1.
Pendahuluan
Berbicara tentang kebenaran, sebenarnya membicarakan tentang sesuatu yang mempunyai makna yang sangat luas. Karena selain membicarakan tentang teori-teori kebenaran yang beragam dan variatif kita juga dihadapkan dengan kenyataan sejarah yang sangat panjang dan perkembangan pemikiran filsafat itu sendiri yang membicarakan tentang “kebenaran”.
Sebagaimana telah dibicarakan di atas, bahwa pembahasan tentang kebenaran mengandung makna yang sangat luas. Karena teori-teori kebenaran mencakup pembahasan-pembahasan yang beragam dan berlainan, namun kita dapat mengelompokkan kebenaran atas pengelompokan besar yaitu, “kebenaran ilmiah” dan “kebenaran non-ilmiah”. Demi keefektifan maka pembahasan disini hanya ditujukan pada pembahasan tentang “kebenaran non-ilmiah” yang berbicara tentang apa kebenaran itu sendiri, selanjutnya menjelaskan maksud dari kebenaran non-ilmiah diteruskan dengan pembahasan tentang pembagian atas kebenaran non-ilmiah itu sendiri.
Berbicara tentang kebenaran, sebenarnya membicarakan tentang sesuatu yang mempunyai makna yang sangat luas. Karena selain membicarakan tentang teori-teori kebenaran yang beragam dan variatif kita juga dihadapkan dengan kenyataan sejarah yang sangat panjang dan perkembangan pemikiran filsafat itu sendiri yang membicarakan tentang “kebenaran”.
Sebagaimana telah dibicarakan di atas, bahwa pembahasan tentang kebenaran mengandung makna yang sangat luas. Karena teori-teori kebenaran mencakup pembahasan-pembahasan yang beragam dan berlainan, namun kita dapat mengelompokkan kebenaran atas pengelompokan besar yaitu, “kebenaran ilmiah” dan “kebenaran non-ilmiah”. Demi keefektifan maka pembahasan disini hanya ditujukan pada pembahasan tentang “kebenaran non-ilmiah” yang berbicara tentang apa kebenaran itu sendiri, selanjutnya menjelaskan maksud dari kebenaran non-ilmiah diteruskan dengan pembahasan tentang pembagian atas kebenaran non-ilmiah itu sendiri.
2.
Pembahasan
1) Tinjauan
historis
Gejala tentang kebenaran sebenarnya telah muncul semenjak kemunculan filsafat. Gejala inipun tanpa henti-hentinya terus dibantah, namun tetap muncul kembali.
Dari masa kuno pembicaraan tentang kebenaran telah dimulai oleh Plato, selanjutnya diteruskan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Descartes, Kant, Hegel, dan masih banyak tokoh lainya yang tidak kita sebut.
Gejala tentang kebenaran sebenarnya telah muncul semenjak kemunculan filsafat. Gejala inipun tanpa henti-hentinya terus dibantah, namun tetap muncul kembali.
Dari masa kuno pembicaraan tentang kebenaran telah dimulai oleh Plato, selanjutnya diteruskan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Descartes, Kant, Hegel, dan masih banyak tokoh lainya yang tidak kita sebut.
2) Arti Kebenaran
Kebenaran (truth) ialah suatu konsep falsafati, aspek-aspek yang dijalankan dibawah episemologi; logik dan formal.[1] Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hammami, 1983). Kedudukan kebenaran pertama-tama terletak dalam diri subjek si pengenal. Ada dua hal yang harus dicatat di sini bagi subyek yang menyatakan kebenaran. Pertama, proposisi yang benar. Proposisi maksudnya ialah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan/statement. Kedua, proposisi yang diuji itu memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Alasannya adalah kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya. Maka kebenaran itu selalu dikaitkan dengan 3 (tiga) hal :
Pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa :[2]
Kebenaran (truth) ialah suatu konsep falsafati, aspek-aspek yang dijalankan dibawah episemologi; logik dan formal.[1] Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hammami, 1983). Kedudukan kebenaran pertama-tama terletak dalam diri subjek si pengenal. Ada dua hal yang harus dicatat di sini bagi subyek yang menyatakan kebenaran. Pertama, proposisi yang benar. Proposisi maksudnya ialah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan/statement. Kedua, proposisi yang diuji itu memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Alasannya adalah kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya. Maka kebenaran itu selalu dikaitkan dengan 3 (tiga) hal :
Pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa :[2]
·
Kebenaran Ilmiah, yaitu kebenaran yang
terbangun/diperoleh berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah.
Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis,
koresponden, dan koheren..
·
Kebenaran non-ilmiah, yaitu kebenaran yang
diperoleh bukan berdasarkan penalaran logika ilmiah, diantaranya : kebenaran
karena kebetulan, kebenaran agama, kebenaran Intuitif, kebenaran karena Trial
dan Eror, kebenaran spekulasi, kebenaran karena kewibawaan, dan kebenaran
karena akal sehat.
·
Kebenaran filsafat, kebenaran yang diperoleh
dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada.
Kebenaran yang
kedua adalah kebenaran yang dikaitkan dengan
sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang
membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan
pengindraan atau sense experience, ratio,
intuisi atau keyakinan. Implikasi dan pengguaan alat untuk memperoleh
pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran
yang dikandung oleh pengetahuan itu, juga akan memiliki cara tertentu untuk
membuktikannya. Artinya, jika seseorang membangun pengetahuannya melalui indra/sense experience, maka pada saat itu
kebenaran pengetahuannya harus dibuktikan lewat indra pula. Demikian juga
dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran
yang dibangun oleh cara intuitif, lalu dibuktikan dengan cara indrawi misalnya.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) indrawi (2) akal budi (3) intuitif (4) pengetahuan kepercayaan/otoritatif. Implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) indrawi (2) akal budi (3) intuitif (4) pengetahuan kepercayaan/otoritatif. Implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Kebenaran
pengetahuan yang ketiga adalah kebenaran
pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.
Artinya, bagaimana relasi antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk
membangun pengetahuan itu. Jika subjek yang dominan, maka jenis pengetahuan itu
mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Maksudnya, nilai kebenaran dari pengetahuan yang
dikandungnya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan
tersebut. Sebaliknya, apabila objek amat berperan, maka sifatnya objektif,
seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu alam.[3]
Demikianlah pemahaman mengenai arti kebenaran,
dengan harapan kita dapat memahami makna kebenaran beserta pengelompokannya. Dari sinilah kita dapat memahami kajian kita yaitu tentang
kebenaran non-ilmiah, karakteristiknya dalam mendapatkan pengetahuan bersandar pada
intuisi dan sangat bersifat subjektif.
Pembagian Kebenaran non-Ilmiah
Kebenaran
non-Ilmiah berbeda dengan kebenaran Ilmiah yang di peroleh berdasarkan
penalaran logika Ilmiah, sedangkan kebenaran non-ilmiah diperoleh berdasarkan
beberapa faktor. Diantaranya :
·
Kebenaran karena kebetulan : Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan
tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering
tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua
kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah.
·
Kebenaran karena akal sehat (common sense) : Akal sehat adalah serangkaian konsep yang
dipercayai dapat memecahka masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman
fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal
sehat ini. Penelitian psikolgi kemudian membuktikan hal tersebut tidak benar.
·
Kebenaran agama dan wahyu : Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan
rasulnya. Beberapa hal masih bisa di nalar dengan panca indra manusia, tapi
sebagian hal lain tidak.
·
Kebenaran Intuitif : Kebenaran yang didapat dari proses luar
sadar tanpa menggunaaakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif
sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang
yang berpengalaman lama dan mendarah daging disuatu bidang.
·
Kebenaran karena trial dan error : Kebenaran yang di peroleh karena
mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, tekhnik, materi dan parameter-parameter
sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
·
Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbamgan meskipun
kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relative lebih
cepat dan biaya lebih rendah daripada trial- error.
·
Kebenaran karena kewibawaan : Kebenaran yang diterima karena pengaruh
kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuan, pakar atau ahli yang
memelliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran
yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu di uji. Kebenaran ini bisa
benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
Contoh
Kebenaran non-Ilmiah
·
Mukasyafah
·
Ilmu Laduni
·
Sihir dan lain sebagainya
·
Mistik,
dan lain sebagainya.
3.
Kesimpulan
Pada dasarnya setiap proses mengetahui akan memunculkan bentuk kebenaran sebagai kandungan dari isi pengetahuan itu. Namun ada satu hal yang harus tetap dicatat ialah, setiap kebenaran pada pembuktiannya harus kembali kepada status ontologis objek (menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji), sikap epistemologis (bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian dan menyusun tubuh pengetahuannya), dan akhinya dengan sikap aksiologis (untuk apa ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan/theory of value). Dari sinilah bermunculan teori-teori kebenaran yang beraneka ragam.[4]
Demikianlah kebenaran non-ilmiah” dengan harapan kita dapat membedakan teori-teori kebenaran, dan mampu memahami karakteristiknya masing-masing. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami kebenaran itu sendiri dengan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dimana akan membuat kita lebih bijak dalam memahami sesuatu dan tidak menafikan keragaman dalam kebenaran yang dilandasi ketidaktahuan atau memahami sesuatu secara parsial. Seperti menafikan kebenaran yang bersifat logis-supra-rasional karena selalu berpijak pada pembuktian yang bersifat sains (logis/rasional disertai bukti empiris), begitupun sebaliknya.
Pada dasarnya setiap proses mengetahui akan memunculkan bentuk kebenaran sebagai kandungan dari isi pengetahuan itu. Namun ada satu hal yang harus tetap dicatat ialah, setiap kebenaran pada pembuktiannya harus kembali kepada status ontologis objek (menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji), sikap epistemologis (bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian dan menyusun tubuh pengetahuannya), dan akhinya dengan sikap aksiologis (untuk apa ilmu yang telah tersusun itu dipergunakan/theory of value). Dari sinilah bermunculan teori-teori kebenaran yang beraneka ragam.[4]
Demikianlah kebenaran non-ilmiah” dengan harapan kita dapat membedakan teori-teori kebenaran, dan mampu memahami karakteristiknya masing-masing. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami kebenaran itu sendiri dengan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dimana akan membuat kita lebih bijak dalam memahami sesuatu dan tidak menafikan keragaman dalam kebenaran yang dilandasi ketidaktahuan atau memahami sesuatu secara parsial. Seperti menafikan kebenaran yang bersifat logis-supra-rasional karena selalu berpijak pada pembuktian yang bersifat sains (logis/rasional disertai bukti empiris), begitupun sebaliknya.
Daftar Pustaka
·
Ahmad Tafsir, Prof. Dr., Filsafat Ilmu, Bandung : Rosda, 2004.
·
Peter B.
Sarbini, Makalah Teori Kebenaran,
program magister studi islam:UII Yogyakarta. 1998.
·
Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, Liberty : Yogyakarta, 2003.
[1] The Newe Encyclopedia Britannica, volume X, 15th
edition, 11974, p. 153; Peter L. Angels, op.cit., p. 297 dan Bernard Wuellner,
Dictionary of Scholastic Philosophy, Jhon Carrol University, Cleverland, 1956,
p. 125; Baca juga J.L. Agustin, “Truth”, Philosophical Papers, Oxford, 1961.
[2] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu, Liberty : Yogyakarta,
2003, hlm.135-138.
[3]
Ibid., hlm136-138.
[4] Peter
B. Sarbini, Makalah Teori Kebenaran,
program magister studi islam:UII Yogyakarta. 1998, hlm. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar