Senin, 09 April 2012

Doktrin Politik Sunni dan Implikasinya Terhadap Politik Islam Nusantara Pasca-Kemerdekaan Hingga Runtuhnya Orde Baru (Tinjauan sejarah peradaban Islam nusantara di bidang politik)[1]


Doktrin Politik Sunni dan Implikasinya Terhadap Politik Islam Nusantara Pasca-Kemerdekaan Hingga Runtuhnya Orde Baru
(Tinjauan sejarah peradaban Islam nusantara di bidang politik)[1]

Dalam politik Islam, Sunni adalah kelompok mayoritas yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan pemikiran politik mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris adalah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.
Dalam konteks keindonesiaan, doktrin politik Sunni juga sering menjadi landasan bagi kekuasaan dan memberi implikasi terhadap praktik politik umat Islam Indonesia. Tidak jarang pula pelaku politik Islam Indonesia, disadari atau tidak, mendasarkan perilaku politik mereka pada paradigma Sunni. Umat Islam Indonesia yang mayoritas menganut paham Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah) juga tidak bisa melepaskan diri dari paradigma politik Sunni abad klasik tersebut. Berhadapan dengan kekuasaan, umat Islam Indonesia umumnya, bahkan sejak masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, cenderung bersikap akomodatif dan mengutamakan keharmonisan sosial.
Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, ketika Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, sebenarnya Presiden Soekarno telah jauh menyeleweng dan menyimpang dari "aturan main ketatanegaraan" yang sudah digariskan bersama. Banyak tindakan-tindakan Soekarno yang inkonstitusional, namun umat Islam merasa mendapat perlindungan dari Soekarno. Kalangan Islam kelihatannya tidak mau bersikap frontal terhadap Soekarno. Paradigma "enam puluh tahun berada di bawah kekuasaan pemimpin yang zalim lebih baik daripada tidak punya pemimpin meskipun hanya semalam" seperti dirumuskan oleh Ibn Taimiyah dan larangan bersikap oposisi mendominasi perilaku politik Islam ketika itu.
Setelah jatuhnya Soekarno dan munculnya Orde Baru dengan Soeharto sebagai kepala negara, paradigma politik Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan. Namun, berbeda dengan masa Orde Lama, pada masa Orba paradigma politik Sunni ini dijalankan dengan format yang lebih elegan dan sophisticated. Pengalaman masa lalu, ketika umat Islam mengalami kegagalan dalam politik, membuat pelaku dan pemikir politik muslim Indonesia merumuskan kembali pola baru yang saling menguntungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam rangka memberi sumbangan Islam bagi bangunan negara Indonesia.
Pada tahun 1970, dalam rangka menciptakan harmonisasi politik ini, Nurcholish Madjid merumuskan sebuah paradigma Islam yes partai Islam no. Menurut Cak Nur, panggilan akrab cendekiawan muslim ini, "jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya."
Pada masa Indonesia modern, tradisi politik Sunni juga sangat membekas dalam perilaku politik umat Islam Indonesia. Ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimmpin, dua organisasi Islam Indonesia terbesar yang mewakili dua sayap Islam tradisionalis dan modernis, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sama-sama "terperangkap" ke dalam paradigma politik Sunni tersebut. Muhammadiyah pernah memberikan gelar Doktor Honoris Causa untuk Soekarno dalam bidang teologi. Pasca Muktamar Muhammadiyah ke 35 pada tahun 1962, Pimpinan Pusatnya pun dilantik di Istana Bogor. Bahkan Muhammadiyah memberi gelar kepada Soekarno sebagai "Pemimpin Agung Muhammadiyah".
Sikap akomodatif dan pro status quo diperlihatkan lebih tegas lagi oleh NU. Sebagai partai politk ketika itu, NU memilih berada dalam pusaran arus politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang digulirkan oleh Soekarno. NU mencari-cari dalil pembenar sikap mereka melalui bahasa agama. Di antaranya adalah kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (Apa yang tidak bisa diperoleh secara keseluruhan, jangan dibuang sebagian yang bisa diraih tersebut). Artinya, kalau kita tidak dapat memperoleh seratus persen, maka lima puluh persen atau kurang dari itu pun tidak apalah.
Di sisi lain, sebagian pemikir Islam yang semula belajar di berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, berusaha mengembangkan pendekatan gerakan Islam Kultural. Jargon Islam yes partai Islam no yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970 mulai mendapat simpati. Bagi Cak Nur, panggilan akrabnya, partai Islam bukanlah satu-satunya alat untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Ide tentang partai Islam tidak lagi menarik dan kehilangan dinamika.
Dari perkembangan Orba selama 32 tahun perjuangan integralisasi Islam dan kekuasaan politik sudah tidak lagi menjadi perhatian umat Islam. Orde Baru merasa khawatir dengan keberadaan Islam politik. Karena itu, dalam perkembangannya umat Islam pun akhirnya mengubah strategi perjuangan dengan menitikberatkan perhatian pada "Islam kultural." Dalam hal ini, kalangan cendekiawan Islam berusaha menghilangkan stigma radikalisme politik Islam yang dicitrakan selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Adagium enam puluh tahun di bawah rezim yang diktator lebih baik daripada tidak mempunyai pemerintahan meskipun semalam, disadari atau tidak, menjadi bagian dari pemikiran dan perilaku politik Islam di Indonesia pada masa Orba.
Strategi ini berhasil dengan mulai terjalinnya saling pengertian antara Islam dan Orba. Pemerintahan Soeharto pun dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, meskipun tidak memberi ruangan yang lebih luas untuk politik. Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikan peran politik PPP yang, meskipun terkooptasi oleh pemerintah dan melepaskan Islam sebagai ideologinya, tetap memperjuangkan kepentingan Islam dalam lembaga legislatif.
Jadi pada masa Orde Baru, paradigma politik Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan Islam dan kekuasaan. Namun berbeda dengan Orde Lama,. Paradigma ini dijalankan dengan format yang lebih anggun. Paradigma Sunni yang bersikap pro status quo dan melarang oposisi terhadap kekuasaan tetap diusung, namun dengan bahasa yang lebih halus dan elegan, tidak vulgar untuk kepentingan sesaat dan golongan tertentu saja. Pengalaman masa lalu, ketika umat Islalm mengalami kegagalan dalam politik, membuat pemikir-pemikir muslim Indonesia mencari pola baru yang saling menguntungkan. Dengan demikian umat islam dapat memainkan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun masa "bulan madu" Islam dan kekuasaan Orde Baru tidak berlangsung lama. Sejak pertengahan tahun 1990-an kekuasaan Orde Baru mulai goyah. Akhirnya pada tahun 1998 kekuasaan Orba jatuh oleh kekuatan rakyat. [2]


[1] Oleh  : Al Farabi / nim : 07350023 / Jurusan : AS (A) / Semester II

[2] Dikutif dari tulisan Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar