KEISTIMEWAAN DIY: HOW FAR CAN YOU GO?
Prof. Ratno Lukito, PhD.
(Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta)
Setelah polemik panas terlanjur bergulir di
tengah-tengah masyarakat terkait ucapan Presiden SBY yang mempermasalahkan
monarkhi vs demokrasi dalam
pengantarnya terhadap pembicaraan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (RUUK-DIY), Kamis (2 Desember) pemerintah akhirnya secara
berani memutuskan dalam draf RUUK tersebut bahwa Gubernur DIY harus dipilih
melalui mekanisme pemilihan umum dan bukan penetapan DPRD. Dengan demikian
benar adanya dugaan banyak pihak, bahwa ucapan Presiden sebelumnya merupakan
penolakan pemerintah (meskipun secara implisit) terhadap public interest masyarakat DIY untuk melanjutkan tradisi sistem
penetapan dalam pemilihan gubernur di DIY. Yang jadi soal, kenapa tradisi
penetapan ini baru muncul sekarang setelah sekian lama berjalan dan sudah
dianggap sebagai kearifan lokal yang berlaku di Yogyakarta?
Historical Impasse
Sejak sebelum proses state creation di Indonesia dimulai, pemerintahan di Yogyakarta sejatinya sudah eksis. Saat itu mewujud dalam bentuk Kasultanan, termasuk di dalamnya juga terdapat
Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya
sendiri seperti ini di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Ini yang kemudian pada masa kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755
didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku
Buwono I. Sedangkan kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh
Pangeran Notokusumo, yang adalah saudara Sultan Hamengku Buwono II , bergelar
Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan
maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam bentuk kontrak
politik, yaitu kontrak politik Kasultanan,
tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47, dan
kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad
1941 No.
577.
Setelah Indonesia merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan diri bergabung dengan Republik yang baru terbentuk, melalui Dekrit Kerajaan 5 September 1945. Karenanya Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, dan menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta (Piagam Penetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 6 September 1945). Dalam hal ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Landasan hukum yang dipakai saat itu adalah:
Setelah Indonesia merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan diri bergabung dengan Republik yang baru terbentuk, melalui Dekrit Kerajaan 5 September 1945. Karenanya Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, dan menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta (Piagam Penetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 6 September 1945). Dalam hal ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Landasan hukum yang dipakai saat itu adalah:
1. Piagam
kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII,
tertanggal 19 Agustus 1945
dari Presiden RI.
2. Amanat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII,
tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII,
tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Sejalan dengan nuansa keistimewaan itu, pasal 18 Undang-Undang
Dasar
1945 (sebelum amandemen) menyatakan bahwa "Pembagian
Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat Istimewa". Lima tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan UU No. 3 jo. No. 19
Tahun 1950 yang bermaksud menjelaskan propinsi keistimewaan DIY, yang secara
umum didasarkan pada Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU ini, Yogyakarta ditentukan
sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, dengan sebutan Daerah Istimewa
Yogyakarta yang meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman. Tahun 1955, UU No. 9 dikeluarkan lagi oleh pemerintah untuk
menguatkan produk UU No. 3 jo. No. 19 tersebut. Pada era reformasi, dengan
dasar Pasal 18B (1) UUD 1945 amandemen, warga DIY menghendaki agar kedudukan Yogyakarta
sebagai Daerah Istimewa tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan
perkembangan pemerintahan daerah ini, sebagaimana tergambar di atas. Dan pada
kenyataannya memang demikian, seusia dengan Republik ini, keistimewaan
Yogyakarta selama ini berjalan dengan baik didasarkan pada akar historis,
nilai-nilai kearifan lokal dan bangunan tata hukum modern, hingga munculnya
polemik RUU baru yang sedang dibesut oleh pemerintahan SBY saat ini.
Problem Baru
Persoalan sekarang ini sebetulnya bertumpu
pada keengganan pemerintahan untuk menerjemahkan secara cerdas keumuman
pasal-pasal dalam UUD 1945 (amandemen) dengan praktek kebiasaan dalam
pemerintahan di DIY yang didasarkan pada berbagai produk UU masa awal
kemerdekaan sebagaimana di atas. Keseluruhan Ps 18 UUD 1945 yang baru jelas
lebih rinci ketimbang sebelum amandemen, namun memang disana masih terdapat
celah munculnya perbedaan tafsir dari pasal-pasalnya yang rinci tadi. Dalam hal
yang berhubungan dengan polemik keistimewaan DIY ini, setidaknya ada 2 pasal
yang secara sekilas tampak bertentangan. Ps. 18 (4): “Gubernur, Bupati, and Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis. Sementara Ps. 18B (1) menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.” Pasal inipun juga diperkuat
dalam sub (2) nya: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.” Inilah yang kemudian menjadi polemik meluas:
bagaimana dapat diakomodasikan jika hak-hak keistimewaan yang harus dijamin
oleh pemerintah pusat tersebut berbenturan dengan prinsip-prinsip demokrasi
sebagaimana yang diamanatkan oleh Ps. 18 (4), khususnya dalam hal yang
berhubungan dengan pemilihan kepala daerah?
Dalam hal RUUK-DIY, kontestasi membengkak pada
persoalan sejauh mana sesungguhnya hak keistimewaan suatu daerah sebagaimana
yang dijanjikan dijamin oleh UUD dapat diterima oleh penguasa eksekutif.
Pertanyaan ini penting karena pada akhirnya pemerintahlah yang oleh UU diberi
hak untuk menjadi drafter awal dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Secara
umum disepakati bahwa substansi keistimewaan DIY mau tidak mau harus dilekatkan
secara kumulatif pada empat bidang, yakni politik, pemerintahan, kebudayaan,
dan pertanahan termasuk tata ruang. Dalam bidang politik dan pemerintahan, RUUK
harus mampu menegaskan pengakuan secara legal posisi Kesultanan dan Pura
Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa. Karena itu, DIY musti memiliki bentuk
dan susunan pemerintahan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Perbedaan pokok tersebut terletak pada pengintegrasian Kesultanan dan
Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi, namun persoalannya apakah
itu mengejawantah dalam bentuk pemisahan atau penyatuan antara wewenang dan
struktur pengelola urusan politik dan pemerintahan sehari-hari dengan urusan
politik strategis.
Kewenangan istimewa dalam bidang kebudayaan,
pertanahan dan tata ruang diwujudkan melalui kewenangan penuh dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan dan dalam merumuskan Peraturan Daerah Istimewa tentang
ketiga urusan itu. Sedangkan dalam bidang pertanahan, kewenangan istimewa
meliputi kewenangan mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan
pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond. Kewenangan dalam
bidang pertanahan juga diwujudkan melalui pengakuan secara khusus status hukum
Kesultanan dan Pakualaman sebagai Badan Hukum Kebudayaan yang memiliki hak kepemilikan
atas tanah dan aset lainnya.
Dengan demikian, persoalan tampak sebenarnya
mengerucut pada pertanyaan klasik apakah Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus
dipilih melalui penetapan atau pemilihan. Ini sebagai refleksi dari pertanyaan
di atas: apakah harus dipisah antara kepala pemerintahan dengan Lembaga Kraton
Yogyakarta. Pemisahan secara rigid berarti pengamalan secara rigid Ps. 18 (4)
UUD 1945 karena hanya dengan pemisahan maka pemilihan gubernur tersebut dapat
dilakukan secara demokratis. Akan tetapi, di sisi lain, penyatuan antara kedua
entitas itu harus dilakukan karena jaminan yang sudah diberikan oleh Konstitusi
(Ps. 18 atau 18B UUD Amandemen) itu sendiri yang sejak awal menghargai
kekhususan yang mungkin timbul pada daerah-daerah tertentu di Republik ini. Tampaknya
sejak awal pemerintahan SBY membesut RUUK-DIY ini (yang sudah dimulai sejak
term pertama masa kepresidenannya), yang lebih diinginkan adalah opsi
pemisahan. Alasan utamanya adalah ketidakmungkinan pemilihan gubernur itu
dilakukan secara demokratis di DIY jika lembaga pemerintahan disatukan dengan
lembaga Kasultanan dan Pakualaman. Atau dengan kata lain, tidaklah mampu sistem
pemilihan gubernur melalui penetapan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang
diamanatkan oleh UUD.
Karena itu, bagi pemerintah konsep terbaik adalah
konsep yang dapat semaksimalnya memenuhi Ps. 18 (4) UUD 1945 meskipun untuk itu
amanat Ps. 18B harus sedikit dikorbankan. Akan tetapi, lebih dari itu, RUUK-DIY
yang pada akhirnya disetujui untuk diajukan oleh pemerintah adalah konsep yang
sejalan dengan pemikiran pemisahan ini walaupun sekarang sudah dipoles dengan
konsep Parardya untuk mempertimbangkan amanat keistimewaan itu sendiri. Jadi, konsepnya
adalah dalam bentuk pengintegrasian Kesultanan dan Pakualaman ke dalam struktur
pemerintahan Provinsi DIY yang dilakukan melalui pemberian wewenang, berikut
implikasi-implikasi yang melekat di dalamnya kepada Sultan dan Pakualam sebagai
satu kesatuan politik yang diposisikan sebagai Parardhya Keistimewaan.
Draf RUUK pasal 11 menjelaskan: “Parardhya
Keistimewaan Yogyakarta adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai
simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat
DIY.”
Sedangkan pasal 21 ayat 3: “Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.”
Pasal 22 ayat 2: “Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur.
Pasal 23 poin c: “Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan sebagaimana dimaksud pasal 5 (2).”
Sedangkan pasal 21 ayat 3: “Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.”
Pasal 22 ayat 2: “Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur.
Pasal 23 poin c: “Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan sebagaimana dimaksud pasal 5 (2).”
Atau dengan kata lain, Sultan dan Paku Alam
ditempatkan dalam dalam satu lembaga khusus Parardhya yang mempunyai
wewenang-wewenang (privileged) tertentu walaupun tidak menjadi kepala
daerah yang mengurusi tata pemerintahan sehari-hari.
Proses
Legal Drafting
Banyak kalangan menilai, sambutan Presiden SBY yang
membenturkan antara monarki dengan demokrasi dalam keistimewaan Yogyakarta ini
sebetulnya kurang elok. Hal itu bila dilihat dari kenyataan selama ini bahwa
sistem penetapan yang berlaku dalam pemilihan gubernur DIY tidak bergerak
diluar sistem hukum Indonesia. Konstitusi secara jelas mengakomodir sistem ini,
apalagi bila dilihat dari akar historis dan nilai-nilai kultural yang tidak
bisa dengan begitu saja dicabut. Kalaupun harus disebut sebagai monarki lantaran
tidak melalui sistem pemilihan umum, maka praktek ini tidak bisa dinilai secara
jeneral dengan mengesampingkan nilai-nilai kekhususan adat istiadat yang diback
up oleh akar historis yang panjang. Monarki berasal dari kata mono dan arch yang
berarti satu tangan, terma ini untuk menyebut sistem pemerintahan yang berpusat
secara absolut di satu tangan penguasa (baik orang maupun institusi).
Pemerintahan Yogyakarta tidaklah dapat disebut sebagai pemerintahan monarki,
lantaran sistem penetapan dipakai untuk memilih Gubernurnya, karena jelas bahwa
unsur-unsur lain dalam pemerintahan daerah tersebut mengadopsi secara penuh
sistem yang berlaku dalam pemerintahan republik di negeri ini. Apalagi bila
dilihat dari kenyataan bahwa sistem penetapan itu sendiri muncul karena akibat
historis bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Pertentangan monarki dari demokrasi seharusnya
dilihat dari sifat absolutisme yang dikandung oleh sistem monarki itu. Dengan
kata lain, bukan monarkinya yang bertentangan dengan demokrasi melainkan
absolutismenya. Sebagai bandingan, misalnya, proses pergantian dari monarki
absolut menuju kepada monarki konstitusional di Inggris dan beberapa negara
lainnya di Eropa Barat. Pergantian sistem pemerintahan tersebut didahului
dengan kontrak sosial antara raja dengan rakyat, jadi jelas demokratis
sifatnya. Di Inggris, sistem monarki konstitusional tersebut mewujud dalam
sistem perwakilan ganda yaitu House of
Lord untuk para kaum bangsawan dan House
of Common untuk wakil rakyat kebanyakan. Dus, jika sifat absolutismenya
yang menjadi pokok pertimbangan, maka sistem demokrasi yang kita pakai pun juga
bisa terperangkap dalam kubangan masalah, utamanya jika tirani mayoritas lebih
dijadikan sebagai patokan dalam pengambilan keputusan ketimbang musyawarah untuk
mufakat. Jadi, demokrasipun juga bisa bersifat monarkis. Terlebih jika sistem
demokrasi yang dijalankan pemerintah sudah terjangkiti oleh sifat democratic authoritarianism, dimana
untuk menjalankan sistem demokrasi penguasa eksekutif menggunakan cara otoriter
sehingga mau tidak mau tercipta sistem presidential
monarch (Baca, Ikrar Nusa Bhakti, Seputar
Indonesia, 30 November 2010). Ini pernah terjadi ketika penguasa Orde Baru
dengan kekuatan politiknya mampu membungkam parlemen sehingga Presiden kala itu
menjalankan kekuasaan pemerintahan secara sendirian.
Inilah yang kita khawatirkan, legal drafting
RUUK-DIY tersebut dijalankan oleh pemerintah dengan tanpa sadar melalui proses democratic authoritarianism, karena
lembaga-lembaga law-making di negeri
ini cenderung abai terhadap nilai-nilai sosiologis masyarakat. Proses drafting
hukum dan peraturan tidak secara maksimal melibatkan dan mempertimbangkan rasa
dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga produk hukumnya pun dinilai jauh dari
rasa keadilan masyarakat yang akan menjadi obyek dari keberlakuan hukum
tersebut. Dalam kasus RUUK ini banyak pihak mencium bau tidak sedap tersebut,
karena kecurigaan mereka akan sikap pemerintah (yang didominasi oleh kekuatan
partai Demokrat) yang ngotot sejak awal dibahasnya RUUK di Baleg DPR pada
periode pertama pemerintahan SBY untuk mengedrop konsep penetapan Gubernur
DIY. Sejak awal kasus ini bergulir pun masyarakat
Yogyakarta memang merasa tidak maksimal dilibatkan dalam prosesnya. Karena itu,
berbagai komponen masyarakat Yogyakarta merasa kaget dan tidak puas dengan
sikap pemerintah yang bersikeras dengan konsep pemilihan gubernur dalam
RUUK-DIY yang beberapa waktu lalu digulirkan.
Secara teoritis, suatu peraturan perundangan
yang baik harus memenuhi paling tidak 3 landasan: filosofis (filosofische grondslag), sosiologis (sociologische grondslag), dan yuridis (juridische grondslag). UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan pasal 5 dan 6 secara terperinci mengatur asas-asas
pembentukan peraturan perundangan ini yang merupakan refleksi dari ketiga landasan
teoritis di atas. Muara dari teori ini adalah bahwa peraturan perundangan yang
diciptakan tidak akan mencapai legal
efficacy yang kuat jika tidak benar-benar merefleksikan keinginan dan
kebutuhan hukum masyarakat itu sendiri. Hal itu karena hukum pada dasarnya
sekedar perangkat yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Oleh karenanya, penciptaan hukum yang dilakukan tanpa keterlibatan yang intens
dari masyarakat hanya akan menciptakan black
letter law atau macan kertas yang mengaum keras tapi tidak ada yang peduli.
Sebetulnya tidak ada masalah dalam kebiasaan
hukum pemerintahan DIY selama ini. Dalam teori legal pluralism, format pemerintahan daerah istimewa itu merupakan
refleksi murni dari apa yang disebut sebagai semi-autonomous social field, dimana pada satu satuan masyarakat
tertentu berlaku secara efektif aturan-aturan lokal yang berasal dari
nilai-nilai spesifik lokal namun juga dalam waktu yang sama beberapa aturan
dari luar berlaku secara efektif juga. Konsep ini sudah berlaku di berbagai
belahan dunia, diyakini sebagai metode yang tepat untuk menghadapi pluralitas
nilai-nilai normatif yang berlangsung dalam masyarakat. Sebagai misal,
kekhususan propinsi Quebec di Canada yang dilahirkan dari spesifikasi kultural
masyarakatnya sebagai akibat dari dominasi kultur Perancis, yang berbeda dengan
propinsi-propinsi lain yang lebih dominan kultur Inggrisnya. Dalam hal sistem
hukumnya pun Quebec lebih menggunakan sistem campuran antara tradisi common law dan civil law, sebagai akibat dari pengaruh tradisi civil law Perancis sejak masa penjajahan
dulu dan pengaruh common law Inggris
pada era kekinian.
Dalam kajian teori hukum, baik dari tradisi
hukum agama maupun sekuler, peran masyarakat yang besar dalam proses penciptaan
hukum itu sejatinya sudah jamak dimengerti. Bahkan dalam tradisi hukum Islam
pun, yang di dalamnya kental dengan nuansa teologis, peran masyarakat itu
diakui untuk bisa tercapai hukum yang baik. Terutama di kalangan Sunni, peran
itu diakui besar sehingga tercipta kaedah sumber hukum al-‘adah muhakkamah yang mewadahi secara metodologis kepentingan
melibatkan nilai-nilai dan kebiasaan hukum yang hidup dalam masyarakat untuk
menjadi dasar penciptaan hukum.
Karena itu, apa yang bisa dilakukan oleh
masyarakat Yogyakarta menghadapi polemik RUUK ini tidak lain adalah untuk terus
menuntut kepada lembaga-lembaga pencipta hukum di negeri ini mau melibatkan
secara intens dan aktif public interest
dari masyarakat Yogya itu sendiri. Public hearing dan dialogue harus selalu
dilakukan untuk mengawal proses legal drafting RUUK-DIY ke depannya, setelah
pemerintah secara resmi menyerahkan draf itu ke Baleg DPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar