Senin, 03 November 2014

KEISTIMEWAAN DIY: HOW FAR CAN YOU GO?

KEISTIMEWAAN DIY: HOW FAR CAN YOU GO?
Prof. Ratno Lukito, PhD.
(Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Setelah polemik panas terlanjur bergulir di tengah-tengah masyarakat terkait ucapan Presiden SBY yang mempermasalahkan monarkhi vs demokrasi dalam pengantarnya terhadap pembicaraan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK-DIY), Kamis (2 Desember) pemerintah akhirnya secara berani memutuskan dalam draf RUUK tersebut bahwa Gubernur DIY harus dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan bukan penetapan DPRD. Dengan demikian benar adanya dugaan banyak pihak, bahwa ucapan Presiden sebelumnya merupakan penolakan pemerintah (meskipun secara implisit) terhadap public interest masyarakat DIY untuk melanjutkan tradisi sistem penetapan dalam pemilihan gubernur di DIY. Yang jadi soal, kenapa tradisi penetapan ini baru muncul sekarang setelah sekian lama berjalan dan sudah dianggap sebagai kearifan lokal yang berlaku di Yogyakarta?

Historical Impasse
Sejak sebelum proses state creation di Indonesia dimulai, pemerintahan di Yogyakarta sejatinya sudah eksis. Saat itu mewujud dalam bentuk Kasultanan, termasuk di dalamnya juga terdapat Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri seperti ini di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Ini yang kemudian pada masa kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Sedangkan kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, yang adalah saudara Sultan Hamengku Buwono II , bergelar Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam bentuk kontrak politik, yaitu kontrak politik Kasultanan, tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47, dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577.

Setelah Indonesia merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan diri bergabung dengan Republik yang baru terbentuk, melalui Dekrit Kerajaan 5 September 1945. Karenanya Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia,  dan menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta (Piagam Penetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 6 September 1945).  Dalam hal ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Landasan hukum yang dipakai saat itu adalah:
1.      Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2.      Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII, tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3.      Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Sejalan dengan nuansa keistimewaan itu, pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) menyatakan bahwa "Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa". Lima tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan UU No. 3 jo. No. 19 Tahun 1950 yang bermaksud menjelaskan propinsi keistimewaan DIY, yang secara umum didasarkan pada Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU ini, Yogyakarta ditentukan sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Tahun 1955, UU No. 9 dikeluarkan lagi oleh pemerintah untuk menguatkan produk UU No. 3 jo. No. 19 tersebut. Pada era reformasi, dengan dasar Pasal 18B (1) UUD 1945 amandemen, warga DIY menghendaki agar kedudukan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan pemerintahan daerah ini, sebagaimana tergambar di atas. Dan pada kenyataannya memang demikian, seusia dengan Republik ini, keistimewaan Yogyakarta selama ini berjalan dengan baik didasarkan pada akar historis, nilai-nilai kearifan lokal dan bangunan tata hukum modern, hingga munculnya polemik RUU baru yang sedang dibesut oleh pemerintahan SBY saat ini.
Problem Baru
Persoalan sekarang ini sebetulnya bertumpu pada keengganan pemerintahan untuk menerjemahkan secara cerdas keumuman pasal-pasal dalam UUD 1945 (amandemen) dengan praktek kebiasaan dalam pemerintahan di DIY yang didasarkan pada berbagai produk UU masa awal kemerdekaan sebagaimana di atas. Keseluruhan Ps 18 UUD 1945 yang baru jelas lebih rinci ketimbang sebelum amandemen, namun memang disana masih terdapat celah munculnya perbedaan tafsir dari pasal-pasalnya yang rinci tadi. Dalam hal yang berhubungan dengan polemik keistimewaan DIY ini, setidaknya ada 2 pasal yang secara sekilas tampak bertentangan. Ps. 18 (4): “Gubernur, Bupati, and Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.  Sementara Ps. 18B (1) menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Pasal inipun juga diperkuat dalam sub (2) nya: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Inilah yang kemudian menjadi polemik meluas: bagaimana dapat diakomodasikan jika hak-hak keistimewaan yang harus dijamin oleh pemerintah pusat tersebut berbenturan dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Ps. 18 (4), khususnya dalam hal yang berhubungan dengan pemilihan kepala daerah?  
Dalam hal RUUK-DIY, kontestasi membengkak pada persoalan sejauh mana sesungguhnya hak keistimewaan suatu daerah sebagaimana yang dijanjikan dijamin oleh UUD dapat diterima oleh penguasa eksekutif. Pertanyaan ini penting karena pada akhirnya pemerintahlah yang oleh UU diberi hak untuk menjadi drafter awal dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Secara umum disepakati bahwa substansi keistimewaan DIY mau tidak mau harus dilekatkan secara kumulatif pada empat bidang, yakni politik, pemerintahan, kebudayaan, dan pertanahan termasuk tata ruang. Dalam bidang politik dan pemerintahan, RUUK harus mampu menegaskan pengakuan secara legal posisi Kesultanan dan Pura Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa. Karena itu, DIY musti memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Perbedaan pokok tersebut terletak pada pengintegrasian Kesultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi, namun persoalannya apakah itu mengejawantah dalam bentuk pemisahan atau penyatuan antara wewenang dan struktur pengelola urusan politik dan pemerintahan sehari-hari dengan urusan politik strategis.
Kewenangan istimewa dalam bidang kebudayaan, pertanahan dan tata ruang diwujudkan melalui kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan dalam merumuskan Peraturan Daerah Istimewa tentang ketiga urusan itu. Sedangkan dalam bidang pertanahan, kewenangan istimewa meliputi kewenangan mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond. Kewenangan dalam bidang pertanahan juga diwujudkan melalui pengakuan secara khusus status hukum Kesultanan dan Pakualaman sebagai Badan Hukum Kebudayaan yang memiliki hak kepemilikan atas tanah dan aset lainnya.
Dengan demikian, persoalan tampak sebenarnya mengerucut pada pertanyaan klasik apakah Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus dipilih melalui penetapan atau pemilihan. Ini sebagai refleksi dari pertanyaan di atas: apakah harus dipisah antara kepala pemerintahan dengan Lembaga Kraton Yogyakarta. Pemisahan secara rigid berarti pengamalan secara rigid Ps. 18 (4) UUD 1945 karena hanya dengan pemisahan maka pemilihan gubernur tersebut dapat dilakukan secara demokratis. Akan tetapi, di sisi lain, penyatuan antara kedua entitas itu harus dilakukan karena jaminan yang sudah diberikan oleh Konstitusi (Ps. 18 atau 18B UUD Amandemen) itu sendiri yang sejak awal menghargai kekhususan yang mungkin timbul pada daerah-daerah tertentu di Republik ini. Tampaknya sejak awal pemerintahan SBY membesut RUUK-DIY ini (yang sudah dimulai sejak term pertama masa kepresidenannya), yang lebih diinginkan adalah opsi pemisahan. Alasan utamanya adalah ketidakmungkinan pemilihan gubernur itu dilakukan secara demokratis di DIY jika lembaga pemerintahan disatukan dengan lembaga Kasultanan dan Pakualaman. Atau dengan kata lain, tidaklah mampu sistem pemilihan gubernur melalui penetapan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang diamanatkan oleh UUD.     
Karena itu, bagi pemerintah konsep terbaik adalah konsep yang dapat semaksimalnya memenuhi Ps. 18 (4) UUD 1945 meskipun untuk itu amanat Ps. 18B harus sedikit dikorbankan. Akan tetapi, lebih dari itu, RUUK-DIY yang pada akhirnya disetujui untuk diajukan oleh pemerintah adalah konsep yang sejalan dengan pemikiran pemisahan ini walaupun sekarang sudah dipoles dengan konsep Parardya untuk mempertimbangkan amanat keistimewaan itu sendiri. Jadi, konsepnya adalah dalam bentuk pengintegrasian Kesultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi DIY yang dilakukan melalui pemberian wewenang, berikut implikasi-implikasi yang melekat di dalamnya kepada Sultan dan Pakualam sebagai satu kesatuan politik yang diposisikan sebagai Parardhya Keistimewaan.
Draf RUUK pasal 11 menjelaskan: “Parardhya Keistimewaan Yogyakarta adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY.”
Sedangkan pasal 21 ayat 3:Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.
Pasal 22 ayat 2:
Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur.
Pasal 23 poin c:
Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan sebagaimana dimaksud pasal 5 (2).
Atau dengan kata lain, Sultan dan Paku Alam ditempatkan dalam dalam satu lembaga khusus Parardhya yang mempunyai wewenang-wewenang (privileged) tertentu walaupun tidak menjadi kepala daerah yang mengurusi tata pemerintahan sehari-hari.

Proses Legal Drafting
Banyak kalangan menilai, sambutan Presiden SBY yang membenturkan antara monarki dengan demokrasi dalam keistimewaan Yogyakarta ini sebetulnya kurang elok. Hal itu bila dilihat dari kenyataan selama ini bahwa sistem penetapan yang berlaku dalam pemilihan gubernur DIY tidak bergerak diluar sistem hukum Indonesia. Konstitusi secara jelas mengakomodir sistem ini, apalagi bila dilihat dari akar historis dan nilai-nilai kultural yang tidak bisa dengan begitu saja dicabut. Kalaupun harus disebut sebagai monarki lantaran tidak melalui sistem pemilihan umum, maka praktek ini tidak bisa dinilai secara jeneral dengan mengesampingkan nilai-nilai kekhususan adat istiadat yang diback up oleh akar historis yang panjang. Monarki berasal dari kata mono dan arch yang berarti satu tangan, terma ini untuk menyebut sistem pemerintahan yang berpusat secara absolut di satu tangan penguasa (baik orang maupun institusi). Pemerintahan Yogyakarta tidaklah dapat disebut sebagai pemerintahan monarki, lantaran sistem penetapan dipakai untuk memilih Gubernurnya, karena jelas bahwa unsur-unsur lain dalam pemerintahan daerah tersebut mengadopsi secara penuh sistem yang berlaku dalam pemerintahan republik di negeri ini. Apalagi bila dilihat dari kenyataan bahwa sistem penetapan itu sendiri muncul karena akibat historis bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Pertentangan monarki dari demokrasi seharusnya dilihat dari sifat absolutisme yang dikandung oleh sistem monarki itu. Dengan kata lain, bukan monarkinya yang bertentangan dengan demokrasi melainkan absolutismenya. Sebagai bandingan, misalnya, proses pergantian dari monarki absolut menuju kepada monarki konstitusional di Inggris dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat. Pergantian sistem pemerintahan tersebut didahului dengan kontrak sosial antara raja dengan rakyat, jadi jelas demokratis sifatnya. Di Inggris, sistem monarki konstitusional tersebut mewujud dalam sistem perwakilan ganda yaitu House of Lord untuk para kaum bangsawan dan House of Common untuk wakil rakyat kebanyakan. Dus, jika sifat absolutismenya yang menjadi pokok pertimbangan, maka sistem demokrasi yang kita pakai pun juga bisa terperangkap dalam kubangan masalah, utamanya jika tirani mayoritas lebih dijadikan sebagai patokan dalam pengambilan keputusan ketimbang musyawarah untuk mufakat. Jadi, demokrasipun juga bisa bersifat monarkis. Terlebih jika sistem demokrasi yang dijalankan pemerintah sudah terjangkiti oleh sifat democratic authoritarianism, dimana untuk menjalankan sistem demokrasi penguasa eksekutif menggunakan cara otoriter sehingga mau tidak mau tercipta sistem presidential monarch (Baca, Ikrar Nusa Bhakti, Seputar Indonesia, 30 November 2010). Ini pernah terjadi ketika penguasa Orde Baru dengan kekuatan politiknya mampu membungkam parlemen sehingga Presiden kala itu menjalankan kekuasaan pemerintahan secara sendirian.
Inilah yang kita khawatirkan, legal drafting RUUK-DIY tersebut dijalankan oleh pemerintah dengan tanpa sadar melalui proses democratic authoritarianism, karena lembaga-lembaga law-making di negeri ini cenderung abai terhadap nilai-nilai sosiologis masyarakat. Proses drafting hukum dan peraturan tidak secara maksimal melibatkan dan mempertimbangkan rasa dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga produk hukumnya pun dinilai jauh dari rasa keadilan masyarakat yang akan menjadi obyek dari keberlakuan hukum tersebut. Dalam kasus RUUK ini banyak pihak mencium bau tidak sedap tersebut, karena kecurigaan mereka akan sikap pemerintah (yang didominasi oleh kekuatan partai Demokrat) yang ngotot sejak awal dibahasnya RUUK di Baleg DPR pada periode pertama pemerintahan SBY untuk mengedrop konsep penetapan Gubernur DIY.  Sejak awal kasus ini bergulir pun masyarakat Yogyakarta memang merasa tidak maksimal dilibatkan dalam prosesnya. Karena itu, berbagai komponen masyarakat Yogyakarta merasa kaget dan tidak puas dengan sikap pemerintah yang bersikeras dengan konsep pemilihan gubernur dalam RUUK-DIY yang beberapa waktu lalu digulirkan.
Secara teoritis, suatu peraturan perundangan yang baik harus memenuhi paling tidak 3 landasan: filosofis (filosofische grondslag), sosiologis (sociologische grondslag), dan yuridis (juridische grondslag). UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 5 dan 6 secara terperinci mengatur asas-asas pembentukan peraturan perundangan ini yang merupakan refleksi dari ketiga landasan teoritis di atas. Muara dari teori ini adalah bahwa peraturan perundangan yang diciptakan tidak akan mencapai legal efficacy yang kuat jika tidak benar-benar merefleksikan keinginan dan kebutuhan hukum masyarakat itu sendiri. Hal itu karena hukum pada dasarnya sekedar perangkat yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Oleh karenanya, penciptaan hukum yang dilakukan tanpa keterlibatan yang intens dari masyarakat hanya akan menciptakan black letter law atau macan kertas yang mengaum keras tapi tidak ada yang peduli.
Sebetulnya tidak ada masalah dalam kebiasaan hukum pemerintahan DIY selama ini. Dalam teori legal pluralism, format pemerintahan daerah istimewa itu merupakan refleksi murni dari apa yang disebut sebagai semi-autonomous social field, dimana pada satu satuan masyarakat tertentu berlaku secara efektif aturan-aturan lokal yang berasal dari nilai-nilai spesifik lokal namun juga dalam waktu yang sama beberapa aturan dari luar berlaku secara efektif juga. Konsep ini sudah berlaku di berbagai belahan dunia, diyakini sebagai metode yang tepat untuk menghadapi pluralitas nilai-nilai normatif yang berlangsung dalam masyarakat. Sebagai misal, kekhususan propinsi Quebec di Canada yang dilahirkan dari spesifikasi kultural masyarakatnya sebagai akibat dari dominasi kultur Perancis, yang berbeda dengan propinsi-propinsi lain yang lebih dominan kultur Inggrisnya. Dalam hal sistem hukumnya pun Quebec lebih menggunakan sistem campuran antara tradisi common law dan civil law, sebagai akibat dari pengaruh tradisi civil law Perancis sejak masa penjajahan dulu dan pengaruh common law Inggris pada era kekinian.
Dalam kajian teori hukum, baik dari tradisi hukum agama maupun sekuler, peran masyarakat yang besar dalam proses penciptaan hukum itu sejatinya sudah jamak dimengerti. Bahkan dalam tradisi hukum Islam pun, yang di dalamnya kental dengan nuansa teologis, peran masyarakat itu diakui untuk bisa tercapai hukum yang baik. Terutama di kalangan Sunni, peran itu diakui besar sehingga tercipta kaedah sumber hukum al-‘adah muhakkamah yang mewadahi secara metodologis kepentingan melibatkan nilai-nilai dan kebiasaan hukum yang hidup dalam masyarakat untuk menjadi dasar penciptaan hukum.
Karena itu, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta menghadapi polemik RUUK ini tidak lain adalah untuk terus menuntut kepada lembaga-lembaga pencipta hukum di negeri ini mau melibatkan secara intens dan aktif public interest dari masyarakat Yogya itu sendiri. Public hearing dan dialogue harus selalu dilakukan untuk mengawal proses legal drafting RUUK-DIY ke depannya, setelah pemerintah secara resmi menyerahkan draf itu ke Baleg DPR.   
           


         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar