Hukum Agraria Indonesia
Dalam pembahasan
tentang sejarah Hukum Agraria Indonesia ada dua fase penting yang harus
dipertimbangkan, yaitu :
- fase sebelum September 1960,
- dan fase sesudah tanggal itu.
Dalam fase
sebelum September 1960 Hukum Agraria Indonesia terdiri atas bagian-bagian dari
Hukum Perdata Barat, Hukum Adat orang Indonesia asli, Hukum Antar Golongan dan
hukum sesudah proklamasi merupakan pengaruh dari Hukum Tata Negara. Dari semua
hal di atas yang paling penting dijadikan landasan Hukum Agraria Indonesia pada
zaman penjajahan Belanda adalah Pasal 51 I.S. tahun 1870, juga dikenal dengan
nama bahasa Belanda Agrarische Wet. Sebagai pelaksanaan daripada
Agrarische Wet adalah Penyataan Domein (Domein Verklaring) yang berbunyi
bahwa: "Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan, bahwa itu
eigendomnya adalah tanah domein atau milik Negara." Jadi, Pernyataan
Domein ini mempunyai fungsi sangat penting sebagai:
- suatu landasan untuk pemerintah supaya dapat memberikan tanah dengan hak-hak Barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan lain sebagainya.
- pembuktian pemilikan tanah. Kalau ada seseorang yang mengakui bahwa sebidang tanah adalah hak eigendom-nya, orang itu diwajibkan untuk membuktikan hak ini.
Jadi, jelas
bahwa tujuan Agrarische Wet bertentangan dengan keadaan alam kemerdekaan
sekarang ini, karena Agrarische Wet itu bertujuan untuk "memberi
kemungkinan pada modal besar asing agar berkembang di Indonesia". Sekarang
ini Indonesia dalam keadaan merdeka maka modal asing hanya merupakan upaya
dan bukan merupakan tujuan. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dengan sangat jelas
menolak dasar -dasar pikiran pemerintah Belanda yang lebih meberikan keuntungan
bagi perusahaan asing di Indonesia daripada untuk orang Indonesia pada masa
penjajahan itu: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat."
Jadi, tujuan dari UUD 1945 adalah bahwa sumber daya alam atau kekayaan alam
Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk memberikan
keuntungan bagi pemilik modal asing saja seperti pada Agrarische Wet.
Hindia Belanda menjadi jajahan Belanda sejak tahun 1815 praktis kondisi hukum
di Hindia Belanda khususnya hukum perdata bersifat dualistis, atau pluralistis.
Di samping Hukum Adat yang merupakan Hukum Perdata untuk penduduk pribumi,
penduduk Belanda (penjajah) menerapkan hukum perdata dari negara asalnya.
Ketentuan Pasal 131 I.S. adalah ketentuan yang memperlakukan hukum perdata bagi
golongan-golongan penduduk, dan menerapkan hukum perdata yang berbeda untuk
golongan-golongan penduduk tersebut, sehingga menjadikan adanya sistem hukum yang
bersifat pluralistis di dalam lapangan hukum perdata. Penerapan hukum perdata
ini setelah Indonesia merdeka tetap sama, dan menurut ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini." Berdasarkan ketentuan Pasal II A.P. UUD 1945 itu jelas bahwa
berlakunya Hukum Perdata Barat ke dalam tatanan hukum Indonesia hanya
bersifat sementara sampai diganti dengan yang baru oleh bangsa Indonesia
sendiri, jika dinilai Hukum Perdata Barat ini bertentangan atau tidak sesuai
dengan jiwa UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
Dasar-dasar
Pembentukan UUPA
Hukum Agraria
yang baru harus memberi kemungkinan tercapainya penggunaan yang bermanfaat dari
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan rakyat
dan negara. Hukum Agraria baru ini harus juga mewujudkan penjelmaan asas
Kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, serta harus merupakan perwujudan ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 adalah UU No.
5/1960, yang dikenal dengan istilah Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA).
Penjelasan tentang sebagian Pasal-pasal dalam UUPA (UU No. 5/1960)
Pasal 20-27:
Hak Milik
Hak Milik adalah
hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang. Tetapi hak ini tidak
mutlak karena tanah juga mempunyai fungsi sosial, misalnya seseorang tidak
bebas memanfaatkan tanahnya jika itu mengganggu atau mencemari lingkungannya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6, yang berbunyi sebagai berikut:
"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial." Pasal 6 ini sangat
bertentangan dengan pemahaman orang penjajah Belanda tentang hak atas tanah, yang
lebih mementingkan hak individual atas tanah. Hak Milik hanya dapat dipunyai
oleh warganegara Indonesia, walaupun orang asli atau tidak asli, laki-laki atau
perempuan. Badan hukum Indonesia juga boleh memiliki Hak Milik. (Badan hukum
yang sebagian atau seluruhnya bermodal asing tidak boleh mempunyai hak milik
atas tanah Indonesia. Hak Milik dapat dijadikan jaminan Hutang dengan dibebani
hak tanggungan.
Pasal 28-34:
Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam
jangka waktu yang tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau
perternakan. Hak Guna Usaha diberikan dalam waktu paling lama 25 tahun, dan
untuk perusahaan tertentu yang memerlukan waktu lebih lama diberi waktu paling
lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang 25 tahun. Yang berhak memiliki Hak Guna
Usaha adalah WNI, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. (Pasal 30) Hak Guna Usaha dapat dialihan kepada
pihak lain jika orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha tidak lagi
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 30. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 35-40:
Hak Guna Bangunan
Hak Guna
Bangunan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu sampai 30 tahun dan dapat
diperpanjang sampai 20 tahun. Seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dapat
dialihan kepada pihak lain, dan hanya WNI atau badan hukum Indonesia berhak
memiliki Hak Guna Bangunan, serta dapat dijadikan jaminan Hutang.
Pasal 41-43:
Hak Pakai
Hak Pakai adalah
hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan
perjanjiannya dengan pemilik tanahnya. Hak ini bukan hak sewa-menyewa atau
perjanjian pengolehan tanah. Yang boleh memiliki Hak Pakai adalah WNI orang
asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 44-45:
Hak Sewa untuk Bangunan
Seseorang atau
badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah
milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa. Perjanjian sewa yang dimaksudkan tidak boleh
disertai syarat yang mengandung syarat-syarat memeraskan. Yang boleh memiliki
Hak Sewa adalah WNI orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.
Pasal 46: Hak
Membuka Tanah, Memungut Hasil Hutan
Hak Membuka
Tanah dan Memungut Hasil Hutan hanya dapat dipunyai oleh WNI dan diatur oleh
peraturan pemerintah. Penggunaan Hak Memungut Hasil Hutan secara sah tidak
berarti diperoleh hak milik atas tanah itu.
Pasal 47: Hak
Guna-air, Pemeliharaan & Penangkapan Ikan
Hak guna-air
adalah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalir air itu di
atas tanah orang lain. Hak guna air serta pemeliharaan & penangkapan ikan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 48: Hak
Guna Ruang Angkasa
Hak Guna Ruang
Angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dari ruang
angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak Guna Ruang Angkasa diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 49:
Hak-hak tanah untuk Keperluan Suci dan Sosial
Hak milik tanah
badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar