Kamis, 12 April 2012

Hakikat, Definisi Dan Dasar-Dasar Hukum Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

Sejak Negara Replubik Indonesia, sebagai Negara merdeka dan berdaulat, langsung turut serta dalam pergaulan hidup bersama-sama Negara lain, terang tampak keperluan bagi Negara Indonesia dan bagi orang-orang yang warganegara Indonesia untuk mengetahui hal-hal sulit yang timbul dari pergaulan hidup itu. Sebagian adanya perserikatan Bangsa-bangsa makin lama, makin eratlah hubungan yang ada antara mereka pelbagai Negara. Juga dalam hal perhubungan-perhubungan hukum perdata lama, makin banyak warga-warga asing yang ada di Indonesia turut serta dalam hidup tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya juga selalu tambah jumlah orang-orang Indonesia yang berada di luar negari dan tentu turut serta pula dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Baik Indonesia, maupun Negara-Negara asing akan selalu tambah adanya perhubungan-perhubungan hukum yang sedemikian coraknya, hingga hukum nasional dari Indonesia sendiri tidak mencukupi guna mengaturnya sebaik-baiknya. Maka dibutuhkan adanya hukum perdata internasional yang akan memenuhi rasa keadilan, tidak hanya dari masyarakat asing dan anggota-anggotanya berada ditengah-tengah masyarakat Indonesia.
Sejumlah perkembangan pengantar hukum internasional telah terjadi dalam selang waktu lima tahun dari tahun 1983. Adapun yang dapat dibahas dalam hukum perdata internasional meliputi materi-materi berikut: (a) hak-hak minoritas pribumi; (b) persoalan yang tercipta oleh arus lalu lintas-batas dalam skala besar pengungsi-pengungsi sipil di Asia dan Afrika ; (c) perkembangan konsep-konsep baru dalam hukum moneter internasional; (d) dampak dari kaidah-kaidah mengenai perang laut karena perubahan taktik dan penggunaan jenis-jenis persenjataan baru ( misalnya misil-misil diluncurkan dari jarak jauh dari kapal-kapal yabg ditujunya), penggunaan kapal-kapal selam untuk aktivitas intelejen dan pengamatan tersamar dan dilakukannya perang anti kapal selam oleh sisitem-system yang ditempatkan di antariksa; dan (e) penegasan oleh Amerika Serikat , Inggris dan Negara-Negara lain hak kapal-kapal di Negara netral untuk keluar masuk Teluk Persia selam berlangsungnya Perang Irak –Iran, sekalipun ada klaim bahwa Teluk itu merupakan “Zona perang”.

BAB II
Hakikat, Definisi Dan Dasar-Dasar Hukum Internasional
A.    Defenisi
Hukum internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan akidah-kaidah perilaku yang terhadapnya Negara-Negara dirinya merasa terikat untuk mentaati , dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain . Dan lain meliputi juga :
1)    Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan Negara-Negara dan individu-individu.
2)    Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-Negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.
B.    Sumber-Sumber Material Hukum Internasional
“ Sumber-sumber ” material hukum Internasional dapat didefenisikan sebagai bahan-bahan actual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori atau bentuk utama, yaitu :
a)    Kebiasaan
b)    Traktat-Traktat
c)    Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan abitrasi
d)    Karya-karya hukum
e)    Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lemabaga-lembaga internasional

Dari segi pandangan praktis, kita dapat membayangkan seorang penasihat hukum pada suatu Kementrian Luar Negeri yang diminta untuk memberikan opini, mengenai hukum internasional berkaitan dengan masalah tertentu. Tugasnya itu sama sekali tidak seperti pekerjaan seorang pengacara praktek yang hanya bersangkut paut dengan hukum nasional. Ia tidak memiliki Kitab Undang-undang (code), tidak ada statute perundangan-undangan, dan sering ia berada di lingkungan yang tak tentu baik karena ketidak jelasan mengenai apakah telah ada suatu kaidah kebiasaan hukum internasional atau karena tidak adanya kebiasaan maupun praktek serta opini yang membimbingnya untuk mencari jalan keluar yang tepat.
Dengan diketahui bahwa pendekatan praktis semacam ini telah dilakukan oleh pengadila-pengadilan yang telah memutuskan persoalan-persoalan hukum internasional. Menurut pasal 38 (1) statuta Mahkamah. Internasional court of justice diperintahkan untuk menerapkan sumber-sumber berikut:
a)    Traktat Internasional
b)    Kebiasaan internasional, yang terbukti dari praktek umum telah diterima sebagai hukum
c)    Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
d)    Keptusan-keputusan penadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai Negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan aturan atau kaidah hukum
Prinsip-prinsip hukum ini dimasukkan ke dalam Statuta Mahkamah untuk memberikan suatu dasar tambahan bagi keputusan dalam hal bahan-bahan lain yang tidak dapat membantu Mahkamah.” Prinsip-prinsip umum oni harus digunakan secara Analogi, dan dapat menyeleksi konsep-konsep yang diakui oleh semua system hukum nasional. Demikianlah, maksud semula oleh penyusun Statuta tersebut , yang ditegaskan dalam konteks Pasal 9, menurut mana para hakimyang tgerpilih harus mengingat bahwa Mahkamah harus mewakili” bentuk-bentuk peradaban dan system-sisitem hukum utama di dunia.
C.    Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional
Didalam perkembangan sejarah HPI, tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaida-kaidah HPI. Pada jaman romawi kuno, segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor peregrinos. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan internasional.Ius Civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional yang kemudian disebut Ius Gentium. Ius Gentium juga memuat kaidah kaidah yang dapat dikategorikan kedalam Ius Privatum dan Ius Publicum. Ius Gentium yang menjadi bagian Ius privatum berkembang menjadi hukum perdata internasional (HPI), sedangkan Ius Gentium yang menjadi bagian Ius Publicum telah berkembang menjadi hukum internasional politik.
Pada masa romawi perkembangan asas-asas yang dilandasi prinsip atau asas teretorial, yang dewasa ini dianggab sebagi asas HPI yang penting, misalnya:
1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah huum dari tempat dimana benda tersebut berada atau terletak.

2. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

3. Asas Lex Domicilli, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.

Di dalam prisip teretorial, hukum yang berlaku bersifat teretorial. Setiap wilayah (teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang berada diwilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.

Masa Pertumbuhan
A.    Asas Personal (Abad6-10M)
Pada akhir abad 6 M, kekaisaran Romawi ditaklukan bangsa “Barbar” dari Eropa. Bekas wilayah kekaisaran Romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting,karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum personal, hukum yang berlaku digantungkan kepada pribadi yang bersangkutan. Sehingga didalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberpa hukum sekaligus. Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hukum adat masing-masing suku, barulah ditetapkan hukum mana yang akan diberlakukan.

Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai asas HPI misalnya:
1. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara dalam hukum personal dari pihak tergugat.
2. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seseorang ditentukan hukum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing pihak.
3. Asas yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal si pewaris.
4. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukam personal sang suami.

B. Asas Teritorial (Abad 11-12 M)
Dikawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur maysrakat genealogis kemasyarakat terotoroal tampak dari tumbunya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah inggris, Francis dan jerman sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hukum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hukum yang berlangsung diwilayahnya. Dengan percatan lain, tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat bugitu saja dicabut penguasa, sihingga dalam keadaan demikian HPI tidak berkembang sama sekali.
Kawasan Eropa bagian selatan transformasi dari asas personal genealogis keasas teritorial belangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat perdagangan khususnya Italia. Dasar ikatan antar manusia disini bukanlah genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, padua, dan genoa. kota-kota tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan:
1. Batas-batas teritorial tersendiri; dan
2. Sistem hukum lokal sendiri yang belainan atau dengan sama lainnya dan berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Itali.
Keanekaragaman (diversiti) sitem-sistem hukum lokal (municipallaws) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota sering kali menimbulkan problem pengakuan terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) didalam suatu wilayah kota. secara langsung atau tidak, situasi ini mendorong pertubuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional.

Perkembangan Teori Statuta di Itali (Abad13-15)
Seiring dengan makin berkembanganya perdagangan antara (warga) kota-kota di italia tersebut diatas, penerapan asas teritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
Sistem feodal memandang hanya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan diwilayahnya. Selain itu hukum masing-maing kota di Itali itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan apabila hak-hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat dikota A akan dikesampingkan di kota B. Situasi ini mendorong para ahli hukum di Universitas-universitas di Italia untuk mencari asas hukum yang dianganggap lebih adil dan wajar (fair and reasonabel). usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum romawi.mereka inilah yang termasuk dalam golongan posglossatoen. Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan di antara para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata: cuntos popules ques clementiae nostrae regit imperium (semua bahasa dibawah kekuasaan kami).
Statuta personalia adalah statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Hal ini bermakna,bahwa statuta itu mengikuti orang (persoon) dimanapun ia berada. Statuta realia mempunyai lingkungan kuasa secara teritorial. Hanya benda-benda yang terletak didalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk dibawah statuta-statutanya.

Teori Statuta di Perancis
Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di Perancis memiliki sistem hukun tersendiri yang disebut coutume,yang pada hakikatnya sama dengan statuta. Karena adanya keanekaragaman coutume terebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi, maka konflik hukum antar provinsi makin meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum perancis, seperti charles dumoulin dan bertrand D’argentre berusaha mendalami teori statuta dan menerapkannya diperancis dengan beberapa modifiksi.
Charles Duomulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencankup pilihan hukum (hukum yang di kehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian atau kontrak. Jadi, perjanjian atau kontrak yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realia, menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam statuta perorangan.

Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad17)
Teori Argentre ternyata diakui para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat negara berlaku secara mutlak didalam wilayah negara tersebut. Hukum asing tidak berlaku diwilayah negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di negeri Belanda adalah kedulatan ekslusif negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI sebagai berikut:
1. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yanhg mutlak hanya didalam batas-batas wilayah kedaulatan saja.
2. Semua orang baik yang menetap maupun sementara, yang berada didalam wilayah suatu negara berdaulat harus menjadi subjek hukum dari negara itu dan terikat pada hukum negara itu.
3. Bedasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas =comity), diakui pula bahwa setiap pemerintah negara yang berdaulat mengakui, bahwa hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hukum dari negara yang memberikan pengakuan itu, hakim yang berpedoman pada asas komitas tidak berarti dapat bertindak sewenang-wenang. Hakim perlu memperhatikan pula hukum asing demi kepentingan negara-negara yang bersangkutan secara timbal balik.
Ulrik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut diatas harus pula memperhatikan prinsip lain, yaitu, semua perbuatan yang diaggap sah berdasarkan hukum dari suatu negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain  yang sistem hukumnya sebenarnya menganggap perbuatan atau transaksi semacam itu batal. Tetapi, perbuatan atau transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tertentu yang menganggapnya batal demi hukum juga harus dianggap batal dimanapun juga.
Menurut Johanes Voet, pada hakikatnya tidak ada negara yang wajib menyatakan suatu kaidah hukum asing berlaku dalam batas-batas walayah hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka hal itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa atau comunitas gentium.




Teori-Teori Modern
Pada abad ke 19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha usaha dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story, Friendrich Von Savigny dan Pasquae machini. Titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penjelasan yang sama pula, baik diputuskan di Negara A maupun di Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa. Satunya pergaulan Internasional akan menimbulkan satu sistem hukum supara nasional, yaitu hukum perdata Internasional. Oleh karna itu titik tolak pemikiran Von Savigny adalah HPI itu bersifat hukum supra Nasional, oleh karnanya bersifat Universal. Maka ada yang menyebut pemikiran Von Savigny dengan istilah teori HPI Universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan Comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan dan kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya oleh semua pihak (negara/manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hukum personil orang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pandapat Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ada 2 macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu:
1.    Kaidah yang menyangkut kepentingan perseorangan
2.    Kaidah-kaidah untuk melidungi dan menjaga ketertiban umum

Berdasarkan pembagian ini dikemukakan asas HPI :
1.    Kaidah-kaidah untuk kepentinagn perseorangan berlaku bagi setiap warga negara dimanapu dan kapanpun juga (prinsip personil)
2.    Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat tutorial dan berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip tutorial)
3.    Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pikhak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan ini pun tergantung pada kebiasaan, undang-undang putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat hukum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin banyaknya perjanjian Internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti perjanjian Den Haag.

Daftar Pustaka
Q.c, starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar