Jumat, 13 April 2012

ANALISA Krisis Ekonomi Indonesia Akibat Neoliberalisme

    ANALISA Krisis Ekonomi Indonesia Akibat Neoliberalisme


Apa yang terjadi pada akhir tahun 1997 sangat mencengangkan, banyak negeri di Asia tiba-tiba diguncang krisis. Pertumbuhan 7-8 % per tahun, Asian Miracle, dsb, dsb yang selama puluhan tahun dipuji-puji oleh banyak pejabat, IMF, sampai dengan ekonom-ekonom liberal hilang dalam sekejap. Di Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % (antara Juli- dan Februari 1998, bahkan pernah nilai rupiah menyentuh
angka Rp. 16.000, per 1 US dollar ) banyak pabrik-pabrik bangkrut: terutama industri yang berbahan baku impor, dan industri yang modalnya diperoleh dari hutang luar negeri; puluhan juta buruh kehilangan pekerjaan akibat PHK; harga-harga barang naik hingga lebih dari 100 %; inflasi tajam te r jadi hingga menyentuh angka 77,6 % dari satu tahun sebelumnya. Krisis, yang oleh banyak ekonom borjuis disebut krisis moneter, telah menyebabkan pendapatan per kapita merosot dari 1.200 US dollar menjadi 500 US dollar. Dampak sosial yang paling nyata adal ah jumlah penduduk miskin meningkat menjadi hampir 80 juta orang menurut BPS.
Akibat terpaan krisis, tingkat kesejahteraan rakyat merosot jatuh. Daya beli rakyat menurun sementara harga-harga barang membumbung tinggi, jauh tak terbeli oleh mayoritas rakyat yang tingkat pendapatannya sangat minim. Bahkan lebih buruk lagi dampak menurunnya daya beli rakyat menimbukan kekhawatiran hilangnya satu generasi akibat ketidakmampuan mengkonsumsi gizi, kesehatan yang buruk karena mahalnya obat-obatan dan jasa pendid ikan. Lalu, bagaimana sikap pemerintah dalam usahanya untuk keluar dari jurang krisis yang maha berat ini? Bagaimana kiat atau strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan krisis ekonomi ini? Baik pemerintahan Suharto, Habibie, maupun rezim baru, Gus Dur\emdash Mega, mempunyai kesamaan pandangan, analisa dan strategi dalam menyikapi krisis ini. Bahwa, krisis ini disebabkan oleh KKN, dan konglomerasi yang lahir dari proses kroniisme, dan mengganggap krisis ini sangat lokal sifatnya.
Modal internasional ( yang diwakili oleh IMF) pun mempunyai kesamaan pandangan dengan ketiga pemerintahan di atas. Bahkan IMF mempunyai pandangan rasialis bahwa, krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, yaitu, cara orang Asia berbisnis yang sarat dengan praktek KKN. Krisis ekonomi menyebabkan bangunan sistem ekonomi Indonesia ambruk: sektor riil terseok-seok, terpuruknya perbankan nasional, tekanan terus-menerus terhadap nilai rupiah, dan beban hutang luar negeri menyebabkan rezim Gus Dur mengalami kesulitan dana untuk me-recovery perekonomian. Dengan alasan karena kebutuhan dana, pemerintah tunduk dan patuh pada saran dan kebijakan IMF. Ketundukkan dan kepatuhan pemerintah tidak semata-mata dikarenakan pemerintah membutuhkan dana dari IMF, lebih jauh dari itu adalah kesamaan teori/ideologi diantara keduanya. Penyelesaian krisis ekonomi ini haruslah tetap dalam kerangka kapitalisme, dengan wajah barunya yaitu neoliberalisme. Seolah-olah sebelum krisis ekonomi rakyat Indonesia tidak mengalami ketertindasan ekonomi dibawah kapitalisme Orde baru. Dengan kata kata lain untuk menutupi eksploitasi nilai lebih dari sistem kapitalisme pemerintah, dan IMF berusaha mencari kambing hitam penyebab krisis, yaitu, KKN dan praktek konglomerasi. Padahal kedua hal tersebut hanyalah faktor yang memperparah saja. Kebijakan neoliberalisme, dimana salah satuya adalah skema SAP (Structural Adjusment Program) atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (letter of intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar, adalah:
1.    Liberalisasi perdagangan
2.    Privatisasi BUMN
3.    Penghapusan subsidi (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon,
4.    Restrukturisasi
Agar pemahaman kita semakin jelas tentang wujud dan praktek dari paket kebijakan neoliberalisme dan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya, harus kita diskusikan satu per satu. Kebijakan ini bertujuan untuk membuka pasar Indonesia lebih luas bagi barang-barang dari luar negeri -- menghapus proteksi bagi barang-barang domestik -- dan yang kedua adalah liberalisasi investasi. Jadi pasar domestik harus didasarkan pada mekanisme pasar (kompetisi), regulasi dan birokrasi yang menghambat harus dihapuskan. Tidak mengherankan jika pada masa rezim Habibie, untuk mendapatkan kucuran dana dari IMF segera melaksanakan persyaratan yang diberikan oleh IMF, yaitu, menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0 % -- dan komitmen dalam jangka panjang penghapusan secara keseluruhan bea masuk produk agroindustri. Mereka tidak peduli dengan dampak sosial yang ditimbulkannya, dimana kebijakan tersebut sangat menyengsarakan petani padi dan tebu , harga beras dan gula jatuh. Jutaan petani menjerit, bahkan petani tebu harus merugi 2,1 juta per hektar (Kompas, 27 Desember 1999). Demikian pula petani yang memproduksi beras menderita kerugian, tidak mengherankan jika kemudian banyak petani tidak mamp u mengembalikan KUT. Bahkan, jika keadaan ini terus berlangsung, dimana beras dan gula impor membanjiri pasar domestik sampai pada tingkat produksi, petani akan kehilangan semangat untuk menanam padi dan tebu--bukankah dalam jangka panjang sangat mungkin terjadi krisis pangan domestik ditengah kemelimpahan produksi pangan dunia. \par Segera saja kebijakan ini mendapat kritikan dimana-mana, serikat petani tebu di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta melakukan aksi menentang gula impor (Kompas, 10 Desember 1999). Walaupun tekanan dari petani ini kurang efektif, karena perlawanannya tidak melibatkan massa tani dalam jumlah besar dan aksinya kurang terorganisir menyebabkan pemerintah hanya bergeming sedikit -- setidaknya kenyataan ini menggambarkan bahwa di k e sadaran rakyat telah muncul kesadaran untuk melawan kebijakan yang merugikannya. Rezim baru, Gus Dur, hanya sedikit merevisi kebijakan tersebut, dimana kemudian tarif bea masuk beras impor ditetapkan sebesar 30 % dan bea masuk gula impor ditetapkan sebesa r 25 % per 1 Januari 2000. Tetap saja perubahan kebijakan ini masih merugikan petani karena harga beras dan gula impor lebih rendah, dengan kualitas yang lebih bagus dibandingkan harga dan kualitas produk lokal. Kenapa IMF memaksakan kebijakan liberalisasi perdagangan kepada rezim Gus Dur? Kepentingan modal internasional-lah yang diuntungkan dengan kebijakan ini. Karena mereka membutuhkan pasar untuk produk-produk industri pertaniannya, terutama Kanada dan AS, juga Uni Eropa. Bahkan, Amerika Serikat sendir i mengenakan tarif beamasuk gula impor sebesar 200 %. Jadi liberalisasi pasar ini maknanya negara dunia ketiga secepatnya meliberalkan pasarnya, sementara negara maju tetap mengenakan proteksi (dengan tarif ataupun hambatan non tarif) terhadap pasarnya sendiri.
Penghapusan tarif impor beras dan gula, hanyalah sebagian kecil dari paket kebijakan liberalisasi perdagangan yang direkomendasikan oleh IMF. Pengurangan tarif produk kimia, besi/baja, impor kapal, produk kulit, aluminium, dan semen adalah sektor-sek tor perdagangan yang juga harus diliberalkan. Jadi, produk domestik yang rendah kualitas, karena teknologi produksinya yang rendah dipaksakan untuk bersaing dengan produk negara-negara maju, yang karena teknologi produksinya lebih maju, produknya menjadi lebih murah dan lebih berkualitas. Sementara disisi lain pemerintah tidak membantu dan mendorong pengembangan teknologi produksi (pertanian, farmasi, baja, dsb).
Di bidang investasi, IMF, sebagai syarat pencairan hutang merekomendasikan kepada pemerintah u ntuk: menghapus batasan kepemilikan saham 49 % bagi investor asing, menghapuskan larangan berinvestasi pada sektor perkebunan, dan mencabut larangan investasi asing dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, waralaba, dsb). Dengan dicabutnya larangan-la rangan tersebut, modal internasional akan leluasa mengeksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan menggusur pasar-pasar rakyat. Bisa dibayangkan dampak sosial yang akan ditimbulkannya.

Privatisasi BUMN
Pemerintahan Gus Dur berusaha untuk meya kinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, terpaksa pemerintah harus menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa. Untuk menguatkan alasan tersebut pemerintah mengatakan: BUMN-BUMN selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Tidaklah mengherankan jika kemudia puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan. BUMN-BUMN tersebut, antara lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV,  PTP Nusantara  , PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau St e el, dan PT. Indosat---dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, yang jug a dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dll. \par \tab Dampak dari privatisasi BUMN bagi rakyat adalah, pertama, mayoritas rakyat akan kehilangan jaminan untuk membeli komoditi dan jasa vital/pokok dengan harga murah/terjangkau oleh rakyat . Untuk selanjutnya rakyat harus membeli komoditi dan jasa tersebut sesuai dengan mekanisme pasar dan pasti lebih mahal. Padahal, jika kekuatan rakyat mampu melikuidasi pimpinan-pimpinan lama (sisa-sisa Orde Baru), yang korup, yang masih bercokol kuat dalam BUMN- BUMN, dan melakukan kontrol politik yang ketat terhadap BUMN-BUMN tersebut, komoditi dan jasa yang dihasilkan bisa lebih murah lagi dijual kepada rakyat. Kedua , pengelola yang baru (swasta) segera melakukan kebijakan merasionalisasi (mem-PHK) buruh guna me ncapai efisiensi biaya produksi, dan atau melakukan mekanisasi alat-alat produksi yang berujung juga pada pengurangan buruh, tujuannya agar pencapaian profit bisa lebih maksimal--bukankah memang demikian hukum besi kompetisi pasar. Tidak mengherankan, jik a buruh PT. Pelindo II Tanjung Priok, menolak rencana privatisasi ini, karena mereka mengetahui rencana pengelola yang baru akan segera mengurangi 20 % dari jumlah buruh dengan melakukan pemogokan (Kompas, 31 Mei 2000). Demikian juga, karyawan dan masyarakat disekitar PT Semen Padang, berunjuk rasa menentang rencana privatisasi PT. Semen Padang. Jika BUMN-BUMN yang akan diprivatisasi berjumlah puluhan, berapa banyak buruh-buruhnya yang akan di PHK, dan menambah panjang barisan tentara pengangguran di Indone sia, yang selama krisis ekonomi ini saja jumlahnya sekitar 24 juta orang.
Jika alasan yang dikemukakan oleh pemerintah, bahwa privatisasi diperlukan untuk mendapatkan devisa, tentunya argumentasi ini layak untuk ditentang. Karena banyak sumber dana lain untuk mendapatkan devisa, tanpa harus menjual asset-asset rakyat banyak, misalnya dengan menaikkan PPH bagi individu yang berpendapatan lebih dari Rp. 1 juta, menaikkan PPH Badan (bukannya diturunkan), mengenakan pajak bagi pendapatan bunga obligasi, menaikkan pajak kendaraan mewah dan barang mewah, pemutihan hutang luar negeri, mengurangi anggaran militer, penyitaan kembali asset-asset Suharto dan kroninya yang diperoleh dari hasil KKN, penyitaan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh militer, Apa lagi argumentasi bahwa, BUMN-BUMN hanya menjadi sarang KKN bukanlan alasan yang prinsip untuk kemudian BUMN harus diprivatisasi. Institusi perekonomian yang mana (entah BUMN atau swasta), yang selama rezim Kleptokrasi (maling) Orde Baru berkuasa tidak menjadi lahan korupsi/KKN? Akan lebih bijaksana jika kita jawab dulu pertanyaan tersebut. Pertanyaan selanjutnya.
Apakah perbankan (yang mayoritas adalah swasta), PT. Texmaco, dll, dll yang melakukan mega korupsi/KKN triliunan rupiah itu BUMN? Persoalan korupsi/KKN tidaklah bersumber dari siapa pengelola sebuah institusi perekonomian, tapi persoalan dasarnya adalah ketiadaan kontrol politik dari rakyat, yang sanggup melakukan pengawasan dan kontrol terhadap institusi-institusi perekonomian. Juga argumentasi ya n g lebih salah kaprah lagi, bahwa jika BUMN dikelola oleh swasta, profit yang dihasilkan akan lebih besar. Rakyat tidaklah pernah menuntut BUMN harus menghasilkan profit sebesar-besarnya.
Tuntutan rakyat sangat sederhana, yaitu, bagaimana rakyat mampu membeli kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang pokok, dengan harga yang terjangkau oleh tingkat pendapatan mereka saat ini. Justru, orang-orang yang berpikiran bahwa BUMN harus berorientasi profit harus dilawan oleh rakyat. Ketika pemerintah yang mereka kuasai meng hadapi krisis ekonomi, selalu kepentingan rakyat banyak yang mereka korbankan, seperti kebijakan pemotongan subsidi BBM dan listrik belum lama ini, atau kehancuran yang dialami oleh petani padi dan tebu\emdash tidak pernah kepentingan borjuasi yang berkuasa yang dikorbankan terlebih dahulu. \par Agar pemahaman kita terhadap dinamika kapitalisme global menjadi jelas, penting kita ketahui latar belakang dan kepentingan IMF (dan modal internasional) terhadap privatisasi BUMN. Bahkan, proyeksi dari IMF yang dituangkan dalam letter of intents (LoI) dengan pemerintah Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun proses privatisasi seluruh BUMN kecuali sebagian kecil BUMN akan terselesaikan (Kompas, 25 Nopember 1998). Kenapa IMF dalam LoI (lettter of intents) menganjurkan lebih sering berupa tekanan\emdash kepada pemerintah Indonesia(semenjak Suharto, Habibie, dan Gus Dur) bahwa untuk menutupi defisit anggaran dengan privatisasi BUMN? Tidak lain adalah untuk kepentingan modal internasional, bagi perluasan ekspansi modal mereka. Pertama , modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa dari BUMN-BUMN adalah mayoritas rakyat Indonesia\emdash Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Bukankah ini potensi pasar yang sangat besar, dan jaminan bagi investor dalam mengejar provit. Privatisasi ini, juga akan merangsang investasi bagi surplus kapital di negeri-negeri induk imperialisme, yang selama ini terkonsentrasi di surga stock exchange (bursa saham), yang proses pelipatgandaan kapital-nya tidaklah riil, sangat spekulatif tapi guncangan-guncangan yang diakibatkannya sangat membahayakan investasi di sektor riil, dan mengganggu konstruksi modal internasional yang telah mapan. Dengan menekan neger i-negeri dunia ketiga untuk melakukan privatisasi diharapkan mampu menarik minat investor di negeri dunia pertama untuk memindahkan investasinya ke sektor yang produktif. Kedua, ditengah keterpurukan perekonomian dan keterdesakan kebutuhan dana dari pemerintah tentu nilai jual dari BUMN-BUMN tersebut bisa sangat murah, ditengah kemelimpahan kapital di negeri-negeri kapitalisme maju dan keterpurukan borjuasi domestik. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, PT. Astra Internasional, dan PT. Bentoel berpindah kep e milikan ke tangan George Soros. Karena saat ini, yang paling siap untuk membeli BUMN dijual adalah modal internasional. Argumentasi-argumentasi ini, tidaklah ditujukan untuk membela borjuasi domestik yang sedang terpuruk, tapi bertujuan untuk menggambarkan kenyataan ekonomi politik yang sedang berkembang dan apa dampaknya bagi mayoritas rakyat (buruh, kaum miskin kota, petani, dan mahasiswa).

Penghapusan subsidi
Subsidi publik, bagi pengusung teori neoliberalisme, dianggap hanya pemborosan modal, dan le bih baik modal tersebut dialokasikan ke sektor yang lebih produksif tentu saja kepada pengusaha besar agar bisa melakukan ekspansi usaha. Mereka tidak berkepentingan terhadap kebutuhan sosial dari rakyat, dan menyerahkan nasib rakyat ke tengah kompetisi pasar, dimana berlaku hukum siapa yang kuat dia akan memenangkan persaingan dan pada akhirnya akan memegang monopoli harga\rquote . Bukankah impian seorang kapitalis jika mau jujur\emdash adalah monopoli? Propaganda mereka adalah jika sektor-sektor pelayanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar justru akan lebih murah biaya yang ditanggung oleh konsumen (rakyat)--sebagai dampak positif dari kompetisi. Benarkah demikian? Justru sebaliknyalah yang terjadi. Belum lama ini, rezim Gus Dur, sebagai konsesi pinjaman modal dari IMF merencanakan untuk mengurangi subsidi BBM dan tarif Dasar Listrik (TDL) awal mei 2000 lalu. Segera saja kebijakan yang merugikan mayoritas rakyat tersebut mendapat perlawanan dimana-mana. Partai Rakyat Demokratik (PRD), Gerakan mahasiswa, serikat-s erikat buruh, LSM-LSM menggelar aksi unjuk rasa dimana-mana segera setelah pemerintah mengumumkan rencana tersebut. Rezim agaknya ketakutan melihat gelombang perlawanan tersebut mungkin belajar dari kejatuhan Suharto, bulan Mei 1998--, akhirnya kenaikkan harga BBM (sebagai dampak pengurangan subsidi BBM) ditunda. \par Walaupun kenaikkan harga BBM ditunda, harga barang-barang lain terlanjur naik –mengikuti rencana kenaikkan BBM--, juga tarif angkutan umum. Dari paket kebijakan tersebut yang berhasil direalisasik an oleh rezim adalah kenaikkan TDL. Itupun setelah mengelabui rakyat, bahwa kenaikkan TDL tidak akan memberatkan rakyat, karena untuk konsumen golongan 900 watt ke bawah, yang banyak dikonsumsi mayoritas rakyat menengah ke bawah tidak dinaikkan. Ini adalah propaganda palsu!! Sekalipun tarif 900 watt ke bawah tidak naik, dengan naiknya listrik untuk sektor industri kenyataannya menyebabkan kenaikan harga produk yang dihasilkannya. Tidak akan mungkin kapitalis mau menanggung beban kenaikkan biaya produksi ini , atau pun jika tidak menaikkan harga jual produknya, mereka akan mengurangi biaya untuk upah buruh atau menunda kenaikkan upah buruh. Fakta lainnya adalah, terancam gulung tikarnya puluhan pabrik baja di Indonesia, demikian juga pabrik-pabrik tekstil san gat terancam kelangsungan produksinya akibat kenaikan TDL karena listrik adalah energi pokok dalam dunia industri. Bukankah ini berpotensi memperbesar jumlah pengangguran yang sampai dengan tahun 1999 saja, menurut Ditasari (Ketua FNPBI) sudah mencapai angk a 24 juta orang dan sampai saat ini belum teratasi?.
Disisi yang lain pemerintah menghambur-hamburkan dana untuk membeli listrik swasta kasus kontrak listrik PT. Paiton dan Tanjung Jati--, dimana harga listrik swasta tersebut 3 kali lipat dari harga pasar. Tidak hanya BBM dan TDL yang akan dikurangi subsidinya. Tetapi pada tahun 1999 yang lalu, subsidi untuk pupuk sudah lebih dahulu dikurangi, yang dampaknya sangat menyengsarakan petani. Sehingga patut dimaklumi petani melakukan perlawanan karena tidak mampu membeli pupuk, bahkan di beberapa daerah seperti Blora petani beramai-ramai menjarah gudang-gudang pupuk milik KUD dan agen penyalur pupuk, atau memaksa KUD menjual dengan harga lama. Akibat pengurangan subsidi tersebut, harga pupuk melonjak naik hampir 100 %, sementara harga jual (riil) produk pertanian mengalami penurunan. Bahkan penderitaan petani semakin parah, ketika Habibie dan Gus Dur, demi mengakomodir kepentingan modal internasional, me-liberalkan tarif impor beras dan gula, seperti sudah diurai kan dimuka. Demikian juga dengan subsidi-subsidi sosial yang lain (pendidikan, kesehatan, dsb) dalam jangka yang tidak terlalu lama juga akan dikurangi sebagai bagian dari paket kebijakan Neoliberalisme. Dalam jangka panjang bisa jadi tidak terlalu lama lagi--mayoritas rakyat akan kesulitan menyekolahkan anaknya dan membayar biaya kesehatan karena semakin mahalnya obat-obatan dan jasa pelayanan kesehatan.

Restrukturisasi keuangan
Restrukrisasi keuangan ini menyangkut dua hal yaitu, rekapitalisasi perbankan dan penyelesaian hutang (hutang luar negeri pemerintah dan swasta, penyelesaian kredit-kredit macet domestik oleh BUMN-BUMN maupun oleh swasta). Biaya untuk rekapitalisasi perba nkan menelan dana yang luar biasa besar, hingga ratusan trilliun rupiah. Keseluruhan dana tersebut (baca: BLBI)\emdash yang seharusnya menjadi hak mayoritas rakyat dipergunakan untuk menutupi dampak kredit macet dari segelintir orang. Ironisnya lagi, kucuran dana BLBI ini, bukannya dipergunakan untuk segera menyehatkan bank-nya yang kolaps, tetapi justru menjadi lahan korupsi bagi bankir ataupun pejabat BI dan birokrasi. Bahkan, pengusutan secara hukum debitur-debitur yang tersangkut kredit macet dan pengusutan dana BLBI yang dikorup selama hampir tiga tahun tidak membuahkan hasil yang bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ini sebenarnya wajar, mengingat debitur-debitur tersebut, ataupun juga birokrat yang tersangkut korupsi dana BLBI masih bercokol kuat dalam pe merintahan baru ini baik di parlemen, birokrasi, militer, ataupun sebagai pimpinan-pimpinan BUMN\emdash sehingga proses hukumnya menjadi sulit. Ini adalah bukti bahwa kekuatan-kekuatan Orde baru (Golkar, militer, dan birokrat korup) belum hancur, bahkan terus berproses, berkonsolidasi menjadi lebih kuat lagi. Maka, tidaklah mengherankan anggaran untuk rekapitalisasi perbankan dari APBN 2000 sangat besar, yaitu, RP. 58, 9899 triliun ( 30 % lebih dari total pengeluaran APBN 2000), dengan rincian; untuk membayar utang bunga obligasi pemerintah sebesar Rp. 42,3649 triliun, dan untuk cicilan bunga utang luar negeri Rp. 16,625 triliun. Dana rekapitalisasi perbankan tersebut jelas sekali sangat membebani APBN. Padahal pemerintah terus mengeluarkan obligasi (hakekatnya ad alah hutang pemerintah) untuk keperluan dana bagi biaya rekapitalisasi perbankan. Artinya, setiap tahun beban APBN untuk biaya rekapitalisasi perbankan ini akan semakin besar. \par \tab Modal internasional dan IMF sangat berkepentingan terhadap pulihnya dunia perbankan, karena perbankan adalah instrumen penting dalam penyediaan modal bagi beroperasinya sisitem kapitalisme. Perbankan yang sehat, akan menopang kelancaran eksploitasi surplus value dari Indonesia. Maka, bukan menjadi persoalan bagi IMF dan pemerintah demi tercukupinya dana rekapitalisasi perbankan dilakukan dengan memotong subsidi-subsidi untuk rakyat banyak (pupuk, BBM, listrik). Persoalan lain yang juga sangat membebani perekonomian, adalah, penyelesaian hutang luar negeri, yang hingga saat ini mendekati angka 155 millyard US dollar lebih dari setengah total hutang tersebut adalah hutang pemerintah. Rezim Orde Baru, setelah era Oil Boom pada akhir dekade 70 -an berlalu, dimana devisa negara tidak bisa diraup lagi dari ekspor minyak, segera mengalihka n sumber pendanaannya , yaitu, hutang luar negeri. Dari tahun-ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri ini bukannya semakin berkurang tetapi justru semakin meningkat. Dengan jumlah hutang yang sangat besar itu, maka Indonesia saat ini berada da lam kondisi Fischer Paradox.. Suatu situasi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai hutang dan bunga hutang yang harus kita bayarkan untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Dan ironisnya lagi, dana dari hutang ini peruntukannya tidak jelas, bahkan menurut banyak pengamat tingkat kebocoran dana pinjaman ini mencapai 30 %--prosentase kebocoran tersebut menurut pernyataan Jeffrey Winters, seorang pengamat Bank Dunia-- dari total hutang luar negeri pemerinta h .. IMF, World Bank, ADB, dan institusi-institusi keuangan internasional lain sebagai lembaga kreditur bukannya tidak mengetahui persoalan ini, tapi mereka terus mengucurkan pinjaman. Sungguh tidak adil jika rakyat harus bertanggung jawab terhadap dana-dana pinjaman yang dicuri criminal debt ini. Lembaga-lembaga keuangan tersebut juga harus dituntut pertanggungjawabannya. Artinya, rakyat Indonesia harus terbebaskan dari tanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman yang dikorup tersebut.
Bahkan lebih jauh, lembaga-lembaga keuangan internasional sebagai kreditur, sudah cukup banyak memperoleh keuntungan dari pinjaman-pinjaman ini, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek yang dari negara kreditur, tender proyek yang diberkan kepada perus ahaan dari negeri kreditur, ataupun konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut Sangat masuk akal sebenarnya, jika rakyat Indonesia mengajukan tuntutan pemutihan hutang luar negeri. Rupanya, bukan jalan tersebut yang ditempuh oleh Habibie, ataupun rezim baru, Gus Dur, untuk keluar dari jeratan hutang luar negeri. Keduanya tetap saja mengandalkan hutang luar negeri untuk mengatasi krisis keuangan. Memang betul, mereka mengajukan tuntutan penjadwalan utang yang jatuh tempo, ata upun upaya rescedulling pembayaran hutang luar negeri. Justru, langkah ini seperti menyimpan bom waktu yang lebih besar, disatu sisi penundaan pembayaran ini pada satu saat akan berakhir dan jatuh tempo, disisi yang lain Gus Dur terus menerima pinjaman baru. Dengan kebijakan ekonomi yang demikian, dari tahun ke tahun pembayaran hutang luar negeri ini kan semakin membebani APBN. Untuk APBN tahun anggaran 2000 ini saja, biaya yang harus disediakan untuk membayar hutang luar negeri, yaitu cicilan bunga hutang dan cicilan hutang pokok yang jatuh tempo mencapai Rp. 25, 221 trilliun.

Upah buruh murah dan Jaring Pengaman Sosial
Langkah yang dilakukan Gus Dur untuk menarik dana dari investor (terutama investor asing, lagi-lagi dengan cara mengorbankan kepentingan rakyat (baca: buruh), yaitu, dengan tetap dipertahankannya kebijakan upah buruh murah. Jadi, tidak jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang lalu. Maka, tidak mengerankan jika kenaikkan UMR 2000 hanya 25 %,, kenaikkan yang sangat kecil, dibandingkan nilai riil upah buruh yang mengalami penurunan sekitar 100 % (sebagai dampak dari inflasi). Kebijakan yang tentu saja disambut gembira oleh pemodal internasional. Bahkan, beberapa yang lalu untuk menakuti-nakuti kaum buruh agar tidak melakukan pem ogokan menuntut kenaikkan upah, beberapa investor mengancam buruh-buruhnya bahwa jika pemogokan dilakukan mereka akan memindahkan investasinya ke negeri lain kejadian ini dialami oleh buruh PT. Sony dan PT. Kong Tai. Inilah nasib kaum buruh dibawah rezim kapitalis dengan baju barunya, yaitu, Neoliberalisme. Rancangan Undang-Undang Serikat pekerja yang sedang digodok di DPR masih memperlihatkan bahwa hak-hak buruh belum dijamin sepenuhnya: tidak dicantumkannya mogok adalah hak kaum buruh, dilarangnya pegawai negeri membentuk serikat pekerja yang independen, dan tidak dijaminnya hak-hak politik kaum buruh. Bagaimana cara rezim Gus Dur dan IMF meredam dampak kebijakan Neoliberalisme yang sangat merugikan rakyat tersebut? Untuk memberi tampilan seolah-olah kebij akan neliberalisme tidak merugikan rakyat pemerintah menggulirkan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program tersebut menjadi alat untuk mendapatkan dukungan politik dari rakyat, sekaligus meredam perlawanan rakyat yang menjadi korban kebijakan neolibe ralisme. Suatu program yang tidak efektif\emdash bahkan pada masa Adi Sasono sebagai Menteri Koperasi pada masa rezim Habibie program JPS ini menjadi lahan korupsi yang besar karena tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Melihat pengalaman negeri-negeri di Amerika Latin, jika program JPS tidak efektif memanipulasi kesadaran rakyat dan tetap tidak mampu meredam perlawanan-perlawanan rakyat, rezim akan kembali menggunakan kekuatan militer untuk meredam perlawanan kaum buruh, kaum miskin kota, dan petani yang menjadi korban kebijakan neoliberalisme. Apakah penggunaan kekuatan militer untuk meredam perlawanan rakyat yang menjadi korban kebijakan neoliberalisme akan, atau sedang terjadi di Indonesia? Bagaimana nasib transisi demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia? Dengan melihat realitas ekonomi politik yang sedang berkembang tentu kita bisa melihat kecenderungan dan ke arah mana muara kebijakan neoliberalisme tersebut bagi kelangsungan demokrasi.

Program Reformatif
Untuk membenarkan skema Neoliberalisme dari IMF, pemerintah selalu menyatakan bahwa langkah tersebut terpaksa dilakukan karena pemerintah membutuhka dana, dan tidak ada alternatif lain selain mengulurkan tangan ke IMF—tentu dengan kepatuhan menjalankan paket kebijakan ekonomi yang menjadi pe r syaratan pencairan pinjaman. Apakah alasan kebutuhan dana itu saja yang membuat pemerintah menjalankan program Neoliberalisme tersebut? Ternyata tidak. Sejak awal kekuatan-kekuatan politik mainstream (PDIP, PAN, PKB, ataupun Golkar) memiliki kesamaan teor i dalam memandang krisis di Indonesia. Jadi alasan \lquote terpaksa\rquote tersebut hanyalah untuk mengelabui rakyat, tidak mengherankan pemerintah dengan penuh semangat, dan tulus menyetujui dan menjalankan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi kebijakan ekonomi dari IMF. Maka, langkah-langkah penghematan yang harus dijalankan oleh pemerintah tentunya sesuai dengan petunjuk IMF adalah dengan mengurangi, dan secara bertahap akan menghapus subsidi-subsidi publik ( BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, termasuk paket-paket kredit untuk rakyat kecil, dsb seperti sudah diuraikan dimuka. Benarkah langkah-langkah penghematan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut? Jawabannya adalah tidak. Jika pemerintah serius untuk melakukan langkah penghematan masih banyak alternatif lain tanpa harus mengorbankan mayoritas rakyat. PRD akan menunjukkan bahwa langkah penghematan bisa dilakukan tanpa harus memotong subsidi untuk rakyat. Langkah penghematan alternatif: Program pemutihan hutang luar negeri, minimal adalah penghapusan sebagian d an atau moratorium; pengurangan anggaran belanja barang inventaris kepegawaian; pengurangan anggaran belanja militer non dana kesejafteraan prajurit hingga perwira pertama; pembatalan kenaikan gaji pegawai dari tingkat esselon ke atas; pembatasan penggunaan mobil pribadi (jika pengematan BBM menjadi alasan menaikkan harga BBM); pembatasan kepemilikan mobil pribadi (maksimal 1 keluarga 1 mobil) dsb. Langkah penghematan inilah yang seharusnya dilakukan oleh rezim Gus Dur, bukan dengan cara mengorban kepentin gan rakyat banyak untuk menutupi kepentingan klas penguasa dan pemilik modal. Sementara untuk menutupi defisit anggaran, cara yang ditempuh pemerintah adalah kembali mengulurkan tangan ke IMF dan menjual BUMN-BUMN yang merupakan asset-aset milik rakyat, tanpa terlebih dulu mengusahakan pencarian dana yang tanpa harus merugikan kepentingan rakyat banyak. Jika saja pemerintah memiliki kemauan politik, masih banyak cara lain untuk menutup defisit anggaran tanpa harus menjual asset-aset rakyat dan menambah hut ang luar negeri yang sudah sedemikian memberatkan kepentingan ekonomi rakyat, minimal untuk jangka pendek. Apa saja sumber-sumber dana alternatif tersebut?.
Pertama, menaikkan pajak PPh (Pajak Penghasilan) Perseorangan bagi individu yang berpendapatan lebih dari 1 juta per bulan, PPh Badan dengan diberlakukan secara progressif, menaikkan pajak penjualan barang mewah (PPN BM) dan pengenaan pajak dari pendapatan bunga obligasi (prosentasenya minimal sama dengan pajak deposito) . Kedua, penyitaan asset-asset hasil KKN Suharto dan kroni-kroninya. Ketiga, pengusutan dan penyitaan dana hasil KKN di BUMN-BUMN (menurut PWC untuk Pertamina saja dana yang dikorup sekitar 5 Milyard US dollar). Keempat, pengusutan dan penyitaan dana KKN dari kredit yang macet dari debitor -debitor besar. Kelima,pengusutan dan penyitaan dana BLBI yang dikorup oleh pengusaha ataupun oleh birokrasi, dsb. Dalam jangka pendek, jika langkah-langkah tersebut diseriusi oleh pemerintah, tidak diperlukan lagi pengurangan subsidi BBM dan listrik, hutang luar negeri, dan privatisasi BUMN. Perlu kami jelaskan bahwa solusi tersebut hanyalah bersifat jangka pendek, karena hanya mampu menunda ekspansi dan eksploitasi modal secara sewenang-wenang untuk sementara waktu karena pada akhirnya karakter progresif dari modal tidak akan mampu dibendung dengan langkah-langkah tersebut. Solusi menyeluruh bagi rakyat adalah jika kita secara radikal merumuskan sistem ekonomi alternatif yang lebih manusiawi untuk menjawab bencana kemanusiaan dari sistem kapitalisme. Sistem ekonomi alternatif sayangnya tidak berada dalam kerangka kapitalisme, dan harus diluar kapitalisme.

 Dewan Rakyat
Permasalahan besar yang dihadapi oleh rakyat Indonesia adalah kapitalisme dan bagaimana mengatasi krisis yang lahir dari sistem kapitali sme tersebut. Kapitalisme dan krisis ekonomi yang dihadapi oleh rakyat Indonesia mustahil terselesaikan dengan implementasi kebijakan neoliberalisme, seperti yang dilakukan oleh rezim Gus Dur-Mega, justru ketika neoliberalisme adalah jalan keluar kapitali sme untuk keluar dari krisisnya. Dalam menghadapi tantangan teresebut, yang paling penting dilakukan adalah mencari cara bagaimana mendorong partisipasi rakyat ekonomi dan politik dalam menghadapi krisis. Partisipasi rakyat tersebut semakin lama akan semak in nyata, jika rakyat semakin mampu mengorganisir diri. Disatu sisi, rakyat yang terorganisir akan mampu mempertahankan hak-haknya dan melakukan perlawanan menentang neoliberalisme dalam kerangka short-term struggle (perjuangan jangka pendek), yakni, perjuangan yang masih reformis dan tambal sulam seperti: penentangan terhadap pemotongan subsidi, pemogokan menuntut kenaikkan upah, tuntutan pengadilan bagi Suharto dsb. Bagaimana cara rakyat mengorganisir diri?.
Rakyat harus terorganisir dalam organisasi- organisasi sektor (bisa berdasarkan profesi dsb) seperti: serikat-serikat buruh, serikat-serikat petani, serikat mahasiswa dsb dsb. Serikat tersebut harus dibentuk hingga tingkat pabrik, kampus, kampung, dst. Bahkan tidak harus dalam bentuk serikat dalam arti formal, bisa saja dengan komite-komite aksi untuk satu persoalan tertentu (kenaikkan upah, Kades yang korup dsb). Aliansi bersama dari masing-masing organisasi sektor. Selama ini minimal telah sering dilakukan, walaupun masih sebatas komite aksi bersama.
Untuk ke depan aliansi ini harus didorong lebih maju menjadi aliansi yang lebih strategis, jadi tidak hanya aksi, tapi juga diskusi bersama dan pendidikan politik bersama. Kebersamaan yang berkesinambungan ini tentu akan memunculkan kesadaran perjuangan bersama dan menghasilkan kekuatan yang jauh lebih besar sehingga rakyat akan lebih mampu menentang kebijakan yang me rugikan kepentingannya. Kemampuan mengorganisir diri, mangatur diri, dan melibatkan banyak orang akan tercipta bersama dengan pengalaman mengorganisir aktifitas diri dan mengorganisir rakyat secara langsung. Mengorganisir aktifitas rakyat, untuk persoalan yang mungkin dianggap sepele seperti: mengorganisir penyediaan bahan-bahan kebutuhan rakyat sehari-hari (minyak, beras, dsb). Pada saat krisis ini, dimana harga-harga membumbung tinggi, maka wadah-wadah rakyat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Komite Distribusi Minyak bisa saja dibentuk untuk menjamin rakyat memperoleh minyak dengan harga murah, atau komite-komite rakyat yang lain. Aktifitas-aktifitas seperti itu akan sangat berguna bagi organisasi organisasi rakyat tersebut untuk belajar mengatur kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan juga kebutuhan orang banyak.
Di sisi yang lain, pengalaman rakyat mengorganisir diri dalam komite-komite atau serikat-serikat akan menjadi dasar bagi peningkatan kemampuan rakyat untuk menjalankan long-term struggle (perjuangan jangka panjang). Pengalaman tersebut akan menjadi basis untuk lebih maju lagi dengan membentuk Dewan Rakyat. Dewan rakyat inilah yang paling penting, yakni partisipasi penuh rakyat dalam melawan kapitalisme secara radikal. Dibawah ini secara sederhana kami jelaskan apa dan bagaimana Dewan Rakyat harus dibentuk. Anggota Dewan Rakyat tersebut benar-benar dipilih, bukan diangkat, dari bawah secara demokratis.
Rakyat akan menentukan wakilnya di Dewan Rakyat dengan pemilihan langsnug da ri tingkat teritorial rakyat yang paling rendah (RT/RW). Dewan Rakyat ini terdiri dari menjalankan fungsi legislatif dan sekaligus eksekutif dan tidak dipisah. Karena jika dipisahkan kedua fungsi tersebut, pertama,badan legislatif hanya akan menjadi tempa t untuk berdebat, ajang berdiskusi, mengambil keputusan saja. Kedua, juga agar lebih memudahkan rakyat mengontrol fungsi eksekutif dari Dewan Rakyat Misalnya disatu RW ada 2000 warga, ditentukan anggota Dewan rakyat-nya 10 orang, maka 1anggota DR tersebut mewakili 200 orang. Kesepuluh orang tersebut menjalankan fungsi legislatif, sementara badan eksekutif akan menjalankan keputusan-keputusan Dewan Rakyat dipilih oleh 10 orang tersebut.
Di tingkat yang lebih tinggi, kampung misalnya, Dewan Rakyat-nya terdir i dari para anggota eksekutif dari Dewan Rakyat tibngkat RW, demikian seterusnya sampai Dewan Rakyat tingkat Nasional.Para wakil tersebut, baik ditingkat paling bawah (RW/RT) maupun tingkat yang paling atas berada dalam kontrol rakyat. Karenanya, bisa saj a sewaktu-waktu jika wakilnya di Dewan Rakyat melakukan kejahatan dapat direcall (diganti) atau dicabut mandatnya oleh rakyat yang menjadi konstituen-nya (yang memilihnya).

Adapun fungsi dari Dewan rakyat ini tidak sekedar fungsi politik tapi juga ekonomi.
Peran Dewan Rakyat dalam pertekonomian:
1.    Menyita dan mengontrol seluruh kekayaan perusahaan Suharto dan kroninya ditangan Dewan Rakyat tempat lokasi perusahaan-perusahaan tersebut.
2.    Menasionalisasi seluruh BUMN untuk dikelola secara kolektif, sehingga hasil-hasil produksinya dapat ditingkatkan dan didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Keseluruhan BUMN tersebut disentralkan pengawasannya oleh Dewa rakyat tingkat nasional. Sisa keuntungan dapat dialokasikan ke sector-sektor lain (kesehatan, pendidikan, tunjangan pensiun, peningkatan gizi anak, dsb), atu untuk mendorong pengembangan industri-industri vital (baja, farmasi, dsb).
3.    Menasionalisasi dan mengontrol seluruh sumber daya alam dan ekonomi yang mengusasi hajat hidup orang banyak, untuk dikelola secara kolektif guna menyediakan barang dan jasa murah bagi rakyat. Pengelolaan tersebut dibawah tanggungjawab Dewa rakyat Nasional melalui Dewan Rakyat di daerah.
4.    Mengontrol beroperasinya perusahaan-perusahaan asing dengan jaminan ada transfer teknologi, dan pembagian keuntungan yang adil. Hasil dari pembagian keuntungan akan diperguinakan untuk menunjang sektor-sektor industri yang lain yang epnting untuk dikembangkan.
5.    Menasionalisasi Bank-Bank dan mensentralisasikannya dalam satu Bank Sentral nasional. Nasionalisasi bank akan dimanfaatkan untuk mendorong industri-industri yang menunjang produktifitas rakyat. Pensentralan bank ini dilakukan tanpa harus melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya.
6.    Mengontrol seluruh perdagangan dan pertukaran mata uang asing. Kontrol terhadap perdagangan dan mata uang penting guna menjamin tercukupinya kebutuhan rakyat, dan memudahkan perencanaan produksi dengan stabilnya nilai tukar rupiah.
7.    Dalam kebutuhan mendesak, Dewan Rakyat berperan sebagai distributor barang- dan jasa pokok dengan harga murah dan terjangkau oleh mayoritas rakyat.
8.    Mengontrol harga barang-barang dan jasa guna menjamin terjangkaunya harga oleh mayoritas rakyat.
9.    Menjamin poengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan pada perbaikan alat-alat dan peningkatan kapasitas produksi dn kemampuan mengembangkan produksi. Pengembangan teknologi tersebut diprioritaskan pada industri-industri manufaktur berat (baja, besi, dll). Prioritas tersebut untuk menjamin penyediaan bahan ba ku bagi industri lain yang pokok bagi rakyat (tekstil, kertas, farmasi, bahan pangan dll).
10.    Meningkatkan ilmu dan teknologi pertanian untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan produksi pangan sehingga murah, bergizi dn massif.
11.    Mendorong (jika perl u dengan subsidi, bukannya dicabut) sektor-sektor industri swasta (yang belum mampu dikelola bersama) sehingga mampu memberikan sumbangan positif bagi produktifitas nasional.
12.    Menyediakan sarana-sarana pendidikan yang murah dari SD sampai dengan universitas dan penyediaan sarana-sarana penididkan (laboratorim, dana riset, buku, dll)
13.    Menyediakan sarana-sarana transportasi umum yang murah dan dapat menjangkau sampai ke pelosokpelosok guna mempermudah aktifitas penting (sekolah, distribusi barang, dan juga memperlancar aktifitas bekerja).
14.    Menyediakan perumahan-perumahan murah bagi rakyat.
15.    Menyediakan sarana-sarana kesehatan yang murah dan memadai seperti rumah sakit-rumah sakit hingga tingkat kecamatan. Dewan Rakyat akan mampu kita wujudkan den gan kerja keras dari seluruh kekuatan kekuatan politik progresif dan revolusioner (parpol, kelas pekerja, petani, Gerakan Mahasiswa, dan intelektual progresif). Peran yang harus menjadi konsentrasi bagi seluruh kekuatan progresif bagi pembentukan Dewan ra kyat adalah bagaimana secepatnya meningkatkan kesadaran politik rakyat. Dewan Rakyat hanya mungkin dengan kesadaran massa yang progresif revolusioner dan partisipasi politik rakyat yang tinggi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar