BAHASAN KRITIS TENTANG SISTEM BIKAMERAL,
PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
I
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 37 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 MPR telah melakukan tiga kali perubahan UUD 1945 dengan menghasilkan perubahan Pertama dalam Sidang Umum MPR 1999, perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan 2000 dan perubahan Ketiga dalam Sidang tahunan bulan November tahun 2001 yang telah lalu.
Tuntutan terhadap perubahan konstitusi atau UUD dikarenakan tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau UUD sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena dia adalah produk zamannya.PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
I
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 37 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 MPR telah melakukan tiga kali perubahan UUD 1945 dengan menghasilkan perubahan Pertama dalam Sidang Umum MPR 1999, perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan 2000 dan perubahan Ketiga dalam Sidang tahunan bulan November tahun 2001 yang telah lalu.
UUD 1945 adalah produk masanya, sebagai hasil pemikiran para negarawan penyusunnya pada waktu itu. Dalam kurun waktu perkembangannya mungkin saja terasa sesuatu yang perlu diubah dalam UUD 1945 sebagai perangkat sistem ketatanegaraan Indonesia.
Maka sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika ketatanegaraan telah terjadi pergeseran materi muatan dalam rangka perubahan UUD 1945, seperti misalnya gagasan tentang Bikameral, pemilihan Presiden langsung dan Mahkamah Konstritusi. Tulisan singkat ini mencoba mengangkat ketiga hal tersebut dalam seminar akademik yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro (UNIGORO)
II
Salah satu materi muatan dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 adalah mengenai posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia pasca Pemilihan Umum 2004. Berdasarkan perubahan tersebut, maka pada masa yang akan datang lembaga parlemen dikembangkan menjadi dua kamar (bikameral). Kedua kamar parlemen itu akan dinamakan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dengan tetap mempertahankan MPR sebagai nama forum persidangan bersama antara kedua kamar parlemen tersebut.
Perubahan ketiga UUD 1945, akan lebih mempertegas dianutnya sistem pemerintahan presidensiil, karena dihapusnya konsep lembaga tertinggi negara MPR tempat Presiden harus bertanggung jawab sebagaimana lazim ditemui dalam sistem pemerintahan parlementer. Di samping itu, perubahan ini akan pula mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances” di antara lembaga-lembaga tinggi negara.
Permasalahannya apakah sistem bikameral akan cocok atau sesuai dalam praktek ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang, kendatipun sistem bikameral kini merupakan materi muatan dari konstitusi baru Indonesia hasil perubahan ketiga UUD 1945. Sebagaimana diketahui, Parlemen mempunyai dua macam sistem yaitu unikameral dan bikameral. Unikameral berarti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memakai kamar-kamar, namun menggunakan komisi. Sementara dalam sistem bikameral, parlemen memiliki dua kamar, yaitu DPR dan Senat. DPR sering disebut House of Representative atau Majelis Rendah (Lower House). Sedangkan Senat disebut juga Majelis Tinggi (Upper House). Lazimnya, sistem bikameral dan unikameral mengacu pada DPR atau Parlemen, dan tidak mengacu pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam sistem bikameral, DPR adalah salah satu kamar dalam parlemen. Sedangkan dalam sistem unikameral, DPR itu sendiri adalah parlemen.
Sistem bikameral biasanya dianut oleh negara-negara yang berbentuk federasi seperti Amerika Serikat. Dengan sistem ini negara-negara bagian dalam federasi tersebut terwakili dalam parlemen melalui senat, sementara kamar lainnya (House of Representative) adalah perwakilan rakyat secara keseluruhan. Bila kedua kamar tersebut berkumpul barulah disebut kongres. Namun demikian, ada sejumlah negara berbentuk kesatuan seperti Inggris dan Belanda yang juga menganut sistem Bikameral. Di Belanda misalnya, satu kamar (Majelis Tinggi) merupakan perwakilan dari kaum bangsawan, sementara kamar yang lain (Majelis rendah) adalah perwakilan penduduk secara keseluruhan.
Dalam praktek ketatanegaraan, baik legislatif bikameral maupun legislatif unikameral masing-masing mempunyai kelebihan dan keuntungan sebagaimana tergambar di bawah ini.
A. Kelebihan/keuntungan dalam sistem legislatif bikameral adalah kemampuan anggota untuk:
1. Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan);
2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan;
3. Mencegah disyahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan
4. Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
B. Beberapa keuntungan dalam sistem legislatif unikameral, meliputi:
1. Kemungkinan untuk dengan cepat meloloskan Undang-Undang (karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda).
2. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya apabila suatu Undang-Undang tidak lolos, atau bila kepentingan warga negara terabaikan).
3. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau mereka; dan
4. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.
Dalam konteks ketatanegaraan di negara Kesatuan republik Indonesia dewasa ini, berdasarkan UUD 1945 di tingkat pusat dikenal adanya dua badan perwakilan rakyat yakni MPR dan DPR. Namun demikian, tidaklan berarti sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini menganut parlemen bikameral, karena MPR dan DPR mempunyai fungsi yang berbeda. Fungsi MPR antara lain adalah menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD), dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 dan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945). Sementara fungsi DPR adalah menyusun Undang-Undang (UU), mengawasi pemerintah dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama Presiden. Karena itu dengan telah dilakukan perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang telah lalu dan dihapusnya MPR sebagai lembaga maka dalam praktek Ketatanegraan Indonesia yang akan datang badan legislatif akan terdapat dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan kata lain, yang disebut sebagai badan legislatif adalah suatu badan yang bersifat bikameral yang memiliki dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kamar yang satu, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai kamar yang lain. Dua macam badan legislatif ini diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan politik dan kepentingan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang akan datang.
Di dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, kedua badan legislatif itu bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi bisa juga bersidang bersama untuk membahas persoalan yang dianggap penting. Persidangan bersama antara badan legislatif itulah yang disebut sebagai MPR. Dengan demikian, dengan dihapuskannya MPR sebagai lembaga, keberadaan MPR tetap diperlukan, yaitu sebagai forum bersama antara DPR dan DPD. Dengan kata lain, MPR sebagai forum, dan bukan sebagai lembaga. Karena sebagai forum, maka MPR tidak perlu lembaga, tetapi hanya merupakan sidang gabungan (join session) antara kedua lembaga legislatif. Adapun ketua sidang dalam sidang gabungan itu, dipilih berdasarkan kesepakatan anggota dari dua badan legisltif tersebut.
III
Dalam kaitannya dengan MPR pasca perubahan ketiga UUD 1945, maka memasuki Pemilihan Umum tahun 2004 yang akan datang Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Terwujudnya gagasan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat lewat perubahan ketiga UUD 1945, tentunya akan menggeser kewenangan MPR dalam praktek ketatanegaraan mendatang.
MPR dalam praktek ketatanegaraan mendatang hanya berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar , karena Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) beralih menjadi kewenangan Presiden dan partai politik yang mendukungnya seperti tertuang dalam program-program partai. Itu merupakan konsekuensi logis pemilihan Presiden langsung oleh rakyat.
Ada beberapa alasan yang amat mendasar untuk melakukan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pertama, Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi presiden dalam melaksanakan kekuasaannya. Kedua, pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Ketiga, pemilihan Presiden langsung akan memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini makin diperparah atas dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party representation). Keempat, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih rakyat. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama ini, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena ada ketentuan lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden amat tergantung kepada MPR. Sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar yakni perubahan pertama, perubahan kedua dan perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR hasil Pemilu 1999, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut sistem Kabinet Presidensiil, sementara sistem pemerintahannya Parlementer. Disebut Kabinet Presidensiil, karena Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Disebut Pemerintahan Parlementer, karena Presiden dapat diberhentikan oleh MPR setiap saat. DPR dapat meminta MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI) MPR dengan persetujuan lebih dari setengah anggota MPR. Jika lebih dari setengah anggota MPR menilai Presiden telah melanggar UUD 1945 atau GBHN, Presiden dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya habis. Dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang menganut sistem presidensiil murni, Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya yang 4 tahun. Dia hanya dapat dihentikan dengan alasan moral, bukan politik.
Dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat pasca Pemilu 2004 maka Presiden secara politik tidak akan bertanggung jawab lagi kepada MPR, melainkan akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden. Namun demikian tidaklah berarti Presiden yang akan datang kekuasaannya tidak dibatasi. Kekuasaan Presiden dalam praktek ketatanegaraan harus tetap dibatasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah pembatasan kekuasaan dalam negara. Sebagai sebuah negara modern, konstitusi Indonesia dengan tegas menggariskan bahwa salah satu ciri dari Sistem Pemerintahan Indonesia adalah menganut asas negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Menurut Friedman, negara hukum identik dengan rule of law. Istilah rechtstaat menurut Friedman mengandung arti pembatasan kekuasaan oleh hukum.
Pasca Orde Baru, masalah klasik yang sama yang timbul pada era reformasi dewasa ini adalah masalah penegakan hukum di satu pihak dan pembatasan kekuasaan di pihak lain. Gema tuntutan penegakan supremasi hukum yang bergaung dalam percaturan poltik ketatanegaraan Indonesia dewasa ini tidak hanya sekedar dilatarbelakangi oleh sejarah ketatanegaraan Indonesia yang traumatis di kala hukum tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara konstitusional prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan merupakan prinsip konstitusi yang harus ditegakkan.
Berangkat dari asumsi tersebut dan berdasarkan ketentuan konstitusi (UUD 1945) sebagaimana dikemukakan di atas berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang terbatas dan tidak dapat dibenarkan sewenang-wenang. Asas yang dianut tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia. Artinya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum dipecundangi oleh kekuasaan. Mengapa kekuasaan harus dibatasi, jawabnya adalah karena menurut Lord Acton kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, setiap bentuk kekuasaan cenderung memperbesar dan mempertahankan diri (power tends to corrupts, but absolute power corrupts absolutely). Maka di sinilah perlu peran hukum untuk membatasi kekuasaan dalam negara.
Konstitusi Indonesia baru lewat perubahan ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa “Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”.
IV
Sehubungan dengan keberadaan dua kamar parlemen DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mendatang, maka perlu ditentukan persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Kedua lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Masing-masing lembaga bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Keduanya dapat mengadakan rapat bersama yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kekuasaan perundang-undangan berada di tangan DPR dan DPD sesuai dengan struktur parlemen bikameral, karena keduanya sama-sama merupakan kamar lembaga legislatif (parlemen), maka setiap Undang-Undang menghendaki persetujuan kedua lembaga tersebut secara bersama-sama.
Apa kewenangan MPR dalam sistem bikameral tersebut? Apabila kita teliti perubahan ketiga UUD 1945, maka pembahasan dan permberian persetujuan terhadap suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) bukan merupakan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai sidang gabungan para anggota DPR dan para anggota DPD.
Perubahan RUU atau Rancangan Undang-Undang adalah kewenangan DPR dan DPD sebagai lembaga yang mandiri, artinya pembahasan dan pemberian persetujuan/penolakan terhadap suatu RUU dilakukan oleh sidang DPR dan Sidang DPD sendiri-sendiri. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai sidang gabungan DPR dan DPD dapat melakukan sidang bila diminta oleh DPR atau oleh DPD.
Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkewenangan: a) Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar, b) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan c) Memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Dari sudut pandang Hukum Tata Negara dengan substansi kewenangan seperti ini, maka Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang dapat dikatakan sebagai relatif jarang dilakukan karena: a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar tidak akan dilakukan setiap tahun, dan b) Pemberhentian Presiden dan Wakil presiden hanya dilakukan bila ada usul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), itupun dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela dan atau pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Melanjutkan apa yang dikemukakan di atas, maka meskipun kedudukan maupun fungsi DPR dan DPD adalah sama, tetapi perlu diadakan pembedaan dalam tugas pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang. Konstitusi baru Indonesia setelah perubahan menentukan bahwa pembedaan keduanya ditekankan pada bidang pengaturan yang menjadi urusan masing-masing. Misalnya menurut perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, DPD ditetapkan berwenang mengatur semua ketentuan yang berkenaan dengan Daerah: artinya DPD dapat mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang kepada DPR yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan kekuasaan Pusat dan Daerah. Selain itu, DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. DPD diberikan kewenangan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tersebut di atas.
Persoalan mendasar dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang adalah mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 ditegaskan bahwa anggota DPD dari setiap propinsi jumlahnya sama dan jumlah anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Ketimpangan jumlah DPR dan DPD menjadi persoalan dalam konteks bikameral pada masa yang akan datang. Masalahnya bagaimana menentukan quorum sidang MPR. Bila diterapkan ketentuan one man one vote (satu orang satu suara), berarti DPR dapat mengabaikan kehadiran DPD. Artinya, Sidang MPR tidak memerlukan perssetujuan DPD karena jumlah DPR yang mayoritas.
Oleh karena itu, dalam praktek ketatanegaraan jangka panjang, perlu dipertimbangkan kehadiran konvensi ketatanegaraan agar anggota DPD ditambah dengan mempergunakan sistem bukan jumlahnya sama setiap propinsi, tetapi memilih satu anggota DPD per Kota/Kabupaten. Karenanya masalah keterwakilan daerah lewat DPD perlu memperoleh perbaikan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia mendatang.
Namun penyempurnaannya tidak hanya diusahakan melalui jumlah keanggotaan DPD. Sebaiknya hal itu juga diatasi dengan perbaikan sistem kepartaian dan sistem pemilu , serta melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut otonomi dan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta undang-undang yang menyangkut hak asasi manusia.
Kehadiran sebuah Mahkamah Konstitusi yang berwenang memberi putusan atas pertentangan antar undang-undang akan membuat peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Otonomi, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan sebagainya akan lebih efektif. .
Perbincangan atau diskursus tentang keterwakilan rakyat/daerah dalam lembaga-lembaga perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbincangan tentang dan sekitar perwujudan demokrasi dulu, kini, dan yang akan datang dalam perpolitikan di Indonesia.
Dalam realitas Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterwakilan merupakan legitimasi yang paling rasional sebagai penghormatan yang dapat dijelaskan dengan satu pemahaman bahwa, pluralitas atau kemajemukan yang sangat mengkin terjadi dalam komunitas masyarakat Indonesia dapat terakomodai tanpa mengedepankan peran-peran anarkis dan dominasi atas satu kelompok oleh kelompok lain.
V
Dalam konteks perubahan UUD 1945, maka bahasan berikut ini khusus akan dibicarakan mengenai kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang akan datang.
Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara baru yang diintrodusir Perubahan UUD 1945. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara perlunya dibentuk Mahkamah Konstitusi karena kewenangannya yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk salah satu kewenangannya adalah untuk menyelesaikan impeachment Presiden, disamping kewenangan konstitusional lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 7 B dan pasal 24 C. Pasal 24 C ayat (1) perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain kewenangan yang digariskan dalam pasal 24 C ayat (1) di atas, kewenangan konstitusional lainnya dari Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan pada pasal 7 B ayat (1) dan ayat (4) perubahan UUD 1945, yang menegaskan, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Merujuk pada hasil perubahan ketiga UUD 1945 sebagaimana ditentukan pada pasal 24 C ayat (1) dan pasal 7 B ayat (1) dan ayat (4) maka kewenangan Mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat di elaborasi dalam enam hal.
1. Melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
2. Memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden (Wapres) telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
6. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Dari aspek hukum ketatanegaraan permasalahan yang muncul adalah perubahan ketiga UUD 1945 pasal 24 C ayat (1) meupun pasal 7 B ayat (1) dan ayat (4) tidak menyebutkan secara eksplisit apakah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berisifat mengikat atau tidak.
Seharusnya putusan apapun yang final harus mengikat dan tidak bisa diulang lagi, dalam prinsip hukum setiap putusan harus final dan mengikat. Apabila prinsip mengikat tidak diperjelas, putusan MK akan mengambang.
Misalnya pasal 7 B ayat (5) perubahan ketiga yang masih mengandung dilema; pasal tersebut berbunyi , “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ; dan/atau terbukti bahwa Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Lebih lanjut pasal 7 B ayat (7) perubahan ketiga, menegaskan bahwa “Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir ......”
Dari apa yang dijelaskan oleh pasal-pasal 7 B ayat (5) perubahan ketiga, misalnya Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melanggar hukum setelah diproses oleh Mahkamah Konstitusi, maka akibat hukumnya Presiden dan/atau Wakil Presiden secara politis dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun, ketika di bawa ke sidang paripurna MPR (berdasarkan pasal 7 B ayat (7), dapat terjadi mayoritas anggota MPR menolak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bila hal itu terjadi dalam praktek ketatanegaraan, berarti keputusan politik MPR mengabaikan keputusan hukum yang telah dijatuhkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini jelas tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut oleh konstitusi Indonesia. Sebagai sebuah negara modern konstitusi baru Indonesia hasil perubahan dengan tegas menggariskan dalam pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat ditemukan pasal-pasal pada perubahan ketiga UUD 1945, memberi peluang bagi DPR/MPR menganulir keputusan hukum yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Karenanya pasal mengenai materi muatan Mahkamah Konstitusi harus diamandemen terlebih dahulu dengan menambah formulasi, kalau mau melakukan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, cukup karena putusan hukum Mahkamah Konstitusi, MPR tinggal mengesahkannya saja.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas ternyata PAH I BP MPR pada tanggal 6 April lalu telah merancang Aturan Tambahan pada perubahan keempat UUD 1945. Pasal 2 Aturan Tambahan itu berbunyi, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden harus telah membentuk undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun sejak perubahan keempat Undang-undang Dasar ini disahkan.
Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden harus segera membuat undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi seperti yang diamanatkan Aturan Tambahan tersebut paling lambat setahun setelah perubahan keempat UUD 1945 disahkan pada Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. Penentuan waktu satu tahun sudah cukup bagi pemerintah dan DPR untuk membahasnya. Dan diharapkan sebelum pemilihan umum tahun 2004 Mahkamah Konstitusi sudah terbentuk karena banyak masalah-masalah politik ketatanegaraan yang terkait dengan lembaga tersebut.
Demikianlah beberapa materi muatan konstitusi baru Indonesia yang dapat kami kemukakan dalam acara Seminar Akademik yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNIGORO.
DAFTAR BACAAN
Buku
---------, National Democratic Institute For International Affair (NDI). “Seri Penelitian Legislatif, Satu atau Dua Kamar?”
K.C. Wheare, Modern Constitution, 1975.
Friedman, Legal Theory, Stern & Soulimited, London, 1960.
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 2000
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetak Ketujuhbelas, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1999.
TIm Peneliti Kerja Sama Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Reposisi Lembaga Tinggi Negara”, Jakarta, Maret 2001
Undang Undang Dasar
Undang-Undang Dasar 1945
Surat Kabar
Kompas, 24 September 2001
Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH, MSi**)
tulisan terlalu kecil
BalasHapusTrimakasih atas masukannya..
BalasHapus