KAJIAN YURIDIS UU NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN
IMPLEMENTASINYA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH*)
Pendahuluan
Salah satu gema tuntutan reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala Daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah. Sebagaimana kita ketahui menguatnya peran kepala Daerah atau eksekutif di satu pihak dan melemahnya peran DPRD dipihak lain dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kepentingan merupakan salah satu alasan untuk mencabut UU No.5 Tahun 1974 pada era reformasi sekarang ini. Pencabutan UU No.5 Tahun 1974 diawali oleh Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan pada bulan Nopember 1998 dengan dikeluarkannya berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diantaranya adalah :
1. TAP MPR-RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.IMPLEMENTASINYA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH*)
Pendahuluan
Salah satu gema tuntutan reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala Daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah. Sebagaimana kita ketahui menguatnya peran kepala Daerah atau eksekutif di satu pihak dan melemahnya peran DPRD dipihak lain dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kepentingan merupakan salah satu alasan untuk mencabut UU No.5 Tahun 1974 pada era reformasi sekarang ini. Pencabutan UU No.5 Tahun 1974 diawali oleh Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan pada bulan Nopember 1998 dengan dikeluarkannya berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat diantaranya adalah :
2. TAP MPR-RI No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjelang Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999, telah dilakukan berbagai usaha dalam bidang hukum, yaitu diantaranya adalah mencabut UU No.5 Tahun 1974 dan sebagai gantinya diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Ada dua pertimbangan dari Undang-undang tersebut yang patut kita perhatikan, yaitu :
1. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun diluarnegeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi ……….”
Berbeda dengan undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, maka dalam UU Nomor 22 tahun 1999, kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta 10 kewenangan lainnya.1)
Dalam pada itu tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menentukan antara lain bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Karena itu untuk memudahkan kajian kita tentang kedudukan kepala Daerah dalam konteks UU No.22 Tahun 1999, maka perlu terlebih dahulu kita bandingkan bagaimana undang-undang sebelumnya, yakni UU No.5 Tahun 1974 mengatur tentang masalah tersebut.
Komparasi UU No.5 Tahun 1974
Kajian tentang kedudukan Kepala Daerah di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para pakar, terlebih lebih pada waktu masih diberlakukannya undang-undang Nomor 5 Tahun 1974.
Dalam kaitan tersebut banyak pihak mempertanyakan sejauhmana UU No.5 Tahun 1974 telah menjamin terlaksananya mekhanisme kerja yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sebagaimana kita pahami pasal 13 undang-undang No.5 Tahun 1974 menegaskan bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Kedua organ ini mempunyai kedudukan yang sederajat, Kepala Daerah sebagai pemimpin eksekutif sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada bidang legislatif.
Tetapi dalam ketentuan pasal lain menunjukkan bahwa Kepala Daerah mempunyai kekuasaan yang lebih bila dibandingkan dengan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebab undang-undang No.5 Tahun 1974 menganut dua listis yaitu Kepala Daerah karena jabatannya juga merangkap sebagai Kepala Wilayah. Sebagai Kepala WIlayah maka ia merupakan Wakil pemerintah Pusat di daerah dan juga sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya, dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan pembina kehidupan masyarakat dalam segala bidang (pasal 80 UU No.5 Tahun 1974).
Ketentuan lain yang melemahkan ruang gerak kewenangan DPRD adalah terlihat dalam tata cara pemilihan Kepala Daerah. Undang-undang ini menjelaskan bahwa Kepala Daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang. Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam negeri, sedikit-dikitnya dua orang untuk dipilih salah satu diantaranya, dan Presiden atau Menteri Dalam Negeri tidak terikat dengan jumlah suara yang diperoleh oleh calon-calon yang diajukan.2)
Implikasi dari sistem pengangkatan tersebut adalah pada pertangungjawaban Kepala Daerah tidak kepada DPRD tetapi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (pasal 22 ayat 2 UU No.5 Tahun 1974).
Sedangkan kepada DPRD, Kepala Daerah wajib memberikan keterangan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya atau apabila diminta oleh DPRD (Pasal 22 ayat 3 UU No.5 Tahun 1974). Tetapi dalam menanggapi”Pemberian keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah”, DPRD tidak mempunyai kewenangan yang jelas, karena tidak diatur sebagaimana konsekuensinya seandainya keterangan pertanggungawaban Kepala Daerah tidak dapat diterima oleh DPRD. Lebih lanjut dalam posisinya yang kuat Kepala Wilayah dapat mengawasi dan mengendalikan DPRD. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 35 ayat 1 UU no.5 Tahun 1974 sebagai berikut:”Apabila ternyata DPRD Tingkat I melalaikan atau karena satu hal tidak dapat menjalankan fungsinya dan kewajibannya sehingga dapat merugikan daerah atau negara, setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah, menteri Dalam Negeri menentukan cara bagaimana hak, wewenang dan kewajiban DPRD itu dijalankan.
Dalam fungsi membuat peraturan, DPRD diberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah di dalam pelaksanaannya fungsi ini dapat digunakan melalui hak inisiatif atau hak prakarsa dan hak amandemen atau hak perubahan. Dengan dijalankannya fungsi peraturan oleh DPRD, maka kebijakan-kebijakan pemerintah di daerah akan lebih mencerminkan kehendak rakyat di daerahnya. Tetapi dalam praktiknya fungsi peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebab hak inisiatif tidak pernah dilaksanakan. Di lihat dari struktur pemerintahan di daerah yang berorientasi ke atas. Sesungguhnya UU no. 5 Tahun 1974 sangat membatasi penggunaan hak prakarsa atau hak inisiatif oleh DPRD, sebab dengan diterapkannya peran ganda dalam diri Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Walikota Madya dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang dalam praktiknya lebih menonjolkan perannya sebagai Kepala Wilayah, maka sebagai konsekuensinya DPRD kurang memilki kesempatan untuk memainkan perannya sebagai legislator dalam merumuskan peraturan daerah. Pada segi lain kecilnya bobot kekuasaan dewan dalam fungsi peraturan ini antara lain terlihat dari pengesahan Pemerintah Pusat terhadap peraturan daerah oleh Pemerintah Pusat membuat anggota canggung untuk menerima dan menolak suatu rancangan peraturan daerah dan mekanisme ini juga memberikan kesan bahwa anggota Dewan bekerja secara tidak tuntas.3)
Dari apa yang dikemukakan diatas tentang kedudukan Kepala Daerah yang begitu kuat di satu pihak dan melemahnya peran DPRD dilain pihak. Sebagaimana ditemukan secara teknis dalam pasal-pasal UU Nomor 5 Tahun 1974, maka bila dibandingkan dengan UU No.22 Tahun 1999 terlepas dari kelemahan yang ada, sangat sulit untuk mengingkari bahwa UU No.22 Tahun 1999 merupakan produk hukum yang demokratis yang berhasil dibangun pada awal bergulirnya roda reformasi di Indonesia.
Kepala Daerah dan DPRD Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999
Lepas dari segala kelemahan yang melekat pada UU No.22 Tahun 1999, maka produk hukum di bidang politik tersebut jauh lebih demokratis bila dibandingkan dengan UU No.5 Tahun 1974. Cukup banyak perubahan atau hal baru yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai jawaban atas tuntutan reformasi. Politik sentralisasi UUNo.5 Tahun 1974 beralih pada politik desentralisasi menuju pelaksanaan otonomi teritorial seluas-luasnya. UU No.22 Tahun 1999 menggariskan secara tegas pelaksanaan fungsi-fungsi dari Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD tidak lagi dijadikan bagian dari pemerintah daerah melainkan menjadi lembaga legislatif daerah yang sejajar dengan pemerintah daerah, bahkan DPRD dapat secara mutlak menentukan Kepala Daerah, meminta pertanggungjawaban kepadanya, bahkan memberhentikannya jika DPRD merasa mempunyai cukup alasan untuk itu.4)
UU No.22 Tahun 1999 tidak menganut otonomi bertingkat seperti dulu, sehingga pada saat ini berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 tersebut Gubernur bukanlah atasan Bupati. Sekarang tidak ada lagi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, yang ada adalah Propinsi dan Kabupaten atau kota yang mempunyai otonominya sendiri-sendiri.5)
Dengan UU No.22 Tahun 1999 seperti telah dikemukakan di atas, maka peran DPRD menjadi semakin penting, karena DPRD telah diberi kekuatan politik yang besar untuk menetapkan atau menentukan secara penuh tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Dalam UU No.22 Tahun 1999 dengan tegas dinyatakan bahwa baik Gubernur, Bupati maupun Walikota dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota.6)
Hal yang menarik dalam membahas materi tentang Kepala Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah mengenai pemberhentian Kepala Daerah.
Ada tiga cara seorang Kepala Daerah “diberhentikan” dari jabatan. Pertama: Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden atas usul DPRD. Usul pemberhentian ini dapat terjadi apabila pertanggungjawaban Kepala Daerah yang telah ditolak kemudian ditolak kembali oleh DPRD.7) Pertanggungjawaban wajib diberikan Kepala Daerah kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu atas permintaan DPRD.8) Hal ini dapat berarti bahwa setiap saat Kepala Daerah dapat diusulkan untuk diberhentikan atau paling lama satu tahun yaitu akibat laporan pada setiap akhir tahun anggaran. Kemungkinan semacam ini dapat diperbesar oleh sistem banyak partai di DPRD dengan variasi kepentinganatau interest politik yang berbeda antara Kepala Daerah di satu pihak dan Kekuatan politik tertentu di DPRD dipihak lain.
Sebagaimana dikemukakan atas, Presiden memberhentikan Kepala Daerah atas usul DPRD. Pertanyaannya: “Apakah Presiden harus memberhentikan atau dapat menolak usul pemberhentian tersebut ? Dari kacamata pandang Hukum Tata Negara, maka presiden tidak dibenarkan menolak usul pemberhentian tersebut, karena hal ini berkaitan dengan dengan prinsip kedaulatan rakyat, yakni menjamin perwujudan kedaulatan rakyat di daerah. Barulah Presiden dapat menolak usul pemberhentian tersebut apabila dapat dibuktikan ada kesewenang-wenangan dalam keputusan DPRD atau mengenai hal-hal yang tidak dapat menjadi dasar usul pemberhentian menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua: Kepala Daerah diberhentikan dengan ketetapan DPRD. Pasal 49 UU No.22 Tahun 1999 mengatur mengenai alasan-alasan Kepala Daerah diberhentikan, antara lain disebutkan: “mengalami krisis kepercayaan politik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggungjawabnya dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD”, Selanjutnya pasal 50 menyebutkan, pemberhentian berdasarkan alasan pasal 49 ditetapkan DPRD dan disahkan Presiden. Berbeda dengan cara pertama DPRD hanya mengusulkan dan Presiden yang menetapkan. Cara kedua, DPRD yang memutuskan, Presiden hanya mengesahkan. Pemberhentian Kepala Daerah selanjutnya oleh pasal 50 digariskan harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Ketiga: Pasal 51 menyebutkan, Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD, apabila terbuktimelakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukum lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selanjutnya pemberhentian Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui Keputusan/persetujuan DPRD apabila terbukti Kepala Daerah melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia.
Kepala Daerah Pasca Pemilu 1999
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia keberadaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum, karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak untuk ikut aktif dalam proses politik. Pemilihan umum sesuai amanat konstitusi merupakan proses politik ketatanegaraan menuju pembentukan lembaga-lembaga perwakilan (MPR, DPR dan DPRD).
Pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 tidak dapat dilepaskan dari agenda reformasi antara lain menyangkut pembaharuan pemerintahan. Karenanya sebagaimana dikemukakan di atas, penye-lenggaraan pemilu 1999 tidak hanya memilih anggota DPR dan mengisi keanggotaan MPR, melainkan termasuk pula pemilihan anggota DPRD dalam rangka pembaharuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis, karena reformasi tidak hanya diperlukan pada pusat pemerintahan, tetapi juga melingkupi pembaharuan-pembaharuan di tingkat daerah. Pembaharuan-pembaharuan ditingkat daerah tidak kalah penting, karena segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya terjadi dipusat pemerintah tetapi juga pada pemerintahan tingkat daerah.
Karena itu sejalan dengan kebijakan reformasi dipusat pemerintahan yang mempercepat pemilihan kembali Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR hasil pemilu Juni 1999, maka sudah semestinya berlaku pula di daerah. Mempercepat pemilihan kembali Kepala Daerah oleh DPRD hasil pemilu 1999 merupakan suatu keharusan dalam rangka merealisasi agenda-agenda reformasi untuk terwujudnya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18 konstitusi kita.
Pemerintahan Daerah hasil pemilu 1999 akan menjadi batas pembeda antara masa pemerintah Orde Baru dan pemerintah baru yang bertugas mewujudkan cita-cita reformasi. Karena itu pula kendatipun UU No.22 Tahun 1999 akan dilaksanakan secara efektif paling lambat dua tahun setelah diundangkan (Mei 2001), namun sepanjang dimungkinkan sudah semestinya penyelenggaraan pemeritahan daerah, misalnya yang mengatur kedudukan atau fungsi Kepala daerah dan peran DPRD akan dapat dilaksanakan menurut semangat asas bahkan ketentuan UU No.22 Tahun 1999.
Dengan demikian roda pemerintahan di daerah pasca pemilu 1999 haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh UU No.22 Tahun 1999, artinya dengan Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD hasil pemilu 1999, sudah dapat dilakukan berbagai kebijakan sesuai dengan tuntutan reformasi.
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka pasca pemilu 1999 konstruksi pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD sebagaimana dianut selama Orde Baru, akan berubah menjadi Kepala Daerah yang dikontrol oleh DPRD dan Kepala Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dengan struktur pemerintah daerah yang demikian diharapkan DPRD dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal dan dalam perspektif inilah esensi kehidupan berdemokrasi di dalam pemerintah di daerah akan lebih bermakna.
Pada penghujung tulisan ini ingin disampaikan, bahwa dengan pemberian otonomi yang luas kepada daerah membawa konsekuensi perlunya kriteria kualitas yang handal baik bagi Gubernur, Bupati/Walikota Madya dan anggota-anggota DPRD.
Memperhatikan tugas, wewenang dan hak-haknya DPRD mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap Badan Eksekutif di daerah, karena itu perlu diselenggarakan semacam “pembekalan” kepada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arbi Sanit, Peranan DPRD di Indonesia, Jurnal Penelitian Sosial, No.8 Tahun 1990, Hal.28
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Martin H. Hutabarat dan Dahlan Thaib (Ed), Hukum dan Politik Indonesia , Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
TAP MPR NO.X/MPR/1998
TAP MPR NO.XV/MPR/1998
UU NO.5 Tahun 1974
UU NO.22 Tahun 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar