(Tinjauan sejarah peradaban Islam nusantara di bidang
politik)[1]
Dalam politik Islam, Sunni adalah
kelompok mayoritas yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik
Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang
berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan pemikiran politik
mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada
status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris adalah ciri
umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang
peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut
mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni kadang-kadang
sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala
negara atas rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.
Dalam konteks keindonesiaan, doktrin
politik Sunni juga sering menjadi landasan bagi kekuasaan dan memberi implikasi
terhadap praktik politik umat Islam Indonesia. Tidak jarang pula pelaku politik
Islam Indonesia, disadari atau tidak, mendasarkan perilaku politik mereka pada
paradigma Sunni. Umat Islam Indonesia yang mayoritas menganut paham Sunni (Ahl
al-Sunnah wa al-Jama`ah) juga tidak bisa melepaskan diri dari paradigma
politik Sunni abad klasik tersebut. Berhadapan dengan kekuasaan, umat Islam
Indonesia umumnya, bahkan sejak masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara,
cenderung bersikap akomodatif dan mengutamakan keharmonisan sosial.
Setelah kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945, ketika Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, sebenarnya
Presiden Soekarno telah jauh menyeleweng dan menyimpang dari "aturan main
ketatanegaraan" yang sudah digariskan bersama. Banyak tindakan-tindakan
Soekarno yang inkonstitusional, namun umat Islam merasa mendapat perlindungan
dari Soekarno. Kalangan Islam kelihatannya tidak mau bersikap frontal terhadap
Soekarno. Paradigma "enam puluh tahun berada di bawah kekuasaan
pemimpin yang zalim lebih baik daripada tidak punya pemimpin meskipun hanya
semalam" seperti dirumuskan oleh Ibn Taimiyah dan larangan bersikap
oposisi mendominasi perilaku politik Islam ketika itu.
Setelah jatuhnya Soekarno dan
munculnya Orde Baru dengan Soeharto sebagai kepala negara, paradigma politik
Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan.
Namun, berbeda dengan masa Orde Lama, pada masa Orba paradigma politik Sunni
ini dijalankan dengan format yang lebih elegan dan sophisticated. Pengalaman
masa lalu, ketika umat Islam mengalami kegagalan dalam politik, membuat pelaku
dan pemikir politik muslim Indonesia merumuskan kembali pola baru yang saling
menguntungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam rangka
memberi sumbangan Islam bagi bangunan negara Indonesia.
Pada tahun 1970, dalam rangka
menciptakan harmonisasi politik ini, Nurcholish Madjid merumuskan sebuah
paradigma Islam yes partai Islam no. Menurut Cak Nur, panggilan akrab
cendekiawan muslim ini, "jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide
yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu
sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan
pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil,
kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil
membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image
sebaliknya."
Pada masa Indonesia modern, tradisi
politik Sunni juga sangat membekas dalam perilaku politik umat Islam Indonesia.
Ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimmpin, dua organisasi Islam
Indonesia terbesar yang mewakili dua sayap Islam tradisionalis dan modernis,
yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sama-sama "terperangkap"
ke dalam paradigma politik Sunni tersebut. Muhammadiyah pernah memberikan gelar
Doktor Honoris Causa untuk Soekarno dalam bidang teologi. Pasca Muktamar Muhammadiyah
ke 35 pada tahun 1962, Pimpinan Pusatnya pun dilantik di Istana Bogor. Bahkan
Muhammadiyah memberi gelar kepada Soekarno sebagai "Pemimpin Agung
Muhammadiyah".
Sikap akomodatif dan pro status quo
diperlihatkan lebih tegas lagi oleh NU. Sebagai partai politk ketika itu, NU
memilih berada dalam pusaran arus politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan
Komunis) yang digulirkan oleh Soekarno. NU mencari-cari dalil pembenar sikap
mereka melalui bahasa agama. Di antaranya adalah kaidah ma la yudraku
kulluhu la yutraku kulluhu (Apa yang tidak bisa diperoleh secara
keseluruhan, jangan dibuang sebagian yang bisa diraih tersebut). Artinya, kalau
kita tidak dapat memperoleh seratus persen, maka lima puluh persen atau kurang
dari itu pun tidak apalah.
Di sisi lain, sebagian pemikir Islam
yang semula belajar di berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri,
berusaha mengembangkan pendekatan gerakan Islam Kultural. Jargon Islam yes
partai Islam no yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970
mulai mendapat simpati. Bagi Cak Nur, panggilan akrabnya, partai Islam bukanlah
satu-satunya alat untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Ide tentang partai
Islam tidak lagi menarik dan kehilangan dinamika.
Dari perkembangan Orba selama 32 tahun
perjuangan integralisasi Islam dan kekuasaan politik sudah tidak lagi menjadi
perhatian umat Islam. Orde Baru merasa khawatir dengan keberadaan Islam
politik. Karena itu, dalam perkembangannya umat Islam pun akhirnya mengubah
strategi perjuangan dengan menitikberatkan perhatian pada "Islam
kultural." Dalam hal ini, kalangan cendekiawan Islam berusaha
menghilangkan stigma radikalisme politik Islam yang dicitrakan selama masa demokrasi
liberal dan demokrasi terpimpin. Adagium enam puluh tahun di bawah rezim yang
diktator lebih baik daripada tidak mempunyai pemerintahan meskipun semalam,
disadari atau tidak, menjadi bagian dari pemikiran dan perilaku politik Islam
di Indonesia pada masa Orba.
Strategi ini berhasil dengan mulai
terjalinnya saling pengertian antara Islam dan Orba. Pemerintahan Soeharto pun
dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, meskipun tidak memberi
ruangan yang lebih luas untuk politik. Namun demikian, kita juga tidak bisa
menafikan peran politik PPP yang, meskipun terkooptasi oleh pemerintah dan
melepaskan Islam sebagai ideologinya, tetap memperjuangkan kepentingan Islam
dalam lembaga legislatif.
Jadi pada masa Orde Baru, paradigma
politik Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan Islam dan
kekuasaan. Namun berbeda dengan Orde Lama,. Paradigma ini dijalankan dengan
format yang lebih anggun. Paradigma Sunni yang bersikap pro status quo dan
melarang oposisi terhadap kekuasaan tetap diusung, namun dengan bahasa yang
lebih halus dan elegan, tidak vulgar untuk kepentingan sesaat dan golongan
tertentu saja. Pengalaman masa lalu, ketika umat Islalm mengalami kegagalan
dalam politik, membuat pemikir-pemikir muslim Indonesia mencari pola baru yang
saling menguntungkan. Dengan demikian umat islam dapat memainkan peranannya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun masa "bulan
madu" Islam dan kekuasaan Orde Baru tidak berlangsung lama. Sejak
pertengahan tahun 1990-an kekuasaan Orde Baru mulai goyah. Akhirnya pada tahun
1998 kekuasaan Orba jatuh oleh kekuatan rakyat. [2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar