PERAN DPRD DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH
(Kajian dari Sudut Pandang HTN)
Oleh : Dahlan Thaib
I
Gema reformasi yang dicanangkan sejak sejak
awal digulirkan telah membuka kesadaran rakyat Indonesia akan hak-hak
politiknya yang sebelumnya tidak tersentuh dan tidak dapat dinikmati kendatipun
hak-hak tersebut dijamin secara konstitusional.
Perbincangan atau
diskursus tentang perlunya praktek demokrasi dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia, yakni dengan mempartisipasikan rakyat dalam proses penyelenggaraan
negara baik ditingkat pusat maupun daerah berlangsung dengan marak sehingga
dewasa ini, baik itu dilakukan oleh kalangan politisi, LSM, praktisi maupun
masyarakat kampus.
Dari sudut pandang hukum
tata negara fenomena seperti ini sudah barang tentu sangat menggembirakan,
mengingat prinsip ajaran yang memungkinkan dibukanya ruang perdebatan untuk
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan atau konsensus dalam menata negara
Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.
Dalam konteks otonomi
daerah, keterlibatan rakyat melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD)
adalah sangat penting, karena pada dasarnya bentuk kebijakan otonomi daerah
harus tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Tulisan ini difokuskan
pada pelaksanaan peran DPRD dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya
sebagaimana diisyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
II
Sebagaimana
telah disinggung diatas reformasi telah membuka kesadaran rakyat Indonesia akan
hak-hak politiknya yang sebelumnya secara langsung tidak dinikmatinya. Kondisi
tersebut telah menyebabkan ketidak berdayaan rakyat yang memunculkan ketidakadilan
dalam rentang waktu yang cukup lama perlakuan pemerintah.
Rezim Orde Baru dengan menggunakan paradigma kekuasaan
yang sangat sentralistik telah menciptakan ketidak seimbangan perekonomian
pusat dan daerah dengan berbagai kesenjangan. Sumber-sumber ekonomi didaerah
banyak dikuasai oleh pemerintah pusat sehingga rakyat di daerah hanya menjadi
penonton dalam proses pembangunan nasional yang timpang yang tidak pernah
menyentuh kepentingan rakyat secara substansial.
Pemerintah Orde Baru sebagaimana diketahui dengan
menggunakan paradigma kekuasaan yang sentralistik berpendapat bahwa
sentralisasi redistribusi kekayaan nasional akan menjamin pemerataan dan
keadilan sosial. Otonomi daerah seluas-luasnya dalam bidang politik, ekonomi
dan budaya dipandang sebagai sumber disintegrasi nasional.
Paradigma kekuasaan seperti ini memang pada suatu waktu
telah pernah menghasilkan sejumlah kesuksesan ekonomi, tetapi juga secara
faktual telah menimbulkan korban sosial dan politik dan krisis multi dimensional
yang berkepanjangan sebelum dan sesudah Soeharto lengser dari singgasana
kekuasaan . Salah satu krisis yang muncul adalah hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Diantaranya tuntutan daerah yang semakin deras untuk
“memerdekakan diri” dari belenggu dominasi pemerintah pusat yang sangat
sentralistik. Terhadap tuntutan masyarakat daerah para elit politik di Jakarta
atau pemerintah pusat telah menanggapinya dengan menawarkan otonomi
seluas-luasnya kepada daerah lewat UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah di
daerah.
Timbul pertanyaan, keterlibatan apakah yang seharusnya
dilakukan rakyat dalam hal ini DPRD dalam proses kebijakan otonomi daerah ?
Hemat penulis salah satu peran DPRD dalam hal ini adalah meningkatkan
keterlibatan penuhnya secara intensif memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat daerah. Keterlibatan lembaga legislatif daerah penting dalam rangka
menyerap aspirasi dan tuntutan yang berkembang di masyarakat.
Aspirasi dan tuntutan masyarakat daerah selanjutnya
dibahas dalam rangka kebijakan daerah sebagai langkah-langkah politik dari
berbagai kekuatan politik yang ada di DPRD.
Demikian pula dalam hal pengawasan terhadap lembaga
eksekutif yang menjadi pelaksanaan otonomi daerah.
III
Lepas dari segala
kelemahan yang melekat pada UU No.22 Tahun 1999, maka produk hukum di bidang
politik tersebut jauh lebih demokratis bila dibandingkan dengan UU No.5 Tahun
1974. Cukup banyak perubahan atau hal baru yang diatur dalam UU No.22 Tahun
1999 sebagai jawaban atas tuntutan reformasi. Politik sentralisasi UUNo.5 Tahun 1974 beralih pada
politik desentralisasi menuju pelaksanaan otonomi teritorial seluas-luasnya. UU
No.22 Tahun 1999 menggariskan secara tegas pelaksanaan fungsi-fungsi dari
Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD tidak lagi dijadikan
bagian dari pemerintah daerah melainkan menjadi lembaga legislatif daerah yang
sejajar dengan pemerintah daerah, bahkan DPRD dapat secara mutlak menentukan
Kepala Daerah, meminta pertanggungjawaban kepadanya, bahkan memberhentikannya
jika DPRD merasa mempunyai cukup alasan untuk itu. 1)
UU No.22 Tahun 1999 tidak menganut otonomi bertingkat
seperti dulu, sehingga pada saat ini berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 tersebut
Gubernur bukanlah atasan Bupati. Sekarang tidak ada lagi Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II, yang ada adalah Propinsi dan Kabupaten atau kota yang
mempunyai otonominya sendiri-sendiri.2)
Dengan UU No.22 Tahun 1999
seperti telah dikemukakan di atas, maka peran DPRD menjadi semakin penting,
karena DPRD telah diberi kekuatan politik yang besar untuk menetapkan atau
menentukan secara penuh tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Dalam UU No.22 Tahun 1999
dengan tegas dinyatakan bahwa baik Gubernur, Bupati maupun Walikota dalam
menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada
DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota.3) Hal yang menarik dalam membahas materi
tentang Kepala Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah mengenai pemberhentian
Kepala Daerah.
Ada tiga cara seorang
Kepala Daerah “diberhentikan” dari jabatan. Pertama: Kepala Daerah
diberhentikan oleh Presiden atas usul DPRD. Usul pemberhentian ini dapat
terjadi apabila pertanggungjawaban Kepala Daerah yang telah ditolak kemudian
ditolak kembali oleh DPRD.4) Pertanggung-jawaban wajib diberikan Kepala
Daerah kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu atas
permintaan DPRD.5) Hal ini dapat berarti bahwa setiap saat
Kepala Daerah dapat diusulkan untuk diberhentikan atau paling lama satu tahun
yaitu akibat laporan pada setiap akhir tahun anggaran.
Kemungkinan semacam ini dapat diperbesar oleh
sistem banyak partai di DPRD dengan variasi kepentinganatau interest politik
yang berbeda antara Kepala Daerah di satu pihak dan Kekuatan politik tertentu
di DPRD dipihak lain.
Sebagaimana dikemukakan
atas, Presiden memberhentikan Kepala Daerah atas usul DPRD. Pertanyaannya:
“Apakah Presiden harus memberhentikan atau dapat menolak usul pemberhentian
tersebut ? Dari kacamata pandang Hukum Tata Negara, maka presiden tidak
dibenarkan menolak usul pemberhentian tersebut, karena hal ini berkaitan dengan
dengan prinsip kedaulatan rakyat, yakni menjamin perwujudan kedaulatan rakyat
di daerah. Barulah Presiden dapat menolak usul pemberhentian tersebut apabila
dapat dibuktikan ada kesewenang-wenangan dalam keputusan DPRD atau mengenai
hal-hal yang tidak dapat menjadi dasar usul pemberhentian menurut atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua: Kepala Daerah diberhentikan dengan ketetapan DPRD. Pasal 49
UU No.22 Tahun 1999 mengatur mengenai alasan-alasan Kepala Daerah
diberhentikan, antara lain disebutkan: “mengalami krisis kepercayaan politik
yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggungjawabnya dan keterangannya atas
kasus itu ditolak oleh DPRD”, Selanjutnya pasal 50 menyebutkan, pemberhentian berdasarkan alasan pasal 49 ditetapkan DPRD
dan disahkan Presiden. Berbeda dengan cara pertama DPRD hanya mengusulkan dan
Presiden yang menetapkan. Cara kedua, DPRD yang memutuskan, Presiden hanya
mengesahkan. Pemberhentian Kepala Daerah selanjutnya oleh pasal 50 digariskan
harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah
anggota yang hadir. Ketiga: Pasal 51 menyebutkan, Kepala Daerah diberhentikan
oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD, apabila terbuktimelakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan hukum lima tahun atau lebih, atau diancam
dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Selanjutnya pemberhentian Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui
Keputusan/persetujuan DPRD apabila terbukti Kepala Daerah melakukan makar dan
perbuatan yang dapat memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia.
III
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia keberadaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat tidak
dapat dilepaskan dari pemilihan umum, karena pemilihan umum merupakan
konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam praktek
ketatanegaraan. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah
setiap warga negara berhak untuk ikut aktif dalam proses politik. Pemilihan
umum sesuai amanat konstitusi merupakan proses politik ketatanegaraan menuju
pembentukan lembaga-lembaga perwakilan (MPR, DPR dan DPRD).
Pemilu yang
diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 tidak dapat dilepaskan dari agenda
reformasi antara lain menyangkut pembaharuan pemerintahan. Karenanya
sebagaimana dikemukakan di atas, penye-lenggaraan pemilu 1999 tidak hanya
memilih anggota DPR dan mengisi keanggotaan MPR, melainkan termasuk pula
pemilihan anggota DPRD dalam rangka pembaharuan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
Hal ini merupakan suatu
konsekuensi logis, karena reformasi tidak hanya diperlukan pada pusat
pemerintahan, tetapi juga melingkupi pembaharuan-pembaharuan di tingkat daerah.
Pembaharuan-pembaharuan ditingkat
daerah tidak kalah penting, karena segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme
tidak hanya terjadi dipusat pemerintah tetapi juga pada pemerintahan tingkat
daerah.
Pemerintahan Daerah hasil
pemilu 1999 akan menjadi batas pembeda antara masa pemerintah Orde Baru dan
pemerintah baru yang bertugas mewujudkan cita-cita reformasi. Karena itu pula
kendatipun UU No.22 Tahun 1999 akan dilaksanakan secara efektif paling lambat
dua tahun setelah diundangkan (Mei 2001), namun sepanjang dimungkinkan sudah
semestinya penyelenggaraan pemeritahan daerah, misalnya yang mengatur kedudukan
atau fungsi Kepala daerah dan peran DPRD akan dapat dilaksanakan menurut
semangat asas bahkan ketentuan UU No.22 Tahun 1999.
Dengan demikian roda
pemerintahan di daerah pasca pemilu 1999 haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diatur oleh UU No.22 Tahun 1999, artinya dengan Kepala Daerah yang dipilih
oleh DPRD hasil pemilu 1999, sudah dapat dilakukan berbagai kebijakan sesuai
dengan tuntutan reformasi.
Dari apa yang dikemukakan
di atas, maka pasca pemilu 1999 konstruksi pemerintah daerah adalah Kepala
Daerah dan DPRD sebagaimana dianut selama Orde Baru, akan berubah menjadi
Kepala Daerah yang dikontrol oleh DPRD dan Kepala Daerah yang bertanggungjawab
kepada DPRD. Dengan struktur pemerintah daerah yang demikian diharapkan DPRD
dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal dan dalam perspektif inilah
esensi kehidupan berdemokrasi di dalam pemerintah di daerah akan lebih bermakna.
Pada penghujung tulisan
ini ingin disampaikan, bahwa dengan pemberian otonomi yang luas kepada daerah
membawa konsekuensi perlunya kriteria kualitas yang handal baik bagi Gubernur,
Bupati/Walikota Madya dan anggota-anggota DPRD.
DAFTAR PUSTAKA
Arbi Sanit, Peranan
DPRD di Indonesia, Jurnal Penelitian Sosial, No.8 Tahun 1990, Hal.28
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut
UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Martin H. Hutabarat dan Dahlan Thaib (Ed), Hukum dan
Politik Indonesia , Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
TAP MPR NO.X/MPR/1998
TAP MPR NO.XV/MPR/1998
UU NO.5 Tahun 1974
UU NO.22 Tahun 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar