Jumat, 13 April 2012

RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Naskah Akademik

RANCANGAN UNDANG - UNDANG
TENTANG
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


(Penjabaran Isi UU No. 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta          Jo. UU No. 19/1950 tentang  Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi  Jo. UU No. 26/1959 tentang Penetapan Pelaksanaan UU No. 17/1955 tentang a.l. Berlakunya Perda Otonomi Daerah di Jawa,
yang disesuaikan dengan UU No. 32/2004)

I.    PENDAHULUAN :

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah suatu Daerah Istimewa yang diakui keberadaannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak kelahirannya sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan 18 B Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Praja Paku Alaman adalah Kerajaan dan Kadipaten yang merdeka atas kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan Pendudukan Tentara Dai Nippon Jepang, dipimpin  Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamegku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrachman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IX ing Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam Ingkang Jumeneng Kaping VIII ing Projo Pakualaman pada saat itu.
Kedua pemimpin Praja Kejawen tersebut bersimpati atas perjuangan Bangsa Indonesia yang telah mencapai kemerdekaannya dan secara sendiri – sendiri menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian berintegrasi menjadi satu daerah istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta yang pembentukannya diatur dengan Undang – undang Negara Republik Indonesia. 
Peristiwa historis politis cultural tersebut ditandai dengan urut-urutan langkah strategis kedepan oleh kedua pemimpin Praja Kejawen baik masing – masing secara terpisah maupun secara bersama – sama. Pertama, Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalogo Ngabdurrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IX ing Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kangjeng Gusti Pengeran Adipati Aryo Paku Alam Ingkang Jumeneng Kaping VIII Ing Praja Pakualaman, secara sendiri sendiri pada tanggal 18 Agustus 1945 mengirim Surat Kawat Ucapan Selamat Atas Kemerdekaan Bangsa Indonesia kepada Ir Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia, yang kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 dijawab oleh Ir Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia dengan menerbitkan Piagam Kedudukan kedua pemimpin Praja Kejawen tersebut.
Kedua, pada tanggal 5 September 1945 keduanya secara sendiri – sendiri menerbitkan Maklumat yang intinya berisi, bahwa kedua wilayah yang bersifat kerajaan adalah sebagai Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki wewenang dan hak – hak politik serta kekuasaan atas masing – masing negeri yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Ketiga, pada tanggal 30 Oktober 1945, keduanya secara bersama – sama setelah bermufakat dengan Badan Pekerdja Komite Nasional Indonesia Daerah Jogjakarta, menerbitkan Maklumat yang intinya berisikan bahwa Badan Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang – Undang) agar jalannya pemerintahan sesuai dengan Undang – undang Dasar 1945 dan aspirasi serta kehendak rakyat.
Atas dasar realitas historis politis cultural diatas, maka Daerah Istimewa Yogyakarta yang berasal – usul dari Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemerintahaannya Daerah Istimewa Yogyakarta mengikuti Peraturan – perundangan yang berlaku sesuai dengan ketentuan hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini dan dipimpin oleh pasangan Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrachman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X ing Ngayogyakarto Hadiningrat, Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai Gubernur Kepala Daerah, Daerah Istimea Yogyakarta dan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam Ingkang Jumeneng Kaping IX Ing Praja Paku Alaman, Adipati Paku Alaman sebagai Wakil Gubernur Kepala Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, keduanya adalah pewaris dan penerus yang syah dari  Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman sebelumnya.
Untuk lebih memahami substansi Daerah Istimewa Yogyakarta, Naskah Akademis ini disusun dengan sistimatika sebagai berikut :
I.    PENDAHULUAN
II.    TINJAUAN SOSIO FILOSOFIS  (SPIRITUAL - KULTURAL)
III.    TINJAUAN SOSIO HISTORIS
IV.    TINJAUAN SOSIO YURIDIS
V.    TINJAUAN SOSIO POLITIS
VI.    PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
VII.    INVENTARISASI MASALAH
VIII.    REKOMENDASI
IX.    PENUTUP

II.    TINJAUAN SOSIO FILOSOFIS (SPIRITUAL - KULTURAL) :
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman  sebagai satu kesatuan entitas filosofis yang dibentuk dan didirikan oleh Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrachman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarto Hadiningrat, Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat yang Pertama, Al-Awwal.
Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat didirikan pada tahun 1756 Masehi bertepatan dengan tahun 1682 Jawa setahun setelah perjanjian Giyanti tahun 1755 Masehi, yang ditandai dengan Condro Sengkolo Memet  “DWI NOGO ROSO TUNGGAL”, berwujud dua ekor naga yang sedang memadu kasih.
Setiap raja yang bertahta selalu bergelar SULTAN, diambil dari bahasa Arab yang dahulu dikenal sebagai Negara Ngerum, SULTHON. Gelar Sultan memberi makna bahwa raja Ngayogyakarto Hadiningrat bukan hanya menekankan aspek Ke-Tuhanan saja tetapi menekankan pula aspek keduniaan. Dengan kata lain Sultan adalah seorang Kalifah yang harus mampu menyeimbangkan hubungan antara Habluminallah dengan Habluminannas, dan tercermin dalam gelar yang disandangnya yakni :
NGARSO DALEM
SAMPEYAN DALEM INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO
SENOPATI ING NGALOGO NGABDURRACHMAN SAYIDIN PANOTOGOMO KALIFATULLAH
INGKANG JUMENENG ING NGAYOGYAKARTO HADININGRAT.
Dalam gelar itu terkandung substansi bathiniah dan lahiriah yang diinginkan pada sifat, fungsi, kedudukan dan tugas serta tanggung-jawab Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai pemimpin yang mau dan mampu memimpin, memberi tauladan, pengayoman, pencerahan, dan pemersatu bagi rakyatnya. Pemimpin yang dikehendaki sebagaimana terkandung dalam kitab TAJJUSSALATIN itu, disimbolisasikan dalam bentuk dan wujud REGALIA dan AMPILAN.
REGALIA yang berwujud BANYAK (Angsa); DALANG (Kijang); SAWUNG (Ayam Jantan); NGGALING (Merak); HARDOWALIKO (Nagaraja); KUTUK (Kotak Uang); KACU MAS (Tempat Saputangan); dan KANDIL (Lentera) merupakan simbolisasi sifat kepemimpinan seorang Sultan yang senantiasa harus PEKA dan WASPADA ; CERDIK ; TANGKAS dan TRAMPIL ; JANTAN dan BERTANGGUNG-JAWAB ; ANGGUN dan BERWIBAWA ; KUAT dan BERKUASA ; KAYA dan DERMAWAN ; BERSIH LAHIR dan BATHIN ; SERTA MAMPU MEMBERI PENERANGAN dan PENCERAHAN bagi rakyatnya.
Sedangkan fungsi, kedudukan, tugas dan tanggung-jawab seorang Sultan sebagai pemimpin disimbolisasikan dengan AMPILAN yang berbentuk dan berwujud  PEDANG ; PANAH lengkap dengan BUSURNYA ; PERISAI ; TOMBAK ; KITAB SUCI AL-QUR’AN ; SAJADAH dan ELAR BADAK (Kipas dari bulu burung Merak) merupakan simbolisasi tugas dan tanggung – jawab seorang Sultan   senantiasa harus menjadi Panglima kehidupan rakyatnya dalam memerangi keangkara-murkaan, ketidak-adilan, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kebathilan.
Dalam melaksanakan fungsi, kedudukan, tugas dan tanggung – jawab tersebut, seorang Sultan senantiasa bernaung dibawah kebesaran Asma Allah yang disimbolisasikan dalam bentuk dan wujud SONGSONG GILAP yang memiliki 99 bilah jari-jari bertuliskan ASMA’UL HUSNA terangkai dalam satu ikatan sebagai pegangannya , ALLAHHU-AKBAR. Disamping itu dalam nama HAMENGKU BUWONO, senantiasa terkandung pengertian tiga substansi HAMENGKU, HAMANGKU dan HAMENGKONI. Hamengku identik dengan Hambeg Adil Paramarta, yakni mengandung makna hangrengkuh “hangemong”, melindungi, dan mengayomi secara adil tanpa membedakan golongan, keyakinan, dan agama. Hamangku identik dengan Berbudi Bawa Leksana, yakni mampu membesarkan hati dengan lebih banyak memberi daripada menerima. Hamengkoni identik dengan Suri Tauladan dan berdiri paling depan untuk mengambil tanggung – jawab dengan segala resikonya, inilah makna yang terkandung dalam watak GUNG BINATHARA.
Pada saat mendirikan pusat kerajaan sekaligus pemerintahan, NEGARA GUNG, Ngayogyakarto Hadiningrat, yang berintikan KRATON sebagai tempat kediamannya, pendiri tidak saja melihat aspek fisik dan estetika semata, namun juga dapat dilihat dari aspek kosmologi dan reliji – spiritual, sehingga tata bangunan dan wilayah tata ruangnya berdasarkan wawasan integral Makro dan Mikro Kosmos, JAGAD AGENG dan JAGAD ALIT. Aspek ini menyangkut dimensi spasial lahir-batin serta dimensi temporal awal – akhir.
Oleh karena itu, semua bangunan yang berkaitan dengan Kraton, baik lokasi, bentuk, ragam hias, maupun warnyanya mempunyai arti dan makna serta simbolisasi masing – masing sesuai dengan fungsinya. Secara totalitas seluruh bangunan kraton yang berfungsi sebagai inti, PANCER, merupakan gambaran jati diri serta proses kehidupan manusia sebagai mahluk Tuhan. Manusia senantiasa diingatkan akan eksistensinya di dunia dan hubungannya dengan masyarakat serta alam semesta, Makro Kosmos, intisarinya dapat masuk menyatu/menyetubuh kedalam diri manusia, Mikro Kosmos.
Kesadaran akan keberadaan dirinya itulah merupakan kesadaran awal – akhir kehidupannya, dari mana ia berasal dan akan kembali kemana akhirnya sebagai hakekat SANGKAN PARANING DUMADI, sehingga akan membangkitkan kesadaran akan isi dan tujuan hidup. Selanjutnya dalam menjalani kehidupannya manusia mengisi hidupnya untuk menjadi manusia PRAMANA atau INSAN KHAMIL,  manusia sejati yang mampu meningkatkan kualitas surgawi dan ke Tuhanan dalam dirinya sehingga mampu meberi manfaat yang sebesar - besarnya kepada masyarakat dan lingkungannya, sebagai hakekat MANUNGGALING KAWULO GUSTI. 
Pemahaman SANGKAN PARANING DUMADI, MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI tersebut disimbolisasikan dengan gambaran bentuk bangunan “sumbu imajiner” : PANGGUNG KRAPYAK – KRATON – TUGU PAL PUTIH SERTA LAUT SELATAN – KRATON – GUNUNG MERAPI. Gambaran berbentuk TUGU PAL PUTIH merupakan simbolisasi kalimah ALIF MUTAKALLIMAN WACHID   yang bermakna ALLAH YANG MAHA TUNGGAL DAN ALLAH YANG MAHA BERDIRI SENDIRI, berarti semua yang diciptakan – Nya akan kembali kepada Sang Khalik. Pemahaman ini mengandung ajaran terhadap manusia agar dapat menemukan ketauhidan “RAHSA ALLAH” sebagai substansi yang paling mendalam dan mendasar bagi tataran ke -TAQWA – an seseorang “AHSANI-TAQWIM” dalam meniti jalan lurus SHIROTOL-MUSTAQIM.
Pandangan Filosofis Sri Sultan Hamengku Buwono I itulah yang menjadi landasan awal terwujudnya Budaya Ngayogyakarto Hadiningrat, dimana makna Ngayogyakarto Hadiningrat itu sendiri merupakan simbol sekaligus cita – cita luhur Sang Pendiri yang ingin menjadikan negerinya sejahtera lahir batin, selamat dunia dan akherat BALDATUN THOYIBATUN WAROBUN GHOFFUR..
Konsep Budaya Ngayogyakarto Hadiningrat tidak bisa dipisahkan dari aspek reliji – spiritualitas dan fisik – lahiriah dalam menumbuhkan kehidupan sosial - kemasyarakatan yang dapat diidentikkan dengan KONSEP MADANI atau CIVIL SOCIETY, Konsep Budaya Ngayogyakarto Hadiningrat senantiasa menekankan kehidupan yang guyub, rukun dan harmonis serta menghormati hak – hak, perbedaan dan keyakinan orang lain (Pluralisme) sebagaimana kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.
Pemahaman budaya inilah yang dapat direkonstruksikan kembali dan diimplementasikan dalam tata kehidupan sosial masyarakat, baik dalam kehidupan tata pemerintahan, kehidupan reliji – spiritual maupun kultural ditengah tengah arus perubahan peradaban global, karena secara langsung atau tidak langsung kondisi filosofis dan kultural ini berkatitan erat dengan tata kehidupan, sikap, mental, perilaku serta norma – norma yang berlaku dalam masyarakat Ngayogyakarto Hadiningrat masa lalu hingga masa kini.  
Itulah sebabnya Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai satu kesatuan entitas politik yang memiliki identitas budaya tidak mungkin dipecah – pecah atau dipisah – pisahkan. Memandang Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman pada masa lalu sebagai pemerintahan yang mandiri “Independent” dan Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang sebagai Tata Pemerintahan yang Berbasis Kultur telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai satu kesatuan entitas politik dan budaya, merupakan keharusan mengingat bergabungnya Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman secara totalitas baik dalam hal kekuasaan, wilayah maupun rakyatnya kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi Daerah Istimewa, merupakan peristiwa politik dan budaya sekaligus yang mengandung konsekwensi yuridis dan penyesuaian secara terus menerus sesuai dengan perkembangan kenegaraan. 





III.    TINJAUAN SOSIO HISTORIS :
Menurut BABAD ALAS MENTAOK, SULTAN HADIWIJOYO memberikan hadiah berupa tanah perdikan kepada KI AGENG PEMANAHAN, KI AGENG GIRING, NYI AGENG NIS dan DANANG SUTOWIJOYO serta seorang puteri yang dipercaya membuka lahan tanah disebelah selatan Negara Demak Bintoro, tepatnya di NGEKSIGONDHO, KOTAGEDHE.
Pada tahun 1575 Masehi, BUMI MERDIKO MATARAM dapat didirikan oleh DANANG SUTOWIJOYO setelah berhasil memenangkan pertempuran melawan ARYO PENANGSANG (Raja Jipang Panolan), kemudian bertahta menjadi raja dan bergelar PANEMBAHAN SENOPATI. 
Berdirinya Kerajaan Mataram tidak lepas dari pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual KI AGENG PEMANAHAN, KI AGENG GIRING, KI JURU MERTANI serta SUNAN KALI JAGA  sekaligus merupakan awal sejarah kerajaan Islam Mataram pasca runtuhnya Demak, Jipang dan Pajang.
Pada masa – masa selanjutnya kerajaan Mataram sempat mengalami pasang – surut kekuasaan, dimana pada masa – masa itu pernah terjadi konflik kekuasaan secara internal (perebutan kekusaan semasa Panembahan Krapyak) maupun secara eksternal (serangan Trunojoyo). Seorang sejarawan Belanda yang bernama De Graaft menuliskan bahwa sejarah puncak kekuasaan Mataram berada pada masa kekuasaan SULTAN AGUNG.
Kemudian setelah itu terjadi kekacauan politik akibat pengaruh Belanda dan perebutan kekuasaan semasa pemerintahan Amangkurat. Pasca pemerintahan Amangkurat  terjadi perpindahan kekuasaan dari Kartosuro ke Surokarto dan pada masa PAKU BUWONO II terjadi perpecahan antara Surokarto dan Yogyakarta.
Peristiwa perpecahan dua negara ini ditengarai dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Sejak itulah P. MANGKUBUMI atau P. SUKOWATI yang gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda mendapat hak atas tanah Garjitowati dan mulai melakukan strategi perjuangan dan pengembaraan spiritual kearah barat Kerajaan Surakarto.
Pada tahun 1756 P. MANGKUBUMI mendirikan Benteng Pertahanan “Kerajaan” di sebelah selatan Gunung Gamping, tepatnya di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman. Tidak lama kemudian digempur Belanda dan P. MANGKUBUMI mengamankan diri ke Bukit Menoreh dan setelah merasa aman kemudian mendirikan kerajaan baru diatas hutan Bering atas petunjuk seorang pertapa yang bernama KYAI KINTEL (Syech Mojo Agung) dengan ditengari tugu pal putih berbentuk bulat lonjong sebagai simbol “Golong-Gilig”.
Bangunan pertama kali yang didirikan adalah sebuah bangsal yang sekarang ini dinamakan Bangsal Proboyekso (tempat untuk menyimpan Pusaka Kraton). Kemudian dilanjutkan pembangunan Kraton Tamansari, berupa Benteng Air, Masjid Sumur Gumuling serta Plengkung dan Benteng yang mengelilingi Kraton Yogyakarta. Masa – masa pemerintahan SULTAN HAMENGKU BUWONO I hingga SULTAN HAMENGKU BUWONO IX (tahun 1755 – 1940) tidak pernah terlepas dari pengaruh Pemerintahan Belanda dan ancaman Tentara Jepang, kemudian setelah tahun 1945 barulah bisa terlepas dari cengkeraman penjajahan Belanda dan balatentara Jepang.
Pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, SULTAN HAMENGKU BUWONO IX dan ADIPATI PAKU ALAM VIII menyadari akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan dalam sebuah entitas dan identitas yang lebih luas lagi, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu SULTAN HAMENGKU BUWONO IX pada tanggal 18 Agustus 1945 mengirim surat kawat kepada IR. SOEKARNO yang menyatakan dengan tegas untuk berdiri dan mendukung sepenuhnya Kemerdekaan Republik Indonesia tersebut.
Atas dasar Surat Kawat tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menerbitkan Piagam Kedudukan SULTAN HAMENGKU BUWONO IX dan ADIPATI PAKU ALAM VIII yang intinya merupakan penegasan tentang status dan kedudukan keduanya sekaligus memberikan kepercayaan dari pemerintah pusat atas kepemimpinan SULTAN HAMENGKU BUWNO IX dan ADIPATI PAKU ALAM VIII di wilayah masing – masing, lengkapnya isi dan bunyi Piagam tersebut adalah :
PIAGAM KEDUDUKAN SRI PADUKA INGKANG SINUWUN
KANGDJENG SULTAN HAMANGKU BUWONO IX

Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan

INGKANG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
HAMENGKU BUWONO SENOPATI  ING NGALOGO ABDURRACHMAN SAJIDIN PANOTOGOMO KALIFATULLAH INGKANG KAPING IX ING NGAJOGJAKARTO HADININGRAT PADA KEDUDUKANNYA DENGAN KEPERTJAJAAN BAHWA SERI PADUKA KANGDJENG SULTAN AKAN MENTJURAHKAN SEGALA PIKIRAN, TENAGA, DJIWA DAN RAGA UNTUK KESELAMATAN DAERAH JOGJAKARTA SEBAGAI BAGIAN DARI PADA REPUBLIK INDONESIA.

Djakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ttd. Soekarno
(Ir. Soekarno)

PIAGAM KEDUDUKAN SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI
PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII

Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan

KANGDJENG GUSTI  PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM INGKANG KAPING VIII KEDUDUKANNYA DENGAN KEPERTJAJAAN BAHWA
SERI PADUKA KANGDJENG GUSTI  AKAN MENTJURAHKAN SEGALA PIKIRAN, TENAGA, DJIWA DAN RAGA UNTUK KESELAMATAN DAERAH JOGJAKARTA SEBAGAI BAGIAN DARI PADA REPUBLIK INDONESIA.

Djakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia



Ttd. Soekarno
(Ir. Soekarno)
 
Untuk itu segera pada tanggal 5 September 1945 secara sendiri – sendiri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat, yang terkenal dengan Maklumat 5 Sepetember 1945 yang intinya :
1.    Pernyataan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah Kepala Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Sri Paduka Paku Alam VIII adalah Kepala Negeri Kadipaten Paku Alaman yang bersifat kerajaan dan merupakan Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Pernyataan bahwa Keduanya  sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dan kepemerintahan dalam negeri masing – masing.
3.    Pernyataan bahwa Hubungan antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat langsung dan keduanya bertanggung-jawab secara langsung atas negerinya masing – masing kepada Presiden Republik Indonesia.

Makna sangat mendalam dari pernyataan Maklumat ini menjadi sejarah besar berikutnya bagi eksistensi Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten Puaku Alaman. Dimana kedua beliau ini memberikan pengorbanan besar, baik kekuasaan maupun wilayahnya menjuadi bagian dari Republik Indonesia yang baru saja berdiri. Secara politis integarasi kekuasaan dan wilayah ini merupakan kesadaran besar akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa serta masa depan rakyat Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Paku Alaman.
Setelah Maklumat 5 September 1945 disampaikan kepada Presiden, pada tanggal 30 Oktober 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII secara bersama – sama mengeluarkan Maklumat 30 Oktober 1945. Amanat ini merupakan tindak lanjut dari Amanat pada tanggal 5 September 1945 yang menekankan pada proses demokrasi dalam wilayah kedaulatan bekas kedua negara kerajaan (Proses perubahan dari Monarkhi Absolut menjadi Aristokrasi Demokrasi). 
Dalam Maklumat 30 Oktober 1945 dinyatakan secara tegas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bahwa keduanya menyatakan semufakat dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (BP-KNID) Yogyakarta, yaitu sebagai berikut :



AMANAT

SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG
SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DAN SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII,
KEPALA DAERAH ISTIMEWA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mengingat :

1.    Dasar –dasar jang diletakkan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah kedaulatan rakjat dan keadilan sosial.
2.    Amanat Kami berdua pada tgl. 26 Puasa, Ehe 1876 atau 5 – 9 – 1945.
3.    Bahwa kekuasaan – kekuasaan jang dahulu dipegang oleh Pemerintah Djadjahan (dalam Djaman Belanda didjalankan oleh Gubernur dengan kantornja, dalam djaman Djepang oleh Koti Zimu Kyoku Tyokan dengan kantornja) telah direbut oleh rakjat dan diserahkan kembali pada Kami berdua.
4.    Bahwa Paduka Tuan Komissaris Tinggi pada tanggal 22 – 10 – 1945 di Kepatihan Jogjakarta dihadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para Pembesar dan para Pemimpin telah menjatakan tidak perlunja akan adanja Sub-commissariat dalam Daerah Kami berdua.
5.    Bahwa pada tanggal 29 – 10 – 1945 oleh Komite National Daerah Jogjakarta telah dibentuk suatu Badan Pekerdja jang dipilih dari antara anggauta – anggautanya, atas kehendak rakjat dan pangilan masa, jang diserahi untuk mendjadi Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang – Undang) serta turut menentukan djalannja Pemerintah Daerah dan  bertanggung – djawab kepada Komite National Daerah Jogjakarta, maka kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Ario Paku Alam VIII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerdja Komita Nasional Daerah Jogjakarta, dengan ini menjatakan : Supaja djalannja Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua dapat selaras dengan dasar – dasar Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang – undang) jang dapat dianggap sebagai wakil rakjat dalam Daerah Kami berdua untuk membikin undang – undang dan menentukan haluan djalannja Pemerintah dalam Daerah Kami berdua jang sesuai dengan kehendak rakjat. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanat Kami Ini.

Jogjakarta, 24 Dulkaidah, Ehe 1876 atau 30 Oktober 1945


HAMENGKU BUWONO IX
PAKU ALAM VIII

Tidak lama setelah itu, maklumat diatas ditindak-lanjuti dengan Maklumat No. 14 tahun 1946 yang intinya menyempurnakan Maklumat terdahulu dan isinya mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan dan Majelis Permusyawaratan Desa. Selanjutnya dikeluarkan maklumat yang mengatur secara rinci tentang proses demokratisasi pada daerah swatantra tingkat III atau tingkat Kelurahan, yaitu :
1.    Maklumat Nomor 15/1946 Tentang Pemilihan Pamong Kelurahan. (Ada perubahan dan ditetapkan oleh Peraturan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Nomor 3/1948, tentang Perubahan Maklumat No. 15/1946)
2.    Maklumat Nomor 16/1946 Tentang Susunan Pamong Kelurahan.
3.    Maklumat Nomor 17/1946 Tentang  Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan.
4.    Makumat Nomor 18/1946 Tentang Dewan – Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara rinci Undang – undang yang mengatur Pemerintahan Daerah dan mengacu pasal 18, Bab VI, UUD 1945 yang bunyinya :
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang – undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak hak asal – usul dalam Daerah – daerah yang bersifat Istimewa”. 

Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut :
“I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibadi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah – daerah itu bersifat autonom (direek dan locale rechts gemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka supaya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang – undang.
Daerah – daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersedia atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak – hak asal – usul daerah tersebut.”       

Undang Undang Dasar 1945 (Amandemen Th 2000) Pasal 18 – B,
Ayat (1) :   
“Negara mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang – undang”.

Ayat (2) :   

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip – prinsip Negara Kesatuan Repbublik Indonesia”.

Untuk selanjutnya Status Daerah Istimewa Yogyakarta masih terakomodir dan diatur dalam Undang undang. sebagaimana UU No. 22/1948, UU No. 3/1950, UU No. 18/1965, UU No. 1/1967,  UU No.5/1974, UU. No 22/1999 dan UU. No. 32/2004.
















IV.    TINJAUAN SOSIO YURIDIS :

Pemerintahan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tanggal 13 Maret 1755 yang bersifat “monarchi” dan telah berlangsung secara turun temurun hingga Hamengku Buwono IX dengan segala kelengkapan Pemerintahannya itu mulai terjadi perubahan situasi Politik setelah BPUPKI (Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) melalui Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bersama dengan hal tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mengeluarkan keputusan politik yakni Pernyataan bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan status pemerintahan Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman sebagai Daerah Istimewa yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pernyataan politik tersebut direspons positif oleh Presiden dengan terbitnya Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Pemimpin (Penghageng Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden patut diketahui bahwa bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman ke Republik Indonesia merupakan penggabungan sebuah negara kedalam negara (lain) yang baru.
Penggabungan itu dilakukan secara sukarela dan segala konsekwensinya, meskipun secara hukum, politik, ekonomi, dan sosial budaya Yogyakarta telah berintegrasi dengan Republik Indonesia, namun beberapa hal masih memiliki kewenangan untuk mengurusnya secara mandiri, konkretnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat begitu saja menghapus kewenangan yang secara historis dimiliki Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, dan tidak boleh bertentangan dengan kewenangan atau hak asal – usul yang bersifat “Antochchon” yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula kerajaan Mataram berdiri.
Langkah lebih lanjut dengan diterbitkannya amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 5 September 1945 dimana Pemerintah Pusat menyambut baik dengan menerbitkan Undang – undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah, dimana untuk Yogyakarta diangkatlah Komisaris Tinggi pada daerah swa praja Yogyakarta dan Surakarta.
Selain daripada itu, untuk lebih memberi Legitimasi kepada pemerintahan daerah, pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII maka oleh Pemerintah Pusat diterbitkanlah Undang – undang no. 22 Tahun 1948 tentang Pokok – pokok Pemerintah Daerah. Penerbitan Undang – undang No. 22 Tahun 1948 tersebut selain melegitimasi sikap dan sifat keistimewaan serta kepemimpinan keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam, juga sebagaipenjabaran dari Pasal 18 (2) Undang – undang Dasar 1945.
Secara Yuridis keberadaan daerah yang  bersifat istimewa dengan kedudukan kepemimpinan daerah oleh Keturunan yang berkuasa disuatu daerah adalah merupakan bentuk pengesahan dan pengakuan akan adanya daerah yang berstatus istimewa. Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 18 ayat (5) Undang – undang No. 22 Tahun 1948 antara lain menyebutkan : “…Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari Keturunan yang berkuasa di daerah itu…..dst”. Jadi jelas status Keistimewaan sudah diakui dan tercermin dalam Penetapan Kepala Daerah yang langsung diangkat oleh Presiden dari Keturunan yang berkuasa pada waktu itu.
Lebih lanjut untuk mengukuhkan status Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 3 Maret 1950 diterbitkanlah Undang – undang No. 3 Tahun 1950 yang diundangkan pada tanggal 4 Maret 1950 tentang “Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta” yang kemudian diesempurnakan dengan diterbitkannya Undang – undang No. 19 Tahun 1950 pada tanggal 14 Agustus 1950 tentang “Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi” yang memiliki asal – usul dalam daerah yang bersifat istimewa sehingga dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah : “apakah dengan adanya atau terbitnya kedua undang – undang yang hingga saat ini masih tetap berlaku masih diperlukan adanya undang – undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta..?”
1. Status Keistimewaan secara yuridis, sebagaimana kita ketahui bahwa jika kita berbicara soal keistimewaan ?
Pertama, pedoman yang harus diruntut adalah adanya “keputusan politik” Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII tertanggal 18 Agustus 1945, yakni “Pernyataan bergabung di belakang Republik Indonesia dengan status sebagai Daerah Istimewa”, itu keputusan sejarah yang tidak dapat diingkari sebagai keputusan politik yang berani dan spektakuler pada masa itu, mengingat keduanya adalah sebagai “RAJA” (KO) yang masih berkuasa di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman.
Kedua, penegasan dalam Maklumat No. 18 Tahun 1946 yang ditanda – tangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang menyebut bahwa daerah Kesultanan dan Paku Alaman adalah merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status sebagai “Daerah Istimewa”, demikian juga hal keistimewaan tersebut ditegaskan lagi dalam Amanat ke II tanggal 30 Oktober 1945 yang juga ditanda-tangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yakni tentang Pembentukan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, diikuti dengan tindakan – tindakan nyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dengan bentuk antara lain :
1)    Dihapuskannya fungsi dan kekuasaan “Pepatih Dalem” dan diambil alihnya fungsi dan peranan serta kekusaan Pepatih Dalem itu oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri.
2)    Sikap tegas Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang memihak kepada Republik Indonesia dengan Maklumat 5 September 1945.
3)    Dihapuskannya fungsi dan kekuasaan Gubernur Belanda atau Tyokan Jepang yang merupakan alat penjajah untuk menjajah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, dan diambil alih dan ditangani fungsi dan kekuasaan itu oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII.
4)    Penerbitan beberapa keputusan – keputusan politik baik dalam bentuk Maklumat, Amanat dan Keputusan lain.

Ketiga, Pengakuan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal – pasal dari Undang – undang No. 22 Tahun 1948 sebagaimana secara tegas disebutkan dalam pasal 1 (2) yang menyatakan : “ ..daerah daerah yang mempunyai hak asal usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan undang – undang pembentukan termaksud dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan provinsi, kabupaten atau desa yang diberi hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”.
Sedangkan dalam ayat (2) nya  disebutkan soal nama, batas – batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah – daerah tersebut ditetapkan dengan undang – undang. Dalam Undang – undang inipun diatur dan ditetapkan secara tegas bahwa, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari Keturunan Keluarga yang berkuasa didaerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya dengan syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu (Pasal 18 ayat (5) Undang – undang No. 22 Tahun 1948).
Keempat, didalam pasal 1 ayat (1) Undang – undang  N0. 3 tahun 1950 tegas menyebutkan “Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Puro Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta”, yang kemudian dalam Pasal yang sama ayat (2) ditegaskan bahwa “Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah setingkat Provinsi”, disini arti yang terkandung bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah yang dipersamakan dengan dan setingkat Provinsi, kemudian yang menjadi  landasan utama ketentuan itu adalah bab VI Pasal 18, Undang – undang Dasar 1945 tentang Pemerintah Daerah yang intinya menyatakan, pengakuan atas pembagian daerah yang berlaku dalam sistem pemerintahan dan hak asal – usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa.
Sampai disini kita merasa jelas bahwa status “Daerah Istimewa” pada daerah ex Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman sudah memiliki landasan hukum yang kuat dan sekali lagi “Bersifat Final” sejak terbitnya Undang – undang No. 3 Tahun 1950 tanggal 3 Maret 1950 yang kemudian diperbaiki dengan UU NO. 19 Tahun 1950 sehingga tidak terdapat landasan yuridis lain untuk meninjau kembali atau mengesampingkan keberadaan “Status Keistimewaan” Daerah Istimewa Yogyakarta, kecuali jika terbersit kehendak untuk menghapus keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta, wallohu’alam, sehingga masih relevan kan jika kita mempersoalkan status keistimewaan yang melekat pada Daerah Istimewa Yogyakarta ?, dan bukankah justru yang terpokok sekarang adalah menjabarkan isi yang terkandung dalam Undang - undang No. 3 Tahun 1950 Jo. Undang – undang No. 19 tahun 1950 khususnya tentang apa saja Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, baik dengan bentuk Undang – undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden. 
2. Hakekat Keistimewaan Secara Yuridis, Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta selain telah mendapat Justifikasi dalam bentuk Undang – undang, namun kiranya perlu diperhatikan dalam Keistimewaan atas hal apa saja yang melekat pada Daerah Istimewa Yogyakarta, secara rinci acuan utama adalah Undang – undang No. 3 Tahun 1950, dalam Pasal 1 ayat (1) tegas disebutkan bahwa Daerah Kasultanan dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan dalam ayat (2) Pasal yang sama disebutkan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat propinsi.
Kemudian dalam urusan Rumah Tangga Daerah Istimewa Yogyakarta dan ditegaskan dalam Bab II Pasal 4 (yang merupakan penjabaran dari pasal 23 dan 24 Undang – undang No. 22 Tahun 1948) adalah berjumlah XIII (tiga belas) urusan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemudian penyerahan urusan tersebut dikuatkan dengan Undang – undang No. 29 Tahun 1959 tanggal 13 Agustus 1959 tentang Urusan Rumah Tangga Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk didalamnya urusan Pengelolaan Hak Atas Tanah (Agraria) disamping itu juga segala hutang – piutang Darah Istimewa Yogyakarta menjadi tanggungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan bukan/tidak diambil alih Pemerintah Pusat.
Hal ini sebagai bentuk penjabaran/makna dari pernyataan “bergabungnya” dan bukan dengan bentuk “penyerahan”, karena jika pemerintahan Karaton Negari Yogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman diserahkan pada Republik Indonesia maka konsekwensinya segala urusan utang – piutang juga menjadi beban dan tanggung – jawab Pemerintah Republik Indonesia tetapi khusus dan istimewanya Yogyakarta tidak demikian.
Karena proses berintegrasinya pemerintahan Nagari Ngayogyakarto (yang sudah berdiri sejak tahun 1755) dan Kadipaten Paku Alaman (yang berdiri sejak tahun 1813), yang semula berbentuk kerajaan (Monarkhi Absolut) dengan otonomi kekuasaan yang diatur dalam Staatblaad No. 47 Tahun 1941 tentang Kontrak Politik Kasultanan Yogyakarta dan Staatblaad No. 577 Tahun 1941 tentang Kontrak Politik Kadipaten Paku Alaman, bukan dalam bentuk “Penyerahan Kedaulatan” melainkan dalam bentuk “Integral” dengan pengeluaran status kekhususannya.
Dalam proses integrasi, maka status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta makin mendapat legitimasi dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 381/M tanggal 16 September 1959 yang melegitimasi status keistimewaan dengan mengakui kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII selaku Penguasa Daerah Kasultanan Yogyakarta menjadi Kepala Daerah dan Penguasa Daerah Kadipaten Paku Alaman menjadi Wakil Kepala Daerah dan berhak menyandang gelar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lebih lanjut tentang jabatan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut oleh Undang – undang diakui tidak ada pembatasan masa jabatan, hal ini terlihat dari pasal 8 ayat (5 dan 6) Undang – undang No. 22 Tahun 1948, pasal 88 ayat (26), Undang – undang No. 18 Tahun 1965, pasal 91 butir b, Undang – undang No 5 Tahun 1974, sehingga jika tetap ingin disebut sebagai Daerah Istimewa maka ketentuan demikian haruslah di amandir kedalam suatu Undang – undang tersendiri sebagaimana dimungkinkan oleh Undang – undang No. 22 Tahun 1999 Jo. Undang – undang No. 32 Tahun 2004 (Pasal 225 dan Pasal 226).
Selain itu hakekat keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang melekat dan diakui adalah disebutkannya Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pusat budaya dan hal itu adalah merupakan salah satu modal dasar keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi memiliki hak ekonomi, hak politik, dan hak hukum yang tidak sama (khusus) dari daerah lain.
Hal itulah yang harus diatur dan dijabarkan dalam suatu undang – undang dan bukan lagi soal “Status Keistimewaan” daerahnya saja, melainkan juga pada bidang pemerintahannya yang menyangkut Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang proses penentuannya tidak sama dengan daerah lain (mendapat otonomi khusus), yakni dipilih dan ditetapkan oleh DPRD Propinsi yang keduanya berasal dari Kerabat Kasultanan dan Paku Alaman (diutamakan yang jumeneng), tetapi tetap memenuhi syarat – syarat perundang – undangan khusus sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 58 (kecuali huruf O dan P) Undang – undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Proses tersebut diatas telah dipraktekkan oleh Pemerintah meskipun melalui mekanisme yang beragam salah satu contoh dengan terbitnya Keppres No. 268/M tahun 1998 tentang Pengangkatan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY dan Keppres No. 4/M Tahun 2002 tentang Pengangkatan  Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur DIY, sedangkan DPRD hanya menetapkan dan mengesahkan setelah diteliti memenuhi syarat Undang – undang. Untuk itu dalam buku “Tahta Untuk Rakyat” disebutkan juga adanya Proses demokratisasi yang diberlakukan di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta, maka tidak berlebihan jika berbicara soal “Keistimewaan Yogyakarta adalah juga tidak terlepas pada eksistensi keberadaan kraton”, dengan konsekwensi keharusan menjaga keseimbangan kedua eksistensi tersebut yakni eksistensi Kraton Yogyakarta maupun eksistensi Pemerintah Daerah di Yogyakarta, tetapi jika ada yang berpendapat bahwa jika berbicara tentang keistimewaan otomatis berbicara soal kepemimpinan di Kraton adalah pendapat yang tidak tepat dan tidak beralasan.    



V.    TINJAUAN SOSIO - POLITIS :
Secara sosial, masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat yang sudah terbentuk dalam peradaban negara kerajaan, karena memang masyarakat Nusantara pada umumnya adalah komunal yang berada dibawah naungan tata pemerintahan kerajaan maupun dari berbagai suku yang sudah memiliki  norma, tradisi, adat, budaya dan keagamaan (Filosofi, Kultural, Spiritual dan Religi), sedangkan secara politis “proses integrasi Kasultanan & Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta” merupakan cikal bakal “primus interpares” bagi lahirnya sebuah negara baru yang memiliki kedaulatan, wilayah dan rakyat secara utuh.
Maka bergabungnya pemerintahan Kasultanan dan pemerintahan Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa dalam satu kesatuan wilayah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “starting point” bagi jalannya demokrasi pemerintahan republik Indonesia. Bergabungnya Kasultanan dan Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah setingkat propinsi menjadi tanda sekaligus bukti berakhirnya kekuasaan monarkhi abasolut dan menjadi awal kekuasaan demokrasi.
Saat itu pemerintahan kraton sebagai pusat kekuasaan yang utuh dan merangkap sekaligus sebagai pusat agama, adat dan budaya, akan tetapi saat ini kekuasan pemerintahan monarkhi tersebut telah berubah menjadi tata pemerintahan demokrasi, dimana dalam praktek kekuasaannya dapat dikontrol oleh lembaga legislatif. Anggota DPRD  dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap kepemimpinan para aristokrat dalam menjalankan roda pemerintahan melalui fungsi pengawasan, fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Proses demokrasi diatas dapat dilaksanakan hingga saat sekarang ini dan harus diakui bahwa hal tersebut merupakan kesadaran politik  yang dibangun oleh Sri Sultan Hemengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dalam mengawali sebuah proses perjuangan panjang.  Dengan mengukuhkan diri menjadi satu kesatuan “loro-loroning atunggal atau dwi-tunggal” dalam menjalankan kepemimpinan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan mengorbankan segala atribut serta panji – panji kerajaan, maka lahirlah sebuah wilayah baru yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lembaga pemerintahan demokrasi yang sangat menghargai eksistensi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, dengan cara – cara memberikan hak – hak politik “privellege” terhadap Sultan dan Adipati  yang bertahta dikedua lembaga adat tersebut, sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa Yogyakarta memiliki entitas politik dan identitas budaya secara sekaligus.
Kedua kelembagaan yang terdiri lembaga pemerintah dan lembaga adat tersebut terpisah secara secara struktural dan fungsional namun tidak tercerabut akar kulturalnya, dimana kraton Yogyakarta dan puro Pakualaman masih memiliki eksistensi dan mampu menjalankan adat, budaya dan melestarikan nilai – nilai luhur yang terkandung didalamnya, sementara lembaga pemerintahan dapat menjalankan fungsi demokrasi secara nyata tanpa meninggalkan nilai – nilai tradisi ketimurannya, hal ini sejalan dengan pidato pengukuhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940.
Keistimewaan sebagaimana disebutkan diatas merupakan “demokrasi secara substansial” sedangkan dalam hal “demokrasi secara prosedural” Sri Sultan Hamengku Buwono IX :
a.    merintis terbentuknya Badan Pekerja – Komite National Daerah Jogjakarta (BP-KNID)  yaitu cikal bakal badan legislasi atau badan pembuat undang – undang di daerah Swa-tantra tingkat I (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta),
b.    memberikan ide otonomi daerah yang bertumpu pada daerah swa-tantra tingkat II (Kota/Kabupaten),
c.    dan membentuk demokrasi pada daerah swa-tantra tingkat III (DPR Kelurahan),
Melihat realitas sejarah dan politik diatas, maka sudah sewajarnya  apabila Keputusan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1980 tanggal 18 Juli 1980, memutuskan keputusan tentang “Himbauan kepada Pemerintah Pusat, agar Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan”.
Atas dasar latar belakang sosial - kultural – spiritual (Landasan Filosofis),  realitas sejarah yang ada (Landasan Historis) dan kedudukan hukum yang cukup kuat (Landasan Yuridis),  maka secara sosial politik kedudukan Sultan Kasultanan Yogyakarta dan  Adipati Aryo Pakualaman sebagai pucuk pimpinan yang mengendalikan dua fungsi secara sekaligus, yaitu fungsi pelaksana tata pemerintahan demokrasi dan fungsi pelestari adat budaya dapat dipahami,  karena  :
Pertama, sesungguhnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh pencetus demokratisasi yang tidak diragukan lagi dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pelopor demokratisasi di Indonesia.
Kedua, mengingat latar belakang kultural, sejarah, hukum dan peran  perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada saat itu, maka sangat wajar apabila Keistimewaan itu terletak pada :
a.    Hak Politik Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman sebagai Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah.
b.    Gubernur/Kepala Daerah dan Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah tidak dibatasi masa jabatannya yang dijamin oleh peraturan perundang – undangan. (UU No. 22/48, UU No. 18/65 Ps. 88 Ay. 26, UU No. 5/74 Ps. 91 Btr. B, UU No. 22/1999, UU No. 32/2004 Ps.226).
c.    Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah diangkat dan dilantik secara langsung oleh Presiden, maka tidak dipilih oleh DPRD atau tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ketiga, dalam menjalankan roda pemerintahan yang demokratis bertumpu pada kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan fungsi dan kontrol terhadap kepemimpinan “Dwi-tunggal” atau kedua aristokrat tersebut, baik dalam siklus anggaran maupun momentum pertanggung – jawaban Kepala Daerah selaku pengemban amanah dalam rangka melaksanakan “Kontrak Politik” terhadap lembaga legislatif maupun “Kontrak Sosial” terhadap masyarakat.
Keempat, Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan Tata pemerintahan demokrasi yang berbasis kultural, karena memadukan prinsip – prinsip demokrasi dengan kultural dan hal ini merupakan salah satu khasanah kekayaan dalam mengisi ke - “bhineka tunggal ika”- an sekaligus sebagai pengakuan atas “spirit etno-nationalisme” dalam bingkai Pancasila.
Kelima, dengan diberikannya hak – hak istimewa terhadap pemegang tahta Kasultanan Kraton Yogyakarta dan tahta Kadipaten Puro Paku Alaman  sebagai Gubernur/Kepala Daerah dan Wakil Gubernur/ Wakil Kepala Daerah, maka  secara otomatis masing – masing lembaga budaya tersebut harus mampu melakukan regenerasi kepemimpinan kultural secara kualitatif karena harus memenuhi syarat – syarat politis sebagai Gubernur/Kepala Daerah dan Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah.

VI.    PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN :

Pelaksanaan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat ini masih tetap mengacu UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan  Daerah Istimewa Yogyakarta Jo. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1950, sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Undang – undang No. 26 Tahun 1959 serta peraturan perundangan lainnya termasuk UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Propinsi Daerah Istimewa  Yogyakarta Tahun 2001 – 2005 ditetapkan Pokok – pokok Kebijakan dan Pembangunan Daerah yang Strategis, Arah Kebijakan Umum Tahun 2005 (AKU - 2005) serta Skala Prioritas Tahun 2005 (SP – 2005) sebagaimana terlampir dengan isi ringkasan sebagai berikut :
1. Kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta :

1).Kondisi Geografis :
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di bagian  tengah selatan Pulau Jawa, secara astronomis terletak pada 7°33’LS - 8°12’LS dan 110°00’BT-110°50’BT, dengan luas 3.185,80 km². Secara administratif DIY meliputi 1 Kota dan 4 Kabupaten, 78 Kecamatan, 45 Kelurahan, 393 Desa. Kota Yogyakarta terdiri dari 14 Kecamatan, 45 Kelurahan. Kabupaten Bantul terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Desa.. Kabupaten Kulonprogo terdiri dari 12 Kecamatan, 88 Desa. Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 Kecamatan, 144 Desa dan Kabupaten Sleman terdiri dari 17 Kecamatan, 86 Desa. 
Secara fisiografis dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) satuan wilayah, yaitu :
a.    Satuan Fisiografi Guung Api Merapi
b.    Satuan Pegunungan Selatan
c.    Satuan Pegunungan Kulon Progo
d.    Satuan Dataran Rendah.

2).Sumber Daya Alam
a.    Penggunaan Lahan secara umum dapat dikelompokkan menjadi lahan sawah 59.729 ha (18,75 %), pekarangan 86.725 ha (27,23 %), tegal 109.432 ha (34,35 %), hutan 17.060 ha (5,36 %), serta pemanfaatan lain – lain 45.571 ha (14,30 %).
b.    Sumber daya air berpotensi cukup besar dan terletak di zona tengah, berupa air tanah, air permukaan dengan ditunjang adanya Sungai Progo, Sungai Oya dan Sungai Opak.
c.    Bahan Mineral dan Bahan Galian yang terbesar adalah bahan galian golongan C, seperti pasir, kerikil, batu, gamping, kalsit, kaolin, dan zeolit serta breksi batu apung, sedangkan bahan galian golongan A berupa batu bara dengan jumlah yang terbatas dan bahan galian golongan B berupa Pasir Besi (Fe), Mangaan (Mn), Barit (Ba), dan Emas (Au) terdapat di kabupaten Kulon Progo dengan jumlah yang terbatas.

3).Kependudukan :
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1990 sebanyak 2.912.611 jiwa, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 3.109.142 jiwa, dengan kepadatan rata – rata sebesar 914 jiwa/km² pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 976 jiwa/km² pada tahun 2000. Sedangkan pertumbuhan penduduk pada tahun 1999 – 2000 yaitu 0,65 %/tahun. Salah satu faktor meningkatnya pertumbuhan penduduk ini adalah berkaitan dengan kondisi DIY sebagai salah satu daerah yang relatif aman dan tenteram, sehingga migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar. Pada tahun 2005 merupakan wilayah yang padat penduduk dengan jumlah 3,2 juta jiwa dengan 57 % diantaranya penduduk urban.

4).Perekonomian :
Perkembangan ekonomi DIY selama lima tahun terakhir (1994 – 1999) menunjukkan angka yang relatif rendah yaitu sebesar 1,57 %/tahun. Pada tahun 2000 – 2004 diperkirakan tumbuh rata – rata 5 %/tahun dengan catatan inflasi tidak lebih dari 2,5 % dan besarnya investasi pemerintah tidak kurang dari jumlah investasi pada tahun 2000.
Distribusi lapangan usaha dalam pembentukan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Propinsi DIY pada tahun 1994 – 1999, menunjukkan bahwa lapangan usaha yang mengalami peningkatan yaitu sektor pertanian, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restauran. Sedangkan lapangan usaha yang mengalami penurunan yaitu sektor pertambangan dan penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan dan jasa.
Pada tahun 2000 - 2005 pariwisata tumbuh lebih dari 300 % dan Yogyakarta tumbuh sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan bermunculan Mall, Ruko, Pasar dan berbagai sektor perdagangan informal diberbagai tempat.

5).Pendidikan :
Sektor pendidikan merupakan unggulan, mengingat di DIY memiliki jumlah perguruan tinggi sebanyak 123 universitas, merupakan pusat masyarakat berpendidikan tinggi dan berkeahlian tinggi (Computer acces 16 % RT) serta fasilitas pendidikan swasta & non swasta tingkat SD, SLTP,  SLTA maupun Lembaga Pendidikan Kejurauan formal maupun non formal.
  
6).Agama dan Sosial Budaya :
Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diidentikan dengan masyarakat madani atau civil society, dimana antara kaum pendatang dan penduduk asli dengan latar belakang agama, suku, ras, tingkat ekonomi, sosial dan pendidikan yang berbeda, dapat berbaur dalam satu komunal tanpa ada konflik (pluralisme).
Hal ini mempengaruhi Angka Harapan Hidup yang tinggi, yaitu 74 tahun untuk wanita dan 71 untuk pria.

7).Pariwisata :
Pariwisata tumbuh lebih dari 300 % selama lima tahun terakhir dan mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, namun data pada tahun 1996 – 2003 wisatawan asing menunjukkan penurunan yang cukup drastis, namun wisatawan nusantara justru menunjukkan peningkatan yang cukup drastis pula.

8).Pemerintahan :
Issue manajemen yang diangkat dalam Arah Kebijakan Umum 2005  menunjukkan bahwa institusi pemerintahan mengalami over-employee atau kegemukan aparatur pemerintah, sementara anggaran sektor publik hanya 15,4 % dari GRDP – DIY dan hanya 14 % anggaran publik di earmarked untuk investasi.
Konsep Prekondisi Good Local Governance menuju Regional Competitiveness langkah – langkah memajukan lembaga perwakilan yang kompeten, eksekutif yang profesional, komitmen aparat dalam menjunjung penegakan hukum, sistem dan proses peradilan yang adil dengan didukung kesiapan masyarakat dan kompetisi sektor swasta.

9).Sosial & Politik :
Kondisi sosial dan politik di DIY relatif stabil dan kondusif, hal ini disebabkan penguatan pilar demokrasi yang bertumpu pada kekuatan budaya (Keberadaan Kraton & Pakualaman), kekuatan akademisi (123 perguruan tinggi), kekuatan spiritual (kerukunan antar umat beragama), kekuatan media massa (cetak & elektronik), kekuatan birokrasi dan aparatur pemerintah (TNI, POLRI & PNS) serta kekuatan organisasi massa, LSM, organisasi profesi dll.

10).Keamanan, Ketentraman, dan Ketertiban :
Sektor ini relatif kondusif dan terkendali, namun terdapat ancaman serius terhadap generasi muda berkaitan dengan penggunaan Narkoba dan Zat Additif, Kejahatan tingkat tinggi melalui komputer (Hacker), penyakit masyarakat,  bencana alam dan kerawanan sosial akibat semakin menyempitnya ruang publik dan terjadi perebutan ruang dan waktu disektor – kawasan strategis.

2. Filosofi, Visi dan Misi Pembangunan :

1). Filosofi :
Dasar filosofi pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta atas dasar sesanti/semboyan : “Hamemayu Hayuning Bawono”, sebagai simbol cita – cita luhur untuk menggapai  kesempurnaan dalam tata kehidupan masyarakat Yogyakarta yang senantiasa bertumpu pada prinsip harmonisasi, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kelestarian dan menjaga keindahan lingkungan, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Puncak budaya merupakan hakekat yang dihasilkan oleh olah rasa, karsa dan cipta yang diidentikkan dengan pengelolaan kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual.     

2). Visi Pembangunan :
“Mewujudkan Pembangunan Regional Sebagai Wahana Menuju Pada Kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta Pada Tahun 2020 Sebagai Pusat Pendidikan, Budaya Dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka, Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Maju, Mandiri, Sejahtera Lahir – Batin Didukung Oleh Nilai – Nilai Kejuangan Dan Pemerintah Yang Bersih Dalam Pemerintahan Yang Baik Dengan Mengembangkan Ketahanan Sosial Budaya Dan Sumber Daya Berkelanjutan”

3). Misi Pembangunan :
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2001 – 2005 adalah :
a.    Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang baik dan bersih (Good Governance dan Clean Government).
b.    Memulihkan Ketahanan Ekonomi Daerah.
c.    Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
d.    Meningkatkan Ketahanan Budaya.
e.    Mewujudkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pusat Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terkemuka.
f.    Memberdayakan Masyarakat.
    Prioritas Pencapaian Sasaran Tahun 2005 Berdasarkan POLDAS Dan PROPEDA 2001 – 2005 Dengan Program Dan Kegiatan Pada Tahun Ke V/2005 Ini Akan Menitik Beratkan Kepada Pemantapan Hasil Yang Telah Dicapai Dan Peletakan Dasar – Dasar Bagi Program Pembangunan Daerah Tahap Berikutnya.

3. Arah Kebijakan & Program Pembangunan Daerah :

1). Bidang Kewenangan & Program Induk :
a.    Bidang Administrasi Umum Pemerintahan
    Biro Tata Pemerintahan : Peningkatan kapasitas dan kualitas penyelenggaran pemerintahan umum, otonomi daerah, pertanahan, dan kependudukan (mengacu UU No. 32/2004)
    Biro Hukum : Peningkatan Supermasi Hukum
    Biro Kerjasama : Pengembangan dan Pemantapan Kerjasama antar Lembaga Pemerintah dan Non Pemerintah Dalam dan Luar Negeri.
    Biro Umum : Peningkatan Pelayanan Intern Pemerintah Propinsi DIY.
    Biro Organisasi : Peningkatan Kualitas Kelembagaan dan Ketata laksanaan organisasi Pemerintah Daerah.
    Biro Kepegawaian : Peningkatan Kualitas Manajemen SDM, yang berbasis kepada Kompetensi.
    Sekretariat Dewan : Peningkatan dukungan pelayanan administrasi kepada lembaga Legislatif Daerah.
    Badan Perencanaan Daerah : Peningkatan Kapasitas dan Kualitas Perencanaan dan Pengernalian Program.
    Badan Pengawasan Daerah : Peningkatan Fungsi Pengawasan
    Badan Pendidikan dan Latihan : Peningkatan Kualitas Sumberdaya Aparatur.
    Badan Perpustakaan Daerah : Peningkatan Kualitas Pelayanan Perpustakaan Berbasis pada Pemanfaatan Teknologi Informasi
    Badan Informasi Daerah : Pengembangan Layanan Informasi berbasis pada penerapan Teknologi Informasi.
    Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah : Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis pada Rencana Pelaksanaan Agenda 21
    Badan Pariwisata Daerah : Pengembangan Promosi, Kerjasama, dan Jejaring Kepariwisataan.
    Badan Pengelolaan Keuangan Daerah : Peningkatan Kualitas Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja dan Optimalisasi Potensi dan Pemanfaatan Asset Pemerintah Daerah.
    Kantor Perwakilan Daerah : Optimalisasi fungsi perwakilan Pemda sebagai Window Office
    Kantor Arsip Daerah : Peningkatan Kualitas manajemen Kearsipan Daerah
    Kantor Pemberdayaa Perempuan : Peningkatan Wawasan dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kesetaraan Gender, serta Perlindungan hak – hak Perempuan dan Anak.
b.    Bidang Pertanian : Peningkatan Produk dan Kualitas Komoditas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan melalui pengembangan Sistem Usaha Tani.
c.    Bidang Perikanan dan Kelautan : Pengembangan Produk Perikanan Budidaya dan Tangkap melalui Penerapan Teknologi Inderaja (Remote Sensing Applications)
d.    Bidang Kehutanan dan Perkebunan : Optimalisasi Fungsi Hutan, melalui : Peningkatan Penerapan Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Kawasan.
e.    Bidang Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Pertambangan, dan Energi : Peningkatan Kualitas perekonomian Daerah melalui Perbaikan Sistem manajemen perindustrian, perdagangan, Koperasi, dan Pertambangan.
f.    Bidang Ketenaga-kerjaan dan Transmigrasi : Peningkatan Kualitas Ketrampilan Tenaga Kerja dan Fasilitasi Pelaksanaan Transmigrasi (Sertifikasi Tenaga Kerja)
g.    Bidang Kesehatan : Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Pemberantasan Penyakit Menular.
h.    Bidang Pendidikan,  Pemuda, dan Olah – raga : Peningkatan Kualitas Pendidikan
i.    Bidang Kebudayaan : Penggalian dan Pemasyarakatan Nilai – nilai Budaya Daerah dan Pelestarian Cagar Budaya, Benda Cagar Budaya dan Permuseuman.
j.    Bidang Sosial : Peningkatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial
k.    Bidang Penataan Ruang, Permukiman, dan Pekerjaan Umum : Peningkatan Kualitas Infra Struktur Daerah.
l.    Bidang Perhubungan : Peningkatan Kualitas Sarana Transportasi dan Telekomunikasi

2). Program Prioritas – Strategis 2005 :
a.    Pelatihan Total Quality Management untuk eselon III & IV
b.    Promosi dalam events regional, nasional, dan internasional
c.    Pembangunan Information dan Communication Technology Training Center (ICT Training Center)
d.    Pengembangan Potensi Kelautan dan Pantai Selatan DIY
e.    Yogya Sehat 2005
f.    Pelatihan Tenaga Kerja Berketrampilan (Jogja Training Center)
g.    Implementasi Program Agenda 21 “Substainable Tourism Development” DIY pada bidang – bidang terkait.
h.    Pembangunan Prasarana dan Sarana Jalan Lintas Selatan.
i.    Pembangunan Outer Ring Road Selatan
j.    Pembangunan Prasarana dan Sarana bagi Techno Incubator Park, Industrial Estate, dan Logistic Center di Sitimulyo Piyungan Bantul.
k.    Pembangunan Modified Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA)
l.    Penyiapan Prasarana Pendukung Program Sungai Bawah Tanah di Gua Bribin.
m.    Pembangunan Prasarana dan Sarana Penyediaan Air Baku
n.    Pengembangan Bandara Adisucipto.

3). Pendekatan Pembangunan :
a.    Pendekatan Sejarah/Historis
b.    Pendekatan Kewilayahan
c.    Pendekatan Lingkungan Hidup/Ekologi
d.    Pendekatan Kelembagaan
e.    Pendekatan Ekonomi
f.    Pendekatan Sumber Daya Manusia
g.    Pendekatan Prasarana dan Sarana

4). Peran Pelaku Pembangunan :
a.    Peran Pemerintah Daerah
b.    Peran Masyarakat
c.    Peran Pelaku Sektor Swsta

5). Pembangunan Wilayah dan Kawasan :
a.    Pertanahan
b.    Penataan Ruang
c.    Pembangunan Daerah
d.    Pembangunan Perkotaan
e.    Pembangunan Pemukiman
f.    Pengambangan Wilayah Barat

g.    Pengembangan Wilayah Tengah
h.    Pengembangan Wilayah Timur
i.    Pengembangan Wilayah Pesisir

VII.    INVENTARISASI MASALAH :

Sebagaimana disajikan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah, maka cukup jelas kendala – kendala pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Bab II, Butir B, secara garis besar dapat dikategorisasikan mengenai kendala atau masalah – masalah yang berkembang sebagai berikut :
1.    Rendahnya daya dukung terhadap pengembangan perekonomian wilayah
2.    Kesenjangan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar wilayah
3.    Penurunan kualitas lingkungan
4.    Tata ruang yang tidak ditepati
5.    Ketimpangan antara kesempatan kerja dengan angkatan kerja
6.    Kawasan tertinggal dan kemiskinan
7.    Penyediaan tanah untuk pembangunan
8.    Ketidak merataan latar belakang pendidikan masyarakat
9.    Ketidak setaraan Gender
10.    Rendahnya kinerja kelembagaan dan kemampuan Aparatur Pemerintahan
11.    Potensi Konflik
12.    Potensi Bencana Alam
Sedangkan masalah yang berkembang seiring dengan penerapan peraturan perundangan, khususnya UU No. 3 Tahun 1950 dengan Peraturan Perundang - undangan yang berlaku, seperti misalnya :
1.    Masa Orde Lama (UU No. 22/1948, UU No. 26/1959, UU No. 18/1965)
a.    UU No. 3/1950 dilaksanakan secara konsisten
b.    Kedudukan Sultan & Adipati mendapat tempat yang terhormat walaupun Sri Sultan merangkap jabatan Gubernur Kepala Daerah dan Menteri.
2.    Masa Orde Baru (UU No. 5/1974)
a.    UU No. 3/1950  dilaksanakan secara konsisten dan mendapat payung hukum dalam UU No. 5/1974.
b.    Kedudukan Sultan & Adipati mendapat tempat yang terhormat walau Sri Sultan merangkap jabatan Gubernur Kepala Daerah dan Wakil Presiden dan posisi pejabat Gubernur sempat kosong pada tahun 1989 – 1998.
3.    Masa Reformasi (UU No. 22/1999 Jo. UU No. 32/2004)
a.    UU No. 3/1950 tidak dilaksanakan secara konsisten dan mengalami distorsi karena kekurang pahaman kaum reformis terhadap peraturan – perundangan yang bersifat fondamental/baku.
b.    Kedudukan Sultan & Adipati tidak mendapat tempat yang terhormat karena dianggap a demokratis atau elitis, sehingga ada upaya pemaksaan penerapan demokrasi liberal dan mengesampingkan kultur dan aspirasi masyarakat Yogyakarta.

Melihat persoalan diatas, maka muncul persoalan yang tidak kalah pentingnya dan selalu tidak terakomodir dalam payung hukum formal, yaitu masalah :
1.    Pertanahan (Hak Agraria)
2.    Demokrasi (Hak Politik Kasultanan)
3.    Kedudukan UU No. 3/1950 (Hak Istimewa/Asal – usul Daerah) 
4.    Perlindungan Cagar Budaya beserta nilai – nilai yang terkandung didalamnya (Hak Adat & Budaya)
5.    Keuangan (Hak Anggaran terhadap Institusi Budaya)


VIII.    REKOMENDASI :

Melihat realitas sosial, realitas sejarah, relitas hukum dan realitas politik diatas, maka direkomendasikan bahwa tata pemerintahan di Daerah  Istimewa Yogyakarta adalah Tetap Istimewa dan ditindak lanjuti dengan  Rancangan Peraturan Perundang  - undangan yang mampu memperkokoh Status Istimewa dan mengisi keistimewaan bagi Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta agar mampu melaksanakan Otonomi Daerah secara luas dan bertanggung – jawab tanpa harus tercerabut dari akar budayanya.
Oleh karena itu perlu diatur lebih lanjut tentang :
1.    Status dan Kedudukan Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Puro Pakualaman sebagai asset budaya nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Kedudukan Keuangan dan Protokoler bagi Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman sebagai pengemban lembaga budaya maupun sebagai pengemban lembaga pemerintahan, termasuk didalamnya mengatur hak – hak politik, hak keuangan, & pelaksanaan kultur demokrasi secara khusus, dan hak adat/penataan kelembagaan adat, lembaga musyawarah, lembaga pemerintahan berbasis kultural sesuai UUD 1945, Pasal 18 dan Penjelasannya yang menjamin hak – hak asal – usul dan adat – istiadat dalam daerah yang bersifat istimewa.
3.    Penyelenggaraan otonomi, pengaturan Rumah – tangganya sendiri secara khusus menyangkut :
a.    Penyelenggaraan Tata Guna Tanah/Pertanahan (Agraria)
b.    Penyelenggaraan Pendidikan
c.    Penyelenggaraan Kegiatan Agama, Pelestarian Adat dan Budaya
d.    Pendayagunaan asset kepariwisataan kultural spiritual
e.    Pendayagunaan asset ekonomi – kerakyatan


IX.    PENUTUP :

Demikianlah Rancangan Akademis tentang Undang Undang Daerah Istimewa Yogyakarta disusun dan diajukan untuk dikaji lebih lanjut, dengan harapan dengan terbitnya peraturan perundangan yang mengisi dan memperjelas tugas dan tanggung – jawab seluruh kekuatan dan potensi masyarakat yang tercermin dalam hubungan sinergis antara lembaga adat & budaya (Kraton Yogyakarta & Kadipaten Paku Alaman), lembaga perwakilan rakyat (DPRD) dan lembaga pemerintahan (Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat).
Semoga dengan terbitnya Undang – undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta mampu memperkokoh akar budaya bangsa sesuai amanat pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila, Undang – undang Dasar 1945 serta Amanat Perjuangan dalam rangka memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semoga Daerah Istimewa Yogyakarta mampu menjadi mercu suar budaya ditengah peradaban global.
Sekian dan terima kasih, semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk – Nya kepada kita semua, Amien yaa Robbal Alamien.  
Yogyakarta, 18 Maret 2005

Tim Penyusun :

GBPH H Joyokusumo         Drs. H. Khairuddin SS, M.Si.


Achiel Suyanto SH, MBA   H.Heru Wahyukismoyo S.Sos,M.Si.













LAMPIRAN
DASAR HUKUM/UNDANG – UNDANG TERKAIT  DENGAN STATUS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Asal-usul berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti tahun 1755 (sejarah berdirinya Pemerintahan Kerajaan Nagari Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat pada tahun 1756), maupun peran perjuangan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman  dalam rangka berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945 (sejarah berdirinya Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
Dasar Hukum sebagaimana tersebut diatas, berupa Perjanjian, Pidato, Surat Kawat, Piagam, Maklumat, Peraturan Pemerintah atau Undang – undang yang pernah diberlakukan semasa Pemerintahan Kerajaan Nagari Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Praja Kadipaten Paku Alaman maupun semasa Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut :
1.    Perjanjian Giyanti

2.    Perjanjian Berdirinya Puro Pakualaman

3.    Staatsblaad Kasultanan

4.    Staatsblaad Pakualaman

5.    Perjanjian dengan Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Gubernur Lucient Adam.

6.    Pidato Pengukuhan BRM Dorojatun sebagai Sri Sultan HB IX.

7.    Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia. (Dalam hal ini tidak menyebut status istimewa)

8.    Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)

9.    Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat secarta bersama dalam satu naskah)

10.    Undang Undang Dasar 1945, pasal 18 dan penjelasannya

11.    Undang Undang Dasar 1945 (Amandemen 2000), Pasal 18 – B, Ayat (1) dan (2).
12.    UU No. 1/1945 tanggal 23 September 1945 tentang Komite Nasional Daerah. Di Yogyakarta tidak diberlakukan KND tapi pengangkatan Komisaris tinggi pada daerah Swapraja Yogyakarta dan Surakarta.

13.    Penetapan Pemerintah No 16/SD/1946, tertanggal 15 Juli 1946 tentang Pembentukan Karesidenan Surakarta (Terdiri Kasunanan & Mangkunegaran) :
a.    Sri Sultan sebagai Pembantu Bendahara Negara untuk Kasultanan dan Pakualaman.
b.    Residen Surakarta sebagai Pembantu Bendahara Daerah Kasunanan Surakarta.

14.    Undang –undang No. 17/1947 tentang Haminte Kota Yogyakarta

15.    Undang – undang No. 22/1948, tentang Pokok – pokok Pemerintah Daerah, pasal 18 ayat 5 yang menyatakan  Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

16.    Perpu 1/1949 tanggal 30 Juli 1949 tentang Pembentukan Daerah  Militer Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.

17.    Undang – undang No. 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yuncto Undang – undang No. 19/1950, perihal Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi yang memiliki hak-hak asal-usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa.

18.    Peraturan Pemeriantah No. 31/1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan UU No. 26/1959.

19.    Peraturan Pemerintah No. 38/1951, perihal Penyerahan sebagian urusan Pemrintah Pusat dalam bidang pertanian kepada DIY.

20.    Undang Undang No. 15/1950, tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten – kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Adikarta.

21.    Undang – undang No. 16/1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar antar lain Haminte Kota Yogyakarta menjadi Kota Besar Yogyakart.

22.    Undang – undang No 19/1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Perubahan UU no. 3/1950 tentang tambahan isi Urusan Rumah Tangga.

23.    Undang – undang No. 18/1951 tentang Penghapusan Kabupaten Adikarta (dimasukkan kedalam Daerah Kabupaten Kulonprogo).

24.    Undang – undang No. 17/1955 (darurat) tentang perpanjangan jangka waktu berlakuknya peraturan – peraturan daerah yang dimaksud pasal 6 Undang undang Pembentukan Daerah Otonom di Jawa.

25.    Undang –undang No. 1/1957 sebagai pelaksanaan dari UUD S yang diberlakukan sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengatur tentang Pokok – pokok Pemerintah Daerah yang menyatakan Daerah Istimewa diajukan DPRD, dari keturunan Raja yang berkuasa di daerah itu.

26.    Undang – undang No. 14/1958 tanggal 20 Mei 1958 tentang Daerah Inclave Imogiri dan Kotegede (Kasunanan) masuk Kabupaten Bantul, Ngawen (Mangkunegaran) masuk Kabupaten Gunungkidul.

27.    Undang – undang No. 26/1959 tanggal 4 Juli 1959 tentang Penetapan (Perpanangan) Pelaksanaan UU No. 17/1955 tentang a.l. berlakunya Perda Daerah Otonomi di Jawa.

28.    Undang – undang No. 29/1959 tanggal 13 Agustus 1959 tentang Urusan Rumah Tangga Daerah Istimewa Yogyakarta. (Terkait UU No. 3/1950).

29.    Penetapan Presiden No. 6/1959 tanggal 1 September 1959 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kepala serta Wakil Kepala Daerah Istimewa sebagaimana perumusan UU No. 22/1948, yaitu diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu.

30.    Kepres 381/M tahun 1959 tanggal 16 September 1959 tentang Pengangkatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempergunakan gelar gubernur mulai tanggal 17 September 1959.

31.    Undang – undang No. 18/1965 tentang Pokok – Pokok Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terikat pada masa jabatan (Pasal 88 : 26).

32.    Undang – undang No.1/1967, tentang Pokok Pemerintahan Daerah.

33.    Undang – undang No. 5/1974, tangal 23 Juli 1974 tentang Pokok – pokok Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terikat pada masa jabatan (Pasal 91, butir b).

34.    Keputusan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1980 tanggal 18 Juli 1980 tentang Himbauan kepada Pemerintah Pusat agar Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.

35.    Keppres No. 340/M tahun 1988, tanggal 6 Desember 1988             tentang Memberhentikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur sejak tanggal 3 Oktober 1988 dan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Pejabat Gubernur sejak pelantikannya (19 Desember 1988).

36.    Surat Perintah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, No. 1882/1774 Tentang Rencana Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.   

37.    Undang – undang No. 22/1999, pasal 122

38.    Undang – undang No. 32/2004, pasal 225 & pasal 226

Catatan :
    Essensi Keistimewaan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, dapat dilihat dari :
1.    Tinjauan Sosio - Filosofis (Cultural & Spiritual)
2.    Tinjauan Sosio - Historis (Peran Perjuangan Pendiri Mataram sejak P. Senopati,  Sultan Agung, HB I s.d. HB IX).
3.    Tinjauan Sosio – Yuridis (Sebagaimana UU diatas, Piagam Kedudukan tgl 19 Agustus 1945, Maklumat 5 September 1945 & Maklumat 30 Oktober 1945).
4.    Tinjauan Sosio – Politis (
    Hakekat keistimewaan terletak pada :
1.    Kedudukan Sri Sultan  Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII selaku penguasa daerah Kasultanan Yogyakarta menjadi Kepala Daerah dan penguasa daerah Kadipaten Pakualaman menjadi Wakil Kepala Daerah dan berhak menyandang Gelar Gubernur dan Wakil Gubernur. (Kepres 381/M, tahun 1959, tanggal 16 September 1959).
2.    Hak Politik Kasultanan dan Kadipaten dalam memimpin bekas wilayah swa-praja “bumi merdiko” yang menjadi daerah setingkat propinsi yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.
3.    Memiliki hak – hak pengelolaan daerah secara otonom sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan diberi hak – hak istimewa untuk mengatur rumah tangganya sendiri yang tidak diatur oleh UU diatasnya, Misalnya :
    Hak pengelolaan tanah/agraria
    Hak pengelolaan/ pelestarian atas kerajaan termasuk didalamnya nilai – nilai Adat & Budaya,
    Hak  memberlakukan hukum adat maupun hukum khusus.
4.    Hak Istimewa tidak terlepas dari peran perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dalam perang kemerdekaan hingga pemindahan ibukota RI ke Yogyakarta, membidani lahirnya TNI, UGM, dll.
5.    Hak Istimewa dalam hal Tata Pemerintahan maupun kepeloporan dalam hal proses demokratisasi desa s.d tingkat kabupaten, pada tahun 1949. Sehingga pada waktu itu Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki perangkat infra struktur maupun supra struktur pemerintahan paling lengkap di Indonesia. Contoh : Jabatan Kepala Daerah Tingkat Gubernur – Bupati – Wedono – Mantri – Lurah – Dukuh.  



Opsi Referendum  (UU No. 5/1985) dg tiga opsi :

    Tidak Istimewa : RUU Memperlemah Status Daerah Istimewa Yogyakarta, Hak – Hak Politik Sultan & Paku Alam dihapus dan DIY menjadi Daerah Propinsi Yogyakarta (Tanpa Istimewa) dengan mengedepankan demokrasi prosedural (Pilihan Langsung sesuai UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005).

    Kombinasi : RUU Mengakomodir proses demokrasi prosedural dan demokrasi substansi dengan Model Triangluasi atau Konsensus Tiga Kekuatan antara Kekuatan Politik (Pemeriantah Pusat/Daerah) – Kekuatan Budaya (Kasultanan & Pakualaman) – Kekuatan Rakyat DIY (People Power).

    Tetap Istimewa : RUU Memperkokoh Status Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mampu melaksanakan Otonomi Daerah secara luas dan bertanggung – jawab.































Draft Akademik


Rancangan Undang Undang
Tentang
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

(Penjabaran Isi UU No. 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta          Jo. UU No. 19/1950 tentang  Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi  Jo. UU No. 26/1959 tentang Penetapan Pelaksanaan UU No. 17/1955 tentang a.l. Berlakunya Perda Otonomi Daerah di Jawa,
yang disesuaikan dengan UU No. 32/2004)






Tim Penyusun :

GBPH H JOYOKUSUMO
DRS. H KHAIRUDDIN SS, M.Si
ACHIEL SUYANTO SH, MBA
H.HERU WAHYUKISMOYO S.SOS, M.Si

Yogyakarta, 18 Maret 2004


Daftar Isi

Halaman Sampul …………………………………………….    I
Halaman Isi ………………………………………………….    II
Pengantar ……………………………………………………    III

I.    Pendahuluan : ………………………………………    1
    1. Tinjauan Sosio Filosofis (Kultural – Spiritual)…..    5
    2. Tinjauan Sosio Historis ………………………….    10
    3. Tinjauan Sosio Yuridis …………………………..    17
         1). Status Keistimewaan secara yuridis …………    20
         2). Hakekat Keistimewaan secara yuridis ………    23
              4.  Tinjauan Sosio Politis …………………………..    27
II.    Pelaksanaan Tata Pemerintahan ……………………    32
    1.  Kondisi Geografis ………………………………    32
    2.  Sumber Daya Alam …………………………….    32
              3.  Kependudukan ………………………………….    33
    4.  Perekonomian ……………………………….    ….    33
    5.  Pendidikan …………………………………..    ….    34
    6.  Agama & Sosial Budaya ………………………..    34
    7.  Pariwisata ……………………………………….    34
    8.  Pemerintahan ………………………………..    ….    34
    9.  Sosial & Politik ……………………………..    ….    35
    10.Keamanan, Ketentraman & Ketertiban ……..    ….    35
III.    Filosofi, Visi & Misi Pembangunan    ……………….    35
    1. Filosofi ………………………………………….    35
    2. Visi Pembangunan ………………………………    35
    3. Misi Pembangunan ………………………………    36
IV.    Implementasi Kebijakan & Program Pembangunan..    36
    1. Bidang Kewenangan & Program Induk …………    36
    2. Program Prioritas Strategis 2005 ...……………...    38
    3. Pendekatan Pembangunan ………………………    38
    4. Peran Pelaku Pembangunan …………………….    39
       5. Pembangunan Wilayah & Kawasan …………….    39
V.    Inventarisasi Masalah ………………………………    39
VI.    Rekomendasi ……………………………………….    41
VII.    Penutup …………………………………………….    41

Lampiran – lampiran :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar