MISTIK MERUPAKAN KEBENARAN NON-ILMIAH
1. Pendahuluan
Berbicara tentang kebenaran, sebenarnya membicarakan tentang sesuatu yang mempunyai makna yang sangat luas. Karena selain membicarakan tetang teori-teori kebenaran yang beragam dan variatif kita juga dihadapkan dengan kenyataan sejarah yang sangat panjang dan perkembangan pemikiran filsafat itu sendiri yang membicarakan tentang “kebenaran”.
Bila kita kembali menilik kedalam perkembangan sejarah pemikiran filsafat, maka kita akan menemukan pembicaraan tentang kebenaran yang telah dimulai sejak masa Plato, dan dalam perkembangan selanjutnya diteruskan oleh Aristoteles. Aristoteles mendasarkan kebenaran pengetahuan manusia bukan pada gagasan trasenden yang terpisah dari hal-hal pengalaman sehari-hari, melainkan pada forma (ide) yang termuat dalam benda-benda dan yang berhubungan dengan konsep-konsep manusia yang obyektif serta nyata. Dengan kata lain, pengalaman indrawi harus bekerja sama dengan abtraksi intelektual dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan manusiawi.[1]
Sebagaimana telah dibicarakan di atas, bahwa pembahasan tentang kebenaran mengandung makna yang sangat luas. Karena teori-teori kebenaran mencakup pembahasan-pembahasan yang beragam dan berlainan, namun kita dapat mengelompokkan kebenaran atas pengelompokan besar yaitu, “kebenaran ilmiah” dan “kebenaran non-ilmiah”. Demi keepektifan maka pembahasan disini hanya ditujukan pada pembahasan tentang “kebenaran non-ilmiah” yang berbicara tentang apa kebenaran itu sendiri, selanjutnya menjelaskan maksud dari kebenaran non-ilmiah diteruskan dengan pembahasan tentang pembagian atas kebenaran non-ilmiah itu sendiri.
Berbicara tentang kebenaran, sebenarnya membicarakan tentang sesuatu yang mempunyai makna yang sangat luas. Karena selain membicarakan tetang teori-teori kebenaran yang beragam dan variatif kita juga dihadapkan dengan kenyataan sejarah yang sangat panjang dan perkembangan pemikiran filsafat itu sendiri yang membicarakan tentang “kebenaran”.
Bila kita kembali menilik kedalam perkembangan sejarah pemikiran filsafat, maka kita akan menemukan pembicaraan tentang kebenaran yang telah dimulai sejak masa Plato, dan dalam perkembangan selanjutnya diteruskan oleh Aristoteles. Aristoteles mendasarkan kebenaran pengetahuan manusia bukan pada gagasan trasenden yang terpisah dari hal-hal pengalaman sehari-hari, melainkan pada forma (ide) yang termuat dalam benda-benda dan yang berhubungan dengan konsep-konsep manusia yang obyektif serta nyata. Dengan kata lain, pengalaman indrawi harus bekerja sama dengan abtraksi intelektual dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan manusiawi.[1]
Sebagaimana telah dibicarakan di atas, bahwa pembahasan tentang kebenaran mengandung makna yang sangat luas. Karena teori-teori kebenaran mencakup pembahasan-pembahasan yang beragam dan berlainan, namun kita dapat mengelompokkan kebenaran atas pengelompokan besar yaitu, “kebenaran ilmiah” dan “kebenaran non-ilmiah”. Demi keepektifan maka pembahasan disini hanya ditujukan pada pembahasan tentang “kebenaran non-ilmiah” yang berbicara tentang apa kebenaran itu sendiri, selanjutnya menjelaskan maksud dari kebenaran non-ilmiah diteruskan dengan pembahasan tentang pembagian atas kebenaran non-ilmiah itu sendiri.
2. Pembahasan
1) Arti Kebenaran
Kebenaran (truth) ialah suatu konsep falsafati, aspek-aspek yang dijalankan dibawah episemologi; logik dan formal.[2] Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hammami, 1983). Kedudukan kebenaran pertama-tama terletak dalam diri subjek si pengenal. Ada dua hal yang harus dicatat di sini bagi subyek yang menyatakan kebenaran. Pertama, proposisi yang benar. Proposisi maksudnya ialah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan/statement. Kedua, proposisi yang diuji itu memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Alasannya adalah kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya. Maka kebenaran itu selalu dikaitkan dengan 3 (tiga) hal :
Pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa :[3]
Kebenaran (truth) ialah suatu konsep falsafati, aspek-aspek yang dijalankan dibawah episemologi; logik dan formal.[2] Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hammami, 1983). Kedudukan kebenaran pertama-tama terletak dalam diri subjek si pengenal. Ada dua hal yang harus dicatat di sini bagi subyek yang menyatakan kebenaran. Pertama, proposisi yang benar. Proposisi maksudnya ialah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan/statement. Kedua, proposisi yang diuji itu memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Alasannya adalah kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya. Maka kebenaran itu selalu dikaitkan dengan 3 (tiga) hal :
Pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa :[3]
· Kebenaran Ilmiah, yaitu kebenaran yang terbangun/diperoleh berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, dan koheren..
· Kebenaran non-ilmiah, yaitu kebenaran yang diperoleh bukan berdasarkan penalaran logika ilmiah, diantaranya : kebenaran karena kebetulan, kebenaran agama, kebenaran Intuitif, kebenaran karena Trial dan Eror, kebenaran spekulasi, kebenaran karena kewibawaan, dan kebenaran karena akal sehat.
· Kebenaran filsafat, kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada.
Kebenaran yang kedua adalah kebenaran yang dikaitkan dengan sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan pengindraan atau sense experience, ratio, intuisi atau keyakinan. Implikasi dan pengguaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu, juga akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Artinya, jika seseorang membangun pengetahuannya melalui indra/sense experience, maka pada saat itu kebenaran pengetahuannya harus dibuktikan lewat indra pula. Demikian juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif, lalu dibuktikan dengan cara indrawi misalnya.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) indrawi (2) akal budi (3) intuitif (4) pengetahuan kepercayaan/otoritatif. Implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) indrawi (2) akal budi (3) intuitif (4) pengetahuan kepercayaan/otoritatif. Implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya, bagaimana relasi antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu. Jika subjek yang dominan, maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang ersifat subjektif. Maksudnya, nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan tersebut. Sebaliknya, apabila objek amat berperan, maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu alam.[4]
Demikianlah pemahaman mengenai arti kebenaran, dengan harapan kita dapat memahami makna kebenaran beserta pengelompokannya, sehingga kita dapat mengetahui jenis dan bagian dari pengelompokan mana objek penbahasan kita nanti, yaitu mistik sebagai kebenaran non-ilmiah. Dari sinilah kita menangkap bahwa objek kajian mistik secara kualitas merupakan bagian dari kebenaran non-ilmiah, karakteristiknya dan proses mendapatkannya bersumber pada intuisi/kepercayaan dan latihan-latihan, adapun ketergantungannya sangat bersifat subjektif.
2) Mistik sebagai kebenaran non-ilmiah
Mistik = bagian dari pengetahuan manusia
Dalam Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowlwdge) yang didiskusikan tidak hanya pengetahuan sain (science), didiskusikan juga seluruh yang disebut pengetahuan termasuk pengetahuan yang “aneh-aneh” seperti Pelet, kebal, santet, saefi, dan lain-lain.[5] Dan semua hal yang aneh-aneh itu adalah pengetahuan mistik dan dikelompokkan kedalam pengetahuan non-ilmiah.
Sebelum kita membicarakan tentang “mistik” sebagai kebenaran non-ilmiah, sebaiknya kita menguraikan terlebih dahulu tentang status, objek, paradigma, metode, dan kriteria mistik itu sendiri sebagai bagian dari pengetahuan manusia. Objek dari pengetahuan mistik adalah abstrak-supara-rasional, yang membentuk paradigma mistik, dicapai dengan laithan dan percaya, serta mempunyai kriteria rasa, iman, logis, kadang empiris.
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan mistik
Hakikat (ontologi) dari pengetahuan misstik adalah pengetahuan yang tidak rasional, diperoleh melalui rasa/melalui hati sebagai alat merasa (epistemologi), dan keguanaannya sangat bersifat subjektif, yang paling tahu kegunaanya adalah pemiliknya (aksiologi), serta sangat berkaitan dengan jenis mistik itu sendiri baik itu menyangkut mistik biasa, mistik putih, dan mistik hitam.
Mistik merupakan kebenaran logis-supra-rasional
Logis-supra-rasional ialah pemikiran akal yang kebenarannya hanya mengandalkan argumen, ia tidak diukur dengan hukum alam. Bila argumennya masuk akal maka ia benar sekalipun melawan hukum alam. Dengan kata lain, ukuran kebenaran logis-supra-rasional ialah logika yang ada di dalam susunan argumennya, Kebenaran logis-supra-rasional itu benar-benar bersifat abstrak. Kebenaran logis-supra-rasional itu ialah kebenaran yang masuk akal sekalipun melawan hukum alam.[6]
Contohnya, kasus yang telah dialami oleh Nabi Ibrahim yang dibakar tapi tidak hangus. Ini tidak rasional, karena tidak sesuai dengan hukum alam. Tetapi apakah Nabi Ibrahim dibakar tidak hangus itu juga tidak logis dalam arti supra-rasional?
Tuhan membuat api. Api itu sendir terdiri atas dua subtansi, yaitu api-nya dan panas-nya. Apinya dibuat oleh tuhan, panasnya juga dibuat oleh Tuhan. (jika bukan Tuhan yang membuatnnya, kita harus memberikan uraian yang kuat untuk menjelaskannya). Untuk menyelamatkan utusannya, untuk sesuatu yang sangat penting, Tuhan mengubah sifat api dari panas menjadi dingin. Itu menjadi mungkin karena Tuhan adalah pembuat api itu sendiri. Inilah yang disebut logis-supra-rasional itu. Jadi, adalah logis saja api tidak menghanguskan Ibrahim. Pada kasus ini terjadi kejadian yang tidak rasional tepari logis dalm arti logis-supra-rasional. Kesimpulannya ialah: Yang logis ialah yang masuk akal,. Terdiri atas yang logis-rasional dan yang logis-supra-rasional.
Mistik = bagian dari pengetahuan manusia
Dalam Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowlwdge) yang didiskusikan tidak hanya pengetahuan sain (science), didiskusikan juga seluruh yang disebut pengetahuan termasuk pengetahuan yang “aneh-aneh” seperti Pelet, kebal, santet, saefi, dan lain-lain.[5] Dan semua hal yang aneh-aneh itu adalah pengetahuan mistik dan dikelompokkan kedalam pengetahuan non-ilmiah.
Sebelum kita membicarakan tentang “mistik” sebagai kebenaran non-ilmiah, sebaiknya kita menguraikan terlebih dahulu tentang status, objek, paradigma, metode, dan kriteria mistik itu sendiri sebagai bagian dari pengetahuan manusia. Objek dari pengetahuan mistik adalah abstrak-supara-rasional, yang membentuk paradigma mistik, dicapai dengan laithan dan percaya, serta mempunyai kriteria rasa, iman, logis, kadang empiris.
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan mistik
Hakikat (ontologi) dari pengetahuan misstik adalah pengetahuan yang tidak rasional, diperoleh melalui rasa/melalui hati sebagai alat merasa (epistemologi), dan keguanaannya sangat bersifat subjektif, yang paling tahu kegunaanya adalah pemiliknya (aksiologi), serta sangat berkaitan dengan jenis mistik itu sendiri baik itu menyangkut mistik biasa, mistik putih, dan mistik hitam.
Mistik merupakan kebenaran logis-supra-rasional
Logis-supra-rasional ialah pemikiran akal yang kebenarannya hanya mengandalkan argumen, ia tidak diukur dengan hukum alam. Bila argumennya masuk akal maka ia benar sekalipun melawan hukum alam. Dengan kata lain, ukuran kebenaran logis-supra-rasional ialah logika yang ada di dalam susunan argumennya, Kebenaran logis-supra-rasional itu benar-benar bersifat abstrak. Kebenaran logis-supra-rasional itu ialah kebenaran yang masuk akal sekalipun melawan hukum alam.[6]
Contohnya, kasus yang telah dialami oleh Nabi Ibrahim yang dibakar tapi tidak hangus. Ini tidak rasional, karena tidak sesuai dengan hukum alam. Tetapi apakah Nabi Ibrahim dibakar tidak hangus itu juga tidak logis dalam arti supra-rasional?
Tuhan membuat api. Api itu sendir terdiri atas dua subtansi, yaitu api-nya dan panas-nya. Apinya dibuat oleh tuhan, panasnya juga dibuat oleh Tuhan. (jika bukan Tuhan yang membuatnnya, kita harus memberikan uraian yang kuat untuk menjelaskannya). Untuk menyelamatkan utusannya, untuk sesuatu yang sangat penting, Tuhan mengubah sifat api dari panas menjadi dingin. Itu menjadi mungkin karena Tuhan adalah pembuat api itu sendiri. Inilah yang disebut logis-supra-rasional itu. Jadi, adalah logis saja api tidak menghanguskan Ibrahim. Pada kasus ini terjadi kejadian yang tidak rasional tepari logis dalm arti logis-supra-rasional. Kesimpulannya ialah: Yang logis ialah yang masuk akal,. Terdiri atas yang logis-rasional dan yang logis-supra-rasional.
3) Ukuran kebenaran pengetahuan mistik dan contoh-contoh lainnya (kebenaran non-ilmiah)
Ukuran dan ciri utamanya
Kebenaran pengetahuan mistik diukur dengan berbagai ukuran. Bila pengetahuan mistik berasal dari Tuhan maka ukuran kebenarannya ialah teks Tuahan yang membicarakan tentang hal itu. Ada kalanya ukuran kebenaran mistik itu adalah kepercayaan. Ada kalanya kebenaran sesuatu teori dalam dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti empiris, seperti kekebalan yang dapat dipertontonkan. Jadi, yang bersifat mistik adalah “mengapanya”.
Satu-satunya tanda pengetahuan disebut pengetahuan (bersifat) mistik ialah kita tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat yang ada di dalam sesuatu kejadian mistik.[7]
Contoh lainya :
a) Mukasyafah
b) Ilmu Laduni
c) Sihir dan lain sebagainya.
Sehingga akan sangat merepotkan kita dalam memahami sesuatu teori dalam pengetahuan mistik bila teori itu tidak punya bukti empiris; sulit diterima karena secara rasional dan bukti empisrik pun tidak ada.[8]
Ukuran dan ciri utamanya
Kebenaran pengetahuan mistik diukur dengan berbagai ukuran. Bila pengetahuan mistik berasal dari Tuhan maka ukuran kebenarannya ialah teks Tuahan yang membicarakan tentang hal itu. Ada kalanya ukuran kebenaran mistik itu adalah kepercayaan. Ada kalanya kebenaran sesuatu teori dalam dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti empiris, seperti kekebalan yang dapat dipertontonkan. Jadi, yang bersifat mistik adalah “mengapanya”.
Satu-satunya tanda pengetahuan disebut pengetahuan (bersifat) mistik ialah kita tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat yang ada di dalam sesuatu kejadian mistik.[7]
Contoh lainya :
a) Mukasyafah
b) Ilmu Laduni
c) Sihir dan lain sebagainya.
Sehingga akan sangat merepotkan kita dalam memahami sesuatu teori dalam pengetahuan mistik bila teori itu tidak punya bukti empiris; sulit diterima karena secara rasional dan bukti empisrik pun tidak ada.[8]
4) Kegunaan mistik dan Klasifikasinya
Ketika kita membahas tentang kegunaan mistik, maka kita harus menilik kembali kepada jenis pembagian mistik yang bersifat dikotomik (putih dan hitam). Dimana mistik putih cenderung kepada kebaikan sedangkan mistik hitam cenderung kepada kejahatan.
Berbicara tentang kegunaan mistik yang dihadapkan dengan realitas dewasa ini. Maka kita akan menemukan fungsi dari mistik itu sendiri semakin terdesak dengan kemunculan produk modern, seperti kekebalan yang tergeser oleh kemajuan dibidang teknologi dengan penemuan rudal yang sangat dahsyat. Namun lain halnya dengan mistik yang membawa ketenangan jiwa (seperti tasawwuf) yang semakin diharapkan kehadirannya ditengah kehidupan masyarakan modern yang semakin kering dan kacau.
Untuk melihat/mengklasifikasi hitam-putihnya nilai mistik, hendaknya kita melihat kembali pada segi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
Ketika kita membahas tentang kegunaan mistik, maka kita harus menilik kembali kepada jenis pembagian mistik yang bersifat dikotomik (putih dan hitam). Dimana mistik putih cenderung kepada kebaikan sedangkan mistik hitam cenderung kepada kejahatan.
Berbicara tentang kegunaan mistik yang dihadapkan dengan realitas dewasa ini. Maka kita akan menemukan fungsi dari mistik itu sendiri semakin terdesak dengan kemunculan produk modern, seperti kekebalan yang tergeser oleh kemajuan dibidang teknologi dengan penemuan rudal yang sangat dahsyat. Namun lain halnya dengan mistik yang membawa ketenangan jiwa (seperti tasawwuf) yang semakin diharapkan kehadirannya ditengah kehidupan masyarakan modern yang semakin kering dan kacau.
Untuk melihat/mengklasifikasi hitam-putihnya nilai mistik, hendaknya kita melihat kembali pada segi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
3. Kesimpulan
Pada dasarnya setiap proses mengetahui akan memunculkan bentuk kebenaran sebagai kadungan dari isi pengetahuan itu. Namun ada satu hal yang harus tetap dicatat ialah, setiap kebenaran pada pembuktiannya harus kembali kepada status ontologis objek (menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji), sikap epistemologis (bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian dan menusun tubuhpengetahuannya), dan akhinya dengan sikap aksiologis (untuk apa ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan/theory of value). Dari sinilah bermunculan teori-teori kebenaran yang beraneka ragam.[9]
Demikianlah pembahasan mengenai “mistik sebagai kebenaran non-ilmiah” dengan harapan kita dapat membedakan teori-teori kebenaran, dan mampu memahami karakteristiknya masing-masing. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami kebenaran itu sendiri dengan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dimana akan membuat kita lebih bijak dalam memahami sesuatu dan tidak menafikan keragaman dalam kebenaran yang dilandasi ketidaktahuan atau memahami sesuatu secara parsial. Seperti menafikan kebenaran yang bersifat logis-supra-rasional karena selalu berpijak pada pembuktian yang bersifat sains (logis/rasional disertai bukti empiris), begitupun sebaliknya.
Pada dasarnya setiap proses mengetahui akan memunculkan bentuk kebenaran sebagai kadungan dari isi pengetahuan itu. Namun ada satu hal yang harus tetap dicatat ialah, setiap kebenaran pada pembuktiannya harus kembali kepada status ontologis objek (menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji), sikap epistemologis (bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian dan menusun tubuhpengetahuannya), dan akhinya dengan sikap aksiologis (untuk apa ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan/theory of value). Dari sinilah bermunculan teori-teori kebenaran yang beraneka ragam.[9]
Demikianlah pembahasan mengenai “mistik sebagai kebenaran non-ilmiah” dengan harapan kita dapat membedakan teori-teori kebenaran, dan mampu memahami karakteristiknya masing-masing. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami kebenaran itu sendiri dengan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dimana akan membuat kita lebih bijak dalam memahami sesuatu dan tidak menafikan keragaman dalam kebenaran yang dilandasi ketidaktahuan atau memahami sesuatu secara parsial. Seperti menafikan kebenaran yang bersifat logis-supra-rasional karena selalu berpijak pada pembuktian yang bersifat sains (logis/rasional disertai bukti empiris), begitupun sebaliknya.
Daftar Pustaka
· Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty : Yogyakarta, 2003.
· Peter B. Sarbini, Makalah Teori Kebenaran, program magister studi islam:UII Yogyakarta. 1998.
· Ahmad Tafsir, Prof. Dr., Filsafat Ilmu, Bandung : Rosda, 2004.
[1] Peter B. Sarbini, Makalah Teori Kebenaran, program magister studi islam:UII Yogyakarta. 1998.
[2] The Newe Encyclopedia Britannica, volume X, 15th edition, 11974, p. 153; Peter L. Angels, op.cit., p. 297 dan Bernard Wuellner, Dictionary of Scholastic Philosophy, Jhon Carrol University, Cleverland, 1956, p. 125; Baca juga J.L. Agustin, “Truth”, Philosophical Papers, Oxford, 1961.
[3] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty : Yogyakarta, 2003, hlm.135-138.
[4] Ibid., hlm136-138.
[5] Ahmad Tafsir, Prof. Dr., Filsafat Ilmu, Bandung : Rosda, 2004, hlm.3.
[6] Ibid., hlm.16.
[7] Ibid., hlm.122.
[8] Ibid., hlm. 122.
[9] Peter B. Sarbini, Makalah Teori Kebenaran, program magister studi islam:UII Yogyakarta. 1998, hlm. 16.
SAMBUX PTC No SCAM Terbaru!!! Dan 3 PTC Terpercaya Lainnya (Check it Out)!!!
BalasHapusYang baru mewarnai dunia PTC saat ini. Sambux, online sejak Desember 2012, dengan sistem kerja hampir mirip Neobux ataupun Probux. So mari kita lihat bagaimana kiprahnya, apakah mampu menyamai ataupun mengungguli sang raja bux, Neobux. Semuanya biarlah waktu yang menjawabnya.
silahkan klik di bawah ini…
http://cpchenko.blogspot.com/2013/01/sambux-ptc-no-scam-terbaru-dan-3-ptc.html