamkan itu, maka mereka pun mulai merencanakan suatu perlawanan terhadap Adat, yang mereka namakan ‘pemurnian Islam’ (purifikasi).[xiii]
Apa yang mereka murnikan? Menurut logika mereka, yang dimurnikan ialah praktek Islamik yang bercampur-aduk dengan Adat asli. Jika Islam yang bercampur-aduk itu tidak segera dimurnikan, maka Islam ideal yang diidealisasikan dengan ‘Islam era Muhammad’ tidak akan terwujud.[xiv] ‘Masuk Islam’, dalam logika mereka, tidak cukup dengan mempraktekkan Islam setengah dan Adat setengah, tapi baru sempurna dengan mempraktekkan Islam secara bulat dan total. Tapi, untuk mengislamkan penduduk asli secara total, merupakan tugas yang teramat berat. Adat sangat didukung oleh kerajaan. Walaupun kerajaan tersebut adalah kerajaan kecil peninggalan Buddha-Hindu, namun raja amat disayangi dan dipatuhi penduduk asli. Pelaksanaan Adat tentu saja terus berjalan sebagai wujud cinta penduduk terhadap rajanya. Maka, dalam logika mereka, jika cara damai memurnikan Islam tidak dapat ditempuh, cara kekerasan pun dilakukan. Para ulama mengundang Raja Minangkabau dan menteri-menterinya untuk mendiskusikan soal pemurnian Islam ini di Koto Tangah tahun 1809, tapi seorang pengikut Wahhabi fanatik malah membunuhi mereka, hanya Raja yang dapat melarikan diri. Dengan begitu, kaum ulama berhasil menaklukkan kerajaan—benteng terakhir Adat—dan perjuangan pemurnian Islam dapat berjalan lancar. Walaupun kerajaan telah dikalahkan, penghulu, sebagai penegak Adat, masih dihormati penduduk asli. Mereka tetap berjuang mempertahankan Adat dari gerakan pemurnian Islam dari negeri asing itu.[xv]
Adat di Minangkabau dapat dihancurkan oleh ulama Islam totaliter, tapi tidak demikian di Jawa. Ulama-ulama Jawa tidak totaliter seperti saudara mereka di Minangkabau. Mereka menolerir Adat, bahkan mereka menggunakan Adat sebagai sarana pendidikan Islam bagi penduduk asli. Paham Islam yang mereka ajar pun bisa dikatakan hampir serupa dengan paham Adat penduduk asli di Jawa, yang telah lebih dulu diwarnai oleh paham Hindu-Buddha. Ajaran Adat di Jawa, seperti ‘manunggaling kawulo gusti’ hampir serupa dengan ajaran Islam al-hulul atau al-wihdat al-wujud yang diajarkan oleh 9 (sembilan) penyebar Islam di Jawa, yang terkenal dengan sebutan ‘Wali Songo’.[xvi] Memang, menurut Hamka, Wahabiyah Arab pernah pula dikenal di Jawa di awal abad 18 dan penganutnya berhasil membujuk Sultan Pakubuwana IV (Sunan Bagus) untuk memurnikan keislamannya, tapi nampaknya Wahhabiyah tidak pernah berhasil gemilang merasuki pikiran orang Jawa asli. Lagipula, mereka mungkin takut akan terulang lagi apa yang dilakukan oleh Sultan Amangkurat I (1646-1677), yang tega menangkap ulama dan santri penyebar Islam, lalu membunuhi mereka di alun-alun istana Kartasura.[xvii] Adat di Jawa tetap kuat, karena kerajaan kuat mendukungnya.
Ancaman terhadap Adat di daerah non-Minang berasal dari jurusan yang lain. Bukan dari orang Islam, tapi dari pendidikan ala kolonialis Belanda beserta zending Protestan yang berlindung padanya. Sejak kolonialis Belanda berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan Jawa di awal abad 17 dan mendirikan sekolah-sekolah model Eropa di awal abad 19, kegemilangan Adat mulai pudar. Yang melumpuhkan Adat sebenarnya bukanlah kolonialis Belanda secara langsung, sebab sejak Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) menerbitkan karyanya yang membela keberadaan Adat, pemerintah kolonial Belanda di Jawa mengikuti pendapatnya. Karena perjuangan Vollenhovenlah, Adat dibiarkan dan hukum Adat masih boleh dijalankan dalam sistem kolonial modern. Yang melumpuhkan Adat rupanya adalah penduduk asli Indonesia sendiri yang telah ‘terbelandakan’, yang bersekolah di sekolah model Eropa. Mereka diajarkan guru-guru Belanda yang juga aktif di Gereja Calvinist untuk membenci Adat mereka sendiri sebagai hal yang ‘kuno’, ‘kolot, ‘kurang beradab’ menurut ukuran dan selera Belanda yang telah ‘maju’ dan ‘beradab’, dan ‘program pengadaban’ (civilization) itu, demikian mereka selalu menyebutnya, amat berhasil.
Sekolah-sekolah Belanda yang mengajarkan pelajaran khas Eropa era ‘Kebangkitan’ (Renaissance) dan era ‘Cahaya’ (Enlightenment) dibangun di tengah-tengah penduduk. Dengan berdirinya HIS, MULO, AMS, HBS, OSVIA—semua sekolah itu memakai bahasa pengantar dan buku-buku Belanda—maka, masuklah alam pikiran Barat ke Indonesia.[xviii] Beberapa lulusan sekolah atas Belanda itu malah ada yang melanjutkan pendidikan tinggi langsung ke negeri Belanda, seperti Tan Malaka, Semaun, Iwa Kusumasumantri, Zainal Abidin, Nazir Pamuntjak, dan Mohamad Hatta. Pada 1908, mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan organisasi bernama Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Sekembalinya dari Belanda, mereka mendirikan studie club (kelompok studi), seperti Algemene Studie Club, tempat Soekarno, Sartono, Sunarjo, dll. menimba studi Filsafat Barat.
Mahasiswa Indonesia lulusan Belanda dan pelajar-pelajar di studie club mulai menyebarkan Filsafat Barat yang sempat mereka pelajari, seperti Filsafat Yunani-Kuno, Filsafat Abad Tengah, Filsafat Renaissance, Filsafat Enlightenment, serta Filsafat Barat Modern. Mohamad Hatta menulis buku Alam Pikiran Yunani, yang menjelaskan Filsafat Yunani-Kuno tentang pemerintahan demokrasi; Tan Malaka menulis buku Naar de ‘Republiek Indonesia’, yang menjelaskan cita-cita politik demokrasinya, lalu Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, yang menjelaskan Filsafat Marxisme-Leninisme, serta Muslihat, yang mengajarkan revolusi ekonomi, politik, dan militer; Soekarno menulis Mencapai Indonesia Merdeka dan Di Bawah Bendera Revolusi, yang menjelaskan Filsafat Nasionalisme; D.N. Aidit menulis Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!, yang menjelaskan Filsafat Marxisme-Leninisme; Sutan Syahrir menulis Perdjoangan Kita, yang mengungkapkan cita-cita demokrasi dan anti-fasisme Jepang dan Sosialisme di Eropah Barat, yang menjelaskan sejarah sosialisme di Barat, serta Masa Depan Sosialisme Kerakyatan.[xix]
Dengan adanya penjajahan Belanda atas Indonesia, terjadilah great philosophical shift dari tradisi Adat, yang berasal dari tradisi lokal dan tradisi Timur (Cina, India, Persia, Arab). Hegemoni keraton telah diporakporandakan kaum kolonial, sementara kaum bangsawan kerajaan telah dipinggirkan peranannya. Kerajaan-kerajaan telah digantikan dengan unit-unit administratif khas kolonial, seperti residency, regency, Volksraad, dan lain-lain, begitu pula menyusul perubahan alam pikiran Indonesia. Penjajah Barat berhasil membuat kelompok sosial baru, yakni, elit intelektual dan elit profesional yang kebanyakan keluaran pendidikan sekolah Barat. Elit-elit itulah yang menyebarkan ide-ide Barat, menerapkannya untuk meneropong masalah di Indonesia. Elit-elit itu tidak perlu melakukan revolusi kenegaraan dari monarki ke republik, seperti rekan-rekan mereka di Barat atau di Timur, sebab sistem monarki sudah dijatuhkan lebih dulu oleh penjajah Barat. Penjajah Barat telah memberi jalan menuju modernisme ala Barat, elit-elit didikan Barat itu tinggal mengekspansikan dan mengintensifkan ‘pembaratan’ itu.
Yang telah diterangkan di muka adalah faktor-faktor eksternal yang mengancam eksistensi Adat. Alangkah baiknya di sini dibahas pula faktor internal yang turut mengakibatkan Adat tidak popular lagi di mata rakyat penduduk asli. Untuk maksud tersebut, penulis senang mengutip tulisan R.A. Kartini, sebagai ilustrasi betapa Adat telah kehilangan ‘isi kebijaksanaan’ nya, sehingga mendorong Kartini untuk membuangnya dan menggantikannya dengan ‘Modernisme Belanda’. Dalam kumpulan suratnya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (sungguh judul yang sangat mencerminkan secara eksplisit ideologi Enlightenment Barat!), Kartini menulis:
Bila boleh oleh adat lembaga negeri saja, inilah kehendak dan upaja saja, ialah menghambakan diri semata-mata kepada daja upaja dan usaha Perempuan kaum muda di Eropah. Tetapi adat kebiasaan jang sudah berabad-abad itu, adat jang tak mudah merombaknja itu, membelenggu dalam genggamannja jang amat teguh. Suatu ketika akan terlepas djua kami dari genggaman itu,… Aduh, tuan tiadalah tahu betapa sedihnja, djatuh kasih akan zaman muda, zaman baru, zamanmu, kasih dengan segenap hati djiwa, sedangkan tangan dan kaki terikat, terbelenggu pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meluluskan diri dari ikatannja. Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan zaman baru, zaman baru jang saja inginkan masuk kedalam masjarakat kami. Siang dan malam saja pikir-pikirkan, saja heningkan daja upaja supaja boleh terlepas djuga dari pada kongkongan adat istiadat negeri saja jang keras itu akan tetapi … adat Timur lama itu benar kukuh dan kuat, tetapi dapat djuga rasanja saja lebur, saja patahkan…[xx]
Surat-surat Kartini ditulis dari tahun 1899 hingga tahun 1904, yang berarti bahwa penolakan terhadap Adat di Jawa sudah mulai muncul di awal abad 19. Apa yang menyebabkannya muncul? Adat yang dulunya mengandung kebijaksanaan yang luhur, alat komunikasi sakral antara manusia dan Tuhannya, serta merupakan modus mengada (mode of being) yang manusia miliki untuk mengarungi ‘dunia asal’ (sangkan) menuju ‘dunia tujuan’ (paran) secara baik, kini telah berubah, dalam ungkapan Kartini, menjadi Adat yang ‘…membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh…’ dengan ‘…kungkungan…yang keras…kukuh dan kuat…’, sehingga tak ada cara lain baginya untuk melepaskan rasa keterbelengguan dan rasa keterkungkungan itu kecuali ‘…menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dan usaha…kaum muda di Eropa’ dengan ‘…meluluskan diri dari ikatannya…’, supaya ‘…terlepas juga dari kungkungan adat…’, karena Kartini sudah tidak merasa nyaman dalam naungan Adat, melainkan merasa ‘…tangan dan kaki terikat…’ dan ‘…terbelenggu…’
Adat yang seharusnya memberikan pembebasan, justru memberikan pengikatan. Pasti ada yang salah dalam Adat itu. Mana mungkin seorang seperti Kartini membenci Adat yang telah membimbingnya selama hidupnya, jika ia tidak peka akan adanya sesuatu yang salah dalam Adat nya itu? Ada rasa kehilangan makna Adat yang dirasa Kartini. Ideal-ideal Adat tidak lagi sesuai dengan praktek rielnya dalam alam historis. Sayang sekali, kritikan Kartini terhadap Adat semestinya mendorong kaum Adat—dalam kasus ini, keluarga ningrat di mana Kartini hidup di dalamnya—untuk memperbaharuinya, tapi itu tidak pernah dilakukan. Alhasil, kebencian penduduk asli terhadap Adat yang telah kehilangan makna dan tidak diperbaharui itu kian nyata. Muncul Kartini-Kartini lain yang memberontak Adat nya.
Untuk menghindari kehilangan makna Adat, hemat penulis, harus dilakukan pembaharuan, revitalisasi, serta refreshment (penyegaran-ulang), dalam bentuk reinterpretasi (tafsir-ulang) atas Adat. Telah diterangkan di muka, bahwa Adat memiliki ‘aspek abadi’ dan ‘aspek sementara’. ‘Aspek abadi’ Adat disebut adat sebenar adat, sementara ‘aspek temporal’ Adat disebut adat yang diadatkan dan adat yang teradat. Yang harus direinterpretasi dalam kaitannya dengan kasus hilangnya makna Adat, ialah ‘aspek temporal’ nya, bukan ‘aspek abadi’ nya. Upacara cabut gigi dan tari ekstase kecak di Bali, upacara tepung tawar dan seni silat di Melayu, kesenian debus di Banten, upacara mengayau kepala di Nias, tari saman di Aceh, atau upacara perkawinan dan tari kuda lumping di Jawa adalah aspek temporal Adat yang dapat direinterpretasi, tapi makna-makna esensial, ‘isi-isi’ kesakralan, kandungan-kandungan spiritual dari upacara tersebut, seperti keserasian kosmik, kepatuhan pada hukum kosmik sakral-abadi, serta kesadaran akan totalitas realitas sakral adalah aspek universal Adat yang tak boleh diubah-ubah dan bersifat aksiomatik. Misalnya, jika makna sakral-spiritual upacara cabut gigi di Bali telah hilang dalam ingatan manusia Bali Modern dan yang tinggal dipahami hanyalah upacara glamor dengan atribut-atributnya yang profan demi keuntungan material bidang pariwisata, maka, dengan mengikuti logika tadi, upacara tersebut dapat direinterpretasi dengan cara diganti dengan upacara lain yang sedianya dapat membangkitkan kembali makna spiritualnya yang abadi, walaupun upacara itu harus berubah bentuk secara drastis dan dramatis. Jika tari saman dari Aceh rupanya tidak menyebabkan penarinya serta penontonnya mengalami ‘kesadaran kosmik’ sedangkan tari whirling dervishes dari Persia dan tari belly dance dari Mesir bisa, maka tidak ada salahnya kita memilih dua tari yang disebut terakhir itu.
Demikian pula jika mitologi dan legenda Adat telah kehilangan makna kebijaksanaannya, maka dapatlah dibuat mitologi dan legenda baru untuk mengembalikan makna kebijaksanaannya yang abadi. Itu pernah dilakukan oleh pencipta legenda ‘Bubukshah dan Gagang Aking’. Pencipta legenda ini melakukan reinterpretasi terhadap Adat yang mengajarkan vegetarianisme, ketika makna vegetarianisme dipahami secara profan oleh masyarakat di zamannya. Dalam legendanya ia secara implisit mengritik seorang veg (Gagang Aking) yang mempraktekkan vegetarianisme tapi tak lagi mengenali makna sakral dari praktek itu, dengan cara menampilkan sosok seorang rakus-pemakan-segala-daging (Bubukshah) yang justru memahami makna sakral-esensial dari praktek itu, sehingga si rakuslah yang berhasil masuk Nirwana, bukannya veg itu.[xxi] Dengan reinterpretasi seperti itu, Adat mungkin dihidupkan kembali dari kematian maknanya—dan itu sudah biasa dilakukan bahkan sejak era Mpu Tantular. Substansi-substansi yang berbeda senantiasa memiliki Kebenaran yang satu: Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Pandangan Filsuf Modernist Indonesia
1. Tan Malaka
Pukulan bertubi-tubi yang datang dari ‘dalam’ dan ‘luar’, membuat Adat kian kehilangan otoritas di mata generasi baru Indonesia didikan Barat-Modern. Tidak perlu menunggu lama sejak Kartini mengritiknya, pada paruh pertama abad 20 tumbuhlah generasi baru filsuf yang membangkang terhadap Adat. Yang mungkin dilacak oleh penulis dalam penelusuran sejarah ini adalah karya Tan Malaka (1897-1949) yang berjudul Massa Actie yang diterbitkan pada 1926. Hemat penulis, karya inilah yang pertama mengritik Adat dari sudut pandangan Filsafat Modernisme-Barat. Dalam tulisan pendiri Republik dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut, ia mengajak pembacanya untuk membuang Adat dan menggantikannya dengan Rasionalisme:
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman kesaktian yang ‘gelap’ itu, tak dapat menolong kita walaupun sedikit. Marilah sekarang kita adakan tembok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorong masyarakat yang berbahagia. Marilah kita mempergunakan pikiran ‘rasional’ sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah puncak tingkatan yang tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasionil, membawa kita kepada kekuasaan atas tenaga-tenaga alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaiannya yang benar, yang kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasionil menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan, dan membimbing manusia kepada kebenaran...[xxii]
‘Zaman Adat’, dalam pandangan Tan Malaka, adalah ‘zaman gelap’ yang sudah tamat dan digantikan dengan ‘zaman depan’ yang bercirikan ‘...mempergunakan pikiran ‘rasional…yang mendatangkan manfaat…menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan,…membimbing manusia kepada kebenaran…’
Sejak era Tan Malaka mengalirlah pemikiran Filsafat Barat-Modern yang membangkang Adat. Pemikiran tersebut terus mengalir dari era pra-Kemerdekaan hingga paska-Kemerdekaan.
2. Soekarno
Soekarno (1901-1970), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pernah menjabat ketua pertama Partai Nasional Indonesia (PNI), pernah menulis satu artikel di koran harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926 dengan judul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’. Dalam artikel itu, Soekarno menolak Adat:
Sebagai Aria Bima-putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja.
Zaman “senang dengan apa adanja”, sudahlah lalu.
Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.
Zaman teori kaum kuno, jang mengatakan, bahwa “siapa jang ada dibawah, harus terima-senang, jang ia anggap tjukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwajat, jang barang kemas-kemasnja berguna untuk memelihara siapa jang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakjat-rakjat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepertjajaan rakjat-rakjat itu, bahwa rakjat-rakjat jang mempertuankannja itu, adalah sebagai “voogd” jang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepertjajaannja, bahwa rakjat-rakjat jang mempertuankannja itu ada sebagai “saudara tua”, jang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.[xxiii]
Dalam tulisan itu pula, Soekarno menyambut baik aliran-aliran Barat seperti Marxisme dan Nasionalisme sebagai aliran-aliran yang akan mengantar negara-negara Asia menuju kemerdekaannya.
3. Sutan Syahrir
Sutan Syahrir (1909-1966), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), pernah menulis catatan harian selama pembuangannya di Banda Neira dan Boven Digul sekitar tahun 1935 dan 1936. Dalam catatan hariannya tanggal 20 Juni 1935, Syahrir menulis:
Di sini sejak berabad-abad tidak ada kehidupan rohani, tidak ada kehidupan budaya, tidak ada sama sekali kemajuan. Memang ada pengungkapan seni Timur yang banyak dipuji-puji, akan tetapi apakah itu semua tiada lain dari perkembangan yang tidak sempurna dari kebudayaan feodal, yang tidak mungkin menjadi tempat berpegang bagi kita, orang-orang abad keduapuluh? Apa bisanya wayang dengan segala lambang-lambangnya yang sahaja dan mistik itu—yang sejajar dengan cerita-cerita kiasan (allegori) dan ilmu batin abad menengah di Eropa—yang menyumbangkan sesuatu yang bersifat intelektual dan kultural secara umum kepada kita? Kebutuhan rohani kita adalah kebutuhan abad keduapuluh, masalah-masalah kita, pandangan kita adalah dari abad keduapuluh. Selera kita bukan menuju kepada mistik, tetapi kepada kenyataan, kejelasan dan kelugasan (realiteit, helderheid, zekelyheid)…
Pada hakekatnya kita tidak pernah dapat menerima perbedaan esensial antara Timur dan Barat, tidak untuk hidup kita, sebab untuk kebutuhan rohani kita, kita tergantung dari Barat, bukan secara ilmiah saja, melainkan juga secara budaya umumnya…
Secara kultural kita lebih dekat kepada Eropa dan Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabharata atau kebudayaan Islam yang primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Barat atau perkembangan elementer dari kebudayaan feodal yang masih diketemukan di dalam masyarakat kita?[xxiv]
4. Sutan Takdir Alisjahbana
Pada tahun 1935, dalam polemiknya yang terkenal dengan sebutan ‘Polemik Kebudayaan’, Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) kembali mengritik Adat sebagai penyebab kekalahan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Kata Takdir:
Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksud bahagiannya yang sehat), kurang materialisme. Dalam hal intellect berabad-abad bangsa kita parasiteren, hidup seperti benalu pada masa yang silam. Bangsa kita tiada mengasah otaknya, tiada berusaha mendapat pikiran sendiri, ia menjadi Sleurmens.
Perasaan individu, persoonlijkheid di dalam bangsa kita semati-matinya, oleh karena dalam masyarakat kita yang lama individu itu terikat oleh bermacam-macam ikatan: adat-istiadat, kebiasaan, bermacam-macam tahyul, pikiran dan pemandangan yang bukan-bukan…
Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat! Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya! Keinsyafan akan kepentingan diri harus disadarkan sesadar-sadarnya! Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak-banyak mungkin! Ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkembang![xxv]
Dalam kacamata Takdir, sebagaimana Kartini dulu, Adat mengikat individu dengan banyak ikatan, sehingga kepribadian orang Indonesia mati, semati-matinya. Supaya jiwa orang Indonesia hidup kembali, Takdir menganjurkan adopsi individualisme dan materialisme Barat.
Bahwa ‘Indonesia’, terlebih lagi ‘Bahasa Indonesia’, merupakan proyek filsuf modernist yang sungguh bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa otoritas Adat dalam Bahasa Daerah, ditegaskan lagi oleh Sutan Takdir dalam salah satu tulisannya mengenai ‘Bahasa Indonesia’:
Suasana kebudayaan modern yang berbeda benar dari suasana kebudayaan daerah yang belum modern jelas mengenai suasana hukum dan administrasi kenegaraan dan terutama mengenai segala sesuatu yang menjelmakan unsur progresif kebudayaan modern, yaitu ilmu, teknologi, dan ekonomi yang melingkungi universitas, bank, dan pabrik. Pada umumnya kita dapat berkata bahwa dalam kebudayaan modern itu berkuasa rasio, inisiatif, dan perhitungan yang nyata. Sebaliknya, suasana bahasa daerah sebagai suasana lanjutan kebudayaan yang lama. Perbedaan suasana ini makin lama akan makin besar sehingga pada suatu ketika tentang konsep-konsep dan kata-katanya bahasa Indonesia sebagai bahasa modern akan lebih dekat kepada bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Belanda, dan lain-lain, karena sama-sama menjelmakan kebudayaan modern….[xxvi]
5. Mohammad Hatta
Di masa pembuangannya, Mohammad Hatta (1902-1980) menulis buku daras filsafat mengenai Filsafat Barat Klasik berjudul Alam Pikiran Junani (1941). Walaupun Hatta memuji Filsafat Yunani dalam karyanya itu, mudah diterka bahwa Hatta sesungguhnya menjuruskan kritiknya kepada Adat. Tulis Hatta:
Dongeng dan takhyul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu ‘kata’ atau ‘nasehat’ orang tua-tua sangat diindahkan.
Dongeng dan takhyul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya, maka agama yang begitu murni dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.
Juga orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhyul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada mengharapkan keuntungan daripada itu….[xxvii]
6. Muhammad Yamin
Jarang yang mengetahui bahwa Muhammad Yamin (1903-1962), seorang konseptor Konstitusi RI, berhasil memasukkan Rasionalisme—suatu aliran dalam Filsafat Barat Modern—ke dalam filsafat negara yang kini disebut ‘Pancasila’, yakni pada ‘Sila Keempat’ yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…’ ‘Hikmat kebijaksaan’, rupanya, adalah terjemahan Yamin dari istilah Inggris ‘Filsafat Rasionalisme’.[xxviii] Untuk lebih jelasnya, kita kutipkan langsung perkataannya di bawah ini, tapi sebelum itu, mari kita baca bagaimana sikap Yamin terhadap Adat:
Negara Indonesia pertama (negara Syailendra-Sriwijaya, FH) dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang memakai dasar kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala (kesaktian-magie) dan agama Buddha Mahayana. Negara Indonesia kedua (Kerajaan Majapahit, FH) disusun atas faham keperabuan, dan bersandar kepada paduan agama Syiwa dan Buddha, menjadi agama Tanterayana…Tentang dasar negara itu (negara Indonesia Merdeka, FH), tidak dapatlah dilanjutkan dasar kedatuan atau dasar keperabuan secara dahulu itu, karena tradisi kenegaraan antara runtuhnya tata-negara kedua dengan Negara Indonesia Merdeka, tidak bersambung, melainkan sudah putus. Rakyat Indonesia sekarang tak dapat diikat dengan dasar dan bentuk tata-negara dahulu, karena perubahan dan aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan, dunia pikiran sudah berbeda dan susunan dunia telah berubah…[xxix]
Yamin menghendaki ‘Negara Indonesia Ketiga’, yakni ‘Indonesia Merdeka’, menjadi satu negara baru yang dilandasi filsafat negara baru dan aspirasi baru yang ditawarkan Modernisme. Agar negara berskema modernistik terwujud, maka filsafat negaranya haruslah bersumber pada Filsafat Modern Barat, yakni Rasionalisme. Kata Yamin:
Sampailah saya sekarang ke dasar yang ketiga, jalan kebijaksanaan (rationalisme).
…adat telah banyak kemasukan pengaruh feodalisme zaman Belanda dan dalam adat juga telah terdapat kerusakan-kerusakan karena pemerintah jajahan. Dalam adat juga telah terdapat bagian-bagian yang tidak menurutkan aliran zaman. Pembaharuan mestilah ada…. Pembaharuan itu dijalankan dengan tenaga pikiran terutama dari kaum terpelajar yang budiman dan berpengetahuan tinggi. Dasar irrationalisme dan prelogisme hendaklah berangsur-angsur hilang dan dari sekarang Negara Indonesia hendaklah disusun atas logika sebagai dari rationalisme yang sehat…
Hikmah kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia ialah rationalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarchi, liberalisme dan semangat penjajahan.[xxx]
7. Sastrawan Angkatan ‘45
Sekelompok sastrawan yang menamakan-diri sebagai ‘Angkatan ‘45’ pada tanggal 18 Februari 1950 di Jakarta mendeklarasikan pernyataan sikapnya yang menolak Adat dan menerima Modernisme, yang disebut dalam sejarah sebagai Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka. Isi dari Surat Kepercayaan itu ialah sebagai berikut:
…Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan…[xxxi]
Kelompok sastrawan itu beranggotakan antara lain seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Akbar Djuhana, H.B. Jassin, Sitor Situmorang, dan lain-lain. Menurut penelitian Subagio Sastrowardoyo, baik Chairil Anwar maupun Sitor Situmorang banyak dipengaruhi oleh Filsafat Barat Eksistensialisme.[xxxii] Bahwa Chairil Anwar banyak dipengaruhi oleh warisan budaya Barat Modern juga diakui oleh Sutardji Calzoum Bachri, seorang sastrawan Angkatan 70’. Kata Sutardji:
Kenapa Chairil lebih merupakan penerjemah yang baik dari pikiran, perasaan dan sensibilitas Barat dan tidak mengacuhkan akar dan tradisi dari bangsanya sendiri? Ini mungkin bisa dipahami dari situasi zaman Chairil hidup dan tumbuh jadi dewasa. Chairil mendapatkan pendidikan Barat (Belanda) dengan alam pikiran Barat, berikut perasaan dan sensibilitasnya…
Begitu pula Angkatan tahun 1950an dengan Surat Kepercayaan Gelanggangnya sibuk minta warisan dari kebudayaan dunia yang dalam kenyataan dari kebudayaan dunia yang mereka minta itu ternyata kebanyakan kebudayaan Barat.
Jika Generasi Gelanggang sibuk menyatakan diri ingin menjadi ‘ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia’, maka penyair 70an tidak menyibukkan diri lagi dengan minta warisan dari kebudayaan dunia…[xxxiii]
8. Mayor-Jenderal Ali Moertopo
Pada saat kepresidenan jatuh kepada Soeharto, kaum militer mulai berdiri di atas kaum sipil. Konsekuensinya, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai merambahi daerah-daerah dan aspek-aspek kehidupan yang sebelumnya diurusi kaum sipil, dengan ‘Doktrin Kekaryaan ABRI’ dan ‘Dwifungsi ABRI’. Itu didasarkan oleh asumsi bahwa peran kaum sipil sudah game over, karena permainan mereka sendiri yang telah menyita banyak waktu dan energi dalam pertarungan ideologis di era kepresidenan Soekarno. Tibalah orde sosio-politik baru, yang disebut ‘Orde Baru’, yang didominasi oleh kaum militer. Untuk mensukseskan program-program sosio-politiknya, Orde Baru membentuk kelompok think tank baru yang tergabung dalam institusi Center for Strategic and International Studies (CSIS).[xxxiv]
Pembentukan CSIS tak bisa lepas dari peranan seorang intelektual-militer, Mayor-Jenderal Ali Moertopo (l. 1924). Dua karyanya, yang masing-masing berjudul Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (1973) dan Strategi Politik Nasional (1974), mengelaborasi suatu strategi sosio-politik programatis yang dianut Orde Baru untuk menuju modernisasi penuh ala Barat.
Apa yang dilakukan Jenderal Soeharto beserta CSISnya mengingatkan kita pada peran dominan kaum militer dalam modernisasi nasional di negara-negara lain. Jenderal Kemal Attaturk di Turki memelopori modernisasi Turki; Jenderal Saddam Hussein di Irak memelopori modernisasi Irak; Jenderal Pinochet di Chili memelopori modernisasi Chili; Jenderal Jorge Rafael Videla memelopori modernisasi Argentina; Jenderal João Baptista da Oliveira Figueiredo memelopori modernisasi Brazil; Jenderal Chun Doo Hwan memelopori modernisasi Korea Selatan; Raja militer Peter the Great memelopori modernisasi Rusia; Raja militer Bhumibol Adulyadej memelopori modernisasi Thailand, dsb. Jadi, tak ada salahnya, demikian barangkali logika Soeharto, jika modernisasi penuh Indonesia juga dilakukan oleh kaum militer.
Tak ada jalan lain bagi Indonesia untuk maju, menurut Ali Moertopo, kecuali dengan modernisasi dan pembangunan (national development planning) ala Barat yang dikomandoi kaum militer, karena itu merupakan akibat keniscayaan historis naiknya ABRI di kursi pemerintahan.
Jika pemerintah (militer—FH) merupakan penggerak perubahan, modernisasi dan pembangunan—yang merupakan kenyataan di Indonesia sekarang—dapatkah pemerintah (militer—FH) melaksanakan tanggung jawab ini? Tampaknya dalam situasi sekarang tidak terdapat alternatif lain. Dalam pilihan yang terbatas ini, pemerintah mencoba menggunakan seefektif mungkin pegawai negeri yang menggunakan prasarana untuk menghubungkan pemerintah dengan massa. Tetapi bukan rahasia lagi bahwa pegawai negeri belum mampu menjadi penyalur, antara lain karena ketidakmampuannya menciptakan saluran komunikasi yang timbal balik. Suatu sistim dengan umpan-balik karenanya tidak terjamin melalui saluran ini.
Inilah alasan mengapa sejak awal Orde Baru, pemerintah (militer—FH) membantu rakyat untuk membangun lembaga-lembaga sosial dan politik baru yang harus menggantikan atau melengkapi saluran-saluran yang sudah ada. Sebagai akibat keharusan historis, ABRI memainkan peranan yang penting dalam pembangunan Indonesia. Dengan prasarana untuk menjadi saluran kedua sebagai penghubung antara pemerintah dengan massa, yaitu untuk memperkuat aparat pemerintah antara pusat dan daerah, ABRI melaksanakan dwi fungsinya sebagai penggerak pembangunan juga.[xxxv]
Persamaan dan Perbedaan Dua Modernisme
Satu-satunya persamaan antara dua modernisme di atas adalah pemberontakan keduanya terhadap tradisi yang sudah lama mengakar tapi mengalami dekadensi. Tradisi yang amat dirasakan membelenggu manusia. Tradisi yang dulu di dalamnya manusia mengalami hidupnya secara nyaman dan damai, kini di dalamnya ia merasa terikat dan terbelenggu resah. Tradisi yang semestinya mencipta cosmos, berubah jadi mencipta chaos. Jika chaos terjadi, manusia niscaya mencari suatu lain yang menjadi cosmosnya kemudian yang dapat membebaskannya dari chaos.
Dalam pencarian cosmos baru itu, terdapatlah perbedaan yang sangat dasariah antara manusia Barat dan manusia Indonesia. Manusia Barat mencari cosmos baru yang diharapkan membebaskannya dalam kebangkitan kembali (Renaissance) peradaban Barat-Yunani, sedangkan manusia Indonesia dalam pengadopsian peradaban asing. Manusia Barat-Modern kembali mengadopsi peradaban Yunani yang merupakan peradaban Barat aslinya sendiri, yang telah diburukrupakan oleh peradaban papacy, sedangkan manusia Indonesia-Modern tidak kembali kemana-mana. Tidak kembali ke Adat, yang sudah dikhianatinya sejak lama, tapi mengadopsi peradaban asing yang dilacurkan Belanda ke dalam sanubari palsunya. Manusia Barat-Modern meneruskan tradisinya sendiri dan mendewasakannya, sedangkan manusia Indonesia-Modern membangkangi tradisinya dan melarikan diri pada tradisi asing yang berjanji membebaskannya. Manusia Barat-Modern bergumul dengan tradisinya sendiri, mengoreksinya, memperbaharuinya, lalu memajukannya, sedangkan manusia Indonesia-Modern bergumul dengan tradisinya sendiri, menghinakannya, melepaskan diri darinya, berlari kencang menjauhinya, dan membuangnya jauh-jauh, lalu mengharap pembebasannya oleh tradisi asing. ‘Anak haram jadah’ kolonialis.
Jika manusia Indonesia-Modern menghendaki renaissance (kebangkitan kembali), semestinya mulai saat ini ia mengutip kembali Adat yang tercecer, menggumulinya lagi, mengoreksinya, memperbaharuinya, lalu memajukannya. Membiarkan sejarah budaya berjalan dengan sendirinya, bukan dengan pelacuran kolonial. Modernisme yang sebenarnya, bagi orang Indonesia, bukan pembangkangan terhadap tradisi sendiri, tapi memajukan tradisi klasiknya ke tingkat yang lebih tinggi.
Agar lebih jelas perbedaan antara modernisme Indonesia dan Barat, di bawah ini diketengahkan sebuah tabel:
TABEL PERBEDAAN DUA MODERNISME
Berdasarkan kajian di atas, dapatlah disimpulkan beberapa kesimpulan berikut ini:
1. Kajian Sejarah Filsafat (History of Philosophy) atas tradisi Filsafat Indonesia harus dimulai dari sekarang, agar generasi muda Indonesia di masa datang dapat meneruskan kajian tersebut menjadi lebih maju lagi. Untuk merealisasikannya, penulis mencoba kaji secara hipotetis dan memilih mengkaji fenomena Modernisme di Indonesia.
2. Dari kajian sejarah diketahui, bahwa lahirnya Modernisme di Indonesia dipicu oleh 3 (tiga) faktor: (1) munculnya kritisisme kelompok Wahhabiyah di Minangkabau abad 19; (2) munculnya kolonialisme dan purifikasi Protestan yang dilindunginya yang mengritik dan melemahkan legitimasi dan otoritas Adat pada abad 17; (3) munculnya kritisisme dari ‘anak negeri’ sendiri (diwakilkan oleh sosok R.A. Kartini) yang mengritik Adat sebagai suatu belenggu kemanusiaan pada abad 19.
3. Filsuf modernist di Indonesia mengritik tradisi sebelum mereka (Filsafat Adat) sebagai tradisi ‘gelap’, menolak kemajuan, penuh berisi ilusi (takhayul), ‘pikiran dan pandangan yang bukan-bukan’, tidak menumbuhkan individualisme dengan pertumbuhan yang maju, yang membelenggu kreatifitas manusia, ‘penuh dongeng dan angan-angan indah pusaka orangtua’, ‘tidak mengembangkan rasio, inisiatif, dan perhitungan yang nyata’, dan mengandung kepalsuan. Sedangkan filsuf modernist Barat mengritik ‘Filsafat Abad Tengah’ sebagai tradisi filsafat yang ‘gelap’, yang dilakukan oleh papacy yang ‘pura-pura saleh untuk menutupi tipuan-tipuannya’, papacy ‘yang jahil dan jahat’, yang senantiasa berebut kuasa dan harta dengan monarki-monarki feudal.
4. Jika dibandingkan dengan Modernisme-Barat, maka Modernisme-Indonesia adalah Modernisme yang tidak muncul secara alamiah menurut hukum sejarah, karena dilahirkan oleh faktor-faktor eksternal asing, baik dari pengaruh Arab atau Barat. Sedangkan Modernisme-Barat dilahirkan oleh sejarahnya sendiri; lahir dari rahim negeri sendiri, bukannya dari pengaruh luar, apalagi dari Timur.
CATATAN AKHIR
[i] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[ii] Ibid.
[iii] Ibid.
[iv] St. Darmawijaya Pr., Mutiara Iman Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hh. 181-184
[v] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[vi] Joseph C. McLelland, The Reformation and Its Significance, (Toronto: The Ryerson Press, 1961), h. 15
[vii] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[viii] Ibid.
[ix] H.E. Jacobs (ed.), Works of Martin Luther, (Philadelphia: A.J. Holman Company, 1915), hh. 1-10
[x] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[xi] Lembaga Adat Melayu-Riau, “Adat-Istiadat dan Budaya Melayu: Kondisi, Potensi dan Prospektif sebagai Jati Diri Orang Melayu Riau menuju Masyarakat Madani”, dalam Baharuddin Husin et.al (eds.), Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, (Jakarta: PMRJ, 2005), hh. 137-138
[xii] Soewito Santoso, Sutasoma: A Study in Old Javanese Wajrayana, (New Delhi: International Academy of Indian Culture, 1975), h. 578
[xiii] Seorang penulis Indonesia-Muslim, Sidi Ibrahim Boechari, malah menyebut gerakan ‘pemurnian’ itu sebagai ‘Renaissance Islam’, yakni, mengutip kata-katanya ‘…ajaran Islam Klasik diambil kembali sebagai pedoman hidup, yaitu ajaran Islam yang pernah dipraktekkan dizaman Nabi Muhammad s.a.w., yang berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan demikian mereka menolak ajaran Islam yang tidak bersumber kepada kedua dasar tersebut, dengan lain perkataan lahirnya kembali agama Islam murni bersih dari bid’ah dan khurafat, serta takhayul…’. Lihat Sidi Ibrahim Buchari, Pengaruh Timbal-Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), Bab II, h. 45-68.
[xiv] Kalangan ulama yang berkecenderungan ‘pemurnian’ (purifikasi) seperti ini selalu menyebut praktek-praktek Islam yang bercampur Adat sebagai Islam yang mengandung bid’ah (inovasi), khurafat (fabrikasi), dan takhayul (ilusi). Kata ‘inovasi’ dan ‘fabrikasi’ memang merujuk pada perubahan sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau penciptaan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang asli, yang dalam setiap dogmatika agama apapun memang tidak boleh. Dogmatika adalah jantung agama, dan karenanya tidak boleh dirobah-robah, apalagi dicampuri oleh unsur lain yang asing baginya. Tapi kata ‘ilusi’ merujuk pada isi kognitif, isi filosofis dari sesuatu. Apakah benar, Islam yang bercampur Adat ialah Islam yang ilusif? Adat memang mengandung banyak mitologi dan legenda, tapi itu semua pun ‘rasional’, menurut ukuran rasionalitas di zaman itu. Apakah Islam sungguh tidak mengandung mitos-mitos dan legenda? Sejauh pengetahuan saya sebagai seorang pengkaji Al-Qur’an dan Al-Hadits (Tafsir-Hadits), saya justru mendapati banyak mitologi dan legenda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
[xv] S. Kutojo & M. Safwan, Tuanku Imam Bonjol, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), hh. 22-26
[xvi] Menurut narasi dalam Serat Suluk Walisana, baik Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Cerbon, Sunan Pandhanarang, Sunan Majaagung, Sunan Gunungjati, She Bentong, Maulana Maghribi, Sunan Ampel hingga Syeikh Siti Jenar, semuanya memiliki pengetahuan gnosis bahwa tidak ada wujud lain, kecuali wujud Allah. Sedangkan manusia dan alam ini hanyalah wujud maya yang tidak nyata. Konsekuensinya, tidak ada dualitas keberadaan Tuhan-makhluk, yang dalam Filsafat Jawa disebut manunggaling kawulo gusti dan dalam Filsafat Tasawuf-Melayu disebut wihdatul-wujud. Lihat Subagio Sastrowardoyo (ed.), Anthology of Asean Literatures: The Islamic Period in Indonesian Literature, (Jakarta: The Asean Committee on Culture and Information, 1989), hh. 355-361
[xvii] Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1971), hh. 62-64
[xviii] J. Larope, IPS Sejarah, (Surabaya: Palapa, 1986), hh. 236-238
[xix] Ferry Hidayat, Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, arsip pribadi, tidak dipublikasikan.
[xx] Armijn Pane (ed.), Habis Gelap Terbitlah Terang: Kumpulan Surat-Surat R.A. Kartini, (Jakarta: Balai Pustaka, 1972), cet-7, hh. 42-43
[xxi] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hh. 152-169
[xxii] Tan Malaka, Aksi Massa (Massa Actie), (Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000), hh. 171-172.
[xxiii] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1963), cet-2, h. 1
[xxiv] Sebagaimana dikutip oleh Subagio Sastrowardoyo dalam eseinya “Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya”, dalam S. Abdul Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga: 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hh. 353-354
[xxv] Ignas Kleden et.al. (eds.), Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, (Jakarta: Dian Rakyat, 1988), hh. 17-21
[xxvi] Sutan Takdir Alisjahbana, “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Halim, Amran. Politik Bahasa Nasional 1: Kumpulan Kertas Kerja Praseminar, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hh. 39-54.
[xxvii] M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
[xxviii] Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
[xxix] Ibid., h. 11-12
[xxx] Ibid., hh. 19-20
[xxxi] Abdul Hadi W.M., ‘Mengenang Asrul Sani (1927-2004): Surat Kepercayaan Gelanggang dan Masalah-Masalah Kesusastraan Kita’, dalam Majalah Sastra HORISON, Maret 2004, h.22
[xxxii] Subagio Sastrowardoyo, “Philosophy and Poetry”, dalam John H. McGlynn (ed.), Menagerie, 1, (Jakarta: The Lontar Foundation, 1992), hh. 140-142
[xxxiii] Abdul Hadi WM, “Mengenang Asrul Sani”, hh. 37
[xxxiv] Leo Suryadinata, Military Ascendancy and Political Culture, terj. Indonesia oleh A.E. Priyono, (Jakarta: LP3ES, 1992), hh. 25-32
[xxxv] Mayjen Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974), hh. 139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar