Senin, 03 November 2014

PERAN DPRD DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

PERAN DPRD DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

(Kajian dari Sudut Pandang HTN)

Oleh : Dahlan Thaib

I

Gema reformasi yang dicanangkan sejak sejak awal digulirkan telah membuka kesadaran rakyat Indonesia akan hak-hak politiknya yang sebelumnya tidak tersentuh dan tidak dapat dinikmati kendatipun hak-hak tersebut dijamin secara konstitusional.

Perbincangan atau diskursus tentang perlunya praktek demokrasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, yakni dengan mempartisipasikan rakyat dalam proses penyelenggaraan negara baik ditingkat pusat maupun daerah berlangsung dengan marak sehingga dewasa ini, baik itu dilakukan oleh kalangan politisi, LSM, praktisi maupun masyarakat kampus.
Dari sudut pandang hukum tata negara fenomena seperti ini sudah barang tentu sangat menggembirakan, mengingat prinsip ajaran yang memungkinkan dibukanya ruang perdebatan untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan atau konsensus dalam menata negara Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.
Dalam konteks otonomi daerah, keterlibatan rakyat melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) adalah sangat penting, karena pada dasarnya bentuk kebijakan otonomi daerah harus tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Tulisan ini difokuskan pada pelaksanaan peran DPRD dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya sebagaimana diisyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

II

            Sebagaimana telah disinggung diatas reformasi telah membuka kesadaran rakyat Indonesia akan hak-hak politiknya yang sebelumnya secara langsung tidak dinikmatinya. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketidak berdayaan rakyat yang memunculkan ketidakadilan dalam rentang waktu yang cukup lama perlakuan pemerintah.
            Rezim Orde Baru dengan menggunakan paradigma kekuasaan yang sangat sentralistik telah menciptakan ketidak seimbangan perekonomian pusat dan daerah dengan berbagai kesenjangan. Sumber-sumber ekonomi didaerah banyak dikuasai oleh pemerintah pusat sehingga rakyat di daerah hanya menjadi penonton dalam proses pembangunan nasional yang timpang yang tidak pernah menyentuh kepentingan rakyat secara substansial.
            Pemerintah Orde Baru sebagaimana diketahui dengan menggunakan paradigma kekuasaan yang sentralistik berpendapat bahwa sentralisasi redistribusi kekayaan nasional akan menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Otonomi daerah seluas-luasnya dalam bidang politik, ekonomi dan budaya dipandang sebagai sumber disintegrasi nasional.
            Paradigma kekuasaan seperti ini memang pada suatu waktu telah pernah menghasilkan sejumlah kesuksesan ekonomi, tetapi juga secara faktual telah menimbulkan korban sosial dan politik dan krisis multi dimensional yang berkepanjangan sebelum dan sesudah Soeharto lengser dari singgasana kekuasaan . Salah satu krisis yang muncul adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Diantaranya tuntutan daerah yang semakin deras untuk “memerdekakan diri” dari belenggu dominasi pemerintah pusat yang sangat sentralistik. Terhadap tuntutan masyarakat daerah para elit politik di Jakarta atau pemerintah pusat telah menanggapinya dengan menawarkan otonomi seluas-luasnya kepada daerah lewat UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah di daerah.
            Timbul pertanyaan, keterlibatan apakah yang seharusnya dilakukan rakyat dalam hal ini DPRD dalam proses kebijakan otonomi daerah ? Hemat penulis salah satu peran DPRD dalam hal ini adalah meningkatkan keterlibatan penuhnya secara intensif memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah. Keterlibatan lembaga legislatif daerah penting dalam rangka menyerap aspirasi dan tuntutan yang berkembang di masyarakat.
            Aspirasi dan tuntutan masyarakat daerah selanjutnya dibahas dalam rangka kebijakan daerah sebagai langkah-langkah politik dari berbagai kekuatan politik yang ada di DPRD.
            Demikian pula dalam hal pengawasan terhadap lembaga eksekutif yang menjadi pelaksanaan otonomi daerah.


III
Lepas dari segala kelemahan yang melekat pada UU No.22 Tahun 1999, maka produk hukum di bidang politik tersebut jauh lebih demokratis bila dibandingkan dengan UU No.5 Tahun 1974. Cukup banyak perubahan atau hal baru yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai jawaban atas tuntutan reformasi. Politik sentralisasi UUNo.5 Tahun 1974 beralih pada politik desentralisasi menuju pelaksanaan otonomi teritorial seluas-luasnya. UU No.22 Tahun 1999 menggariskan secara tegas pelaksanaan fungsi-fungsi dari Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD tidak lagi dijadikan bagian dari pemerintah daerah melainkan menjadi lembaga legislatif daerah yang sejajar dengan pemerintah daerah, bahkan DPRD dapat secara mutlak menentukan Kepala Daerah, meminta pertanggungjawaban kepadanya, bahkan memberhentikannya jika DPRD merasa mempunyai cukup alasan untuk itu. 1)
UU No.22 Tahun 1999 tidak menganut otonomi bertingkat seperti dulu, sehingga pada saat ini berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 tersebut Gubernur bukanlah atasan Bupati. Sekarang tidak ada lagi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, yang ada adalah Propinsi dan Kabupaten atau kota yang mempunyai otonominya sendiri-sendiri.2)
Dengan UU No.22 Tahun 1999 seperti telah dikemukakan di atas, maka peran DPRD menjadi semakin penting, karena DPRD telah diberi kekuatan politik yang besar untuk menetapkan atau menentukan secara penuh tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Dalam UU No.22 Tahun 1999 dengan tegas dinyatakan bahwa baik Gubernur, Bupati maupun Walikota dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota.3) Hal yang menarik dalam membahas materi tentang Kepala Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah mengenai pemberhentian Kepala Daerah.
Ada tiga cara seorang Kepala Daerah “diberhentikan” dari jabatan. Pertama: Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden atas usul DPRD. Usul pemberhentian ini dapat terjadi apabila pertanggungjawaban Kepala Daerah yang telah ditolak kemudian ditolak kembali oleh DPRD.4) Pertanggung-jawaban wajib diberikan Kepala Daerah kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu atas permintaan DPRD.5) Hal ini dapat berarti bahwa setiap saat Kepala Daerah dapat diusulkan untuk diberhentikan atau paling lama satu tahun yaitu akibat laporan pada setiap akhir tahun anggaran. 
Kemungkinan semacam ini dapat diperbesar oleh sistem banyak partai di DPRD dengan variasi kepentinganatau interest politik yang berbeda antara Kepala Daerah di satu pihak dan Kekuatan politik tertentu di DPRD dipihak lain.
Sebagaimana dikemukakan atas, Presiden memberhentikan Kepala Daerah atas usul DPRD. Pertanyaannya: “Apakah Presiden harus memberhentikan atau dapat menolak usul pemberhentian tersebut ? Dari kacamata pandang Hukum Tata Negara, maka presiden tidak dibenarkan menolak usul pemberhentian tersebut, karena hal ini berkaitan dengan dengan prinsip kedaulatan rakyat, yakni menjamin perwujudan kedaulatan rakyat di daerah. Barulah Presiden dapat menolak usul pemberhentian tersebut apabila dapat dibuktikan ada kesewenang-wenangan dalam keputusan DPRD atau mengenai hal-hal yang tidak dapat menjadi dasar usul pemberhentian menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua: Kepala Daerah  diberhentikan dengan ketetapan DPRD. Pasal 49 UU No.22 Tahun 1999 mengatur mengenai alasan-alasan Kepala Daerah diberhentikan, antara lain disebutkan: “mengalami krisis kepercayaan politik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggungjawabnya dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD”, Selanjutnya pasal 50 menyebutkan, pemberhentian  berdasarkan alasan pasal 49 ditetapkan DPRD dan disahkan Presiden. Berbeda dengan cara pertama DPRD hanya mengusulkan dan Presiden yang menetapkan. Cara kedua, DPRD yang memutuskan, Presiden hanya mengesahkan. Pemberhentian Kepala Daerah selanjutnya oleh pasal 50 digariskan harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Ketiga: Pasal 51 menyebutkan, Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD, apabila terbuktimelakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukum lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selanjutnya pemberhentian Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui Keputusan/persetujuan DPRD apabila terbukti Kepala Daerah melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia.

III

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia keberadaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum, karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak untuk ikut aktif dalam proses politik. Pemilihan umum sesuai amanat konstitusi merupakan proses politik ketatanegaraan menuju pembentukan lembaga-lembaga perwakilan (MPR, DPR dan DPRD).
Pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 tidak dapat dilepaskan dari agenda reformasi antara lain menyangkut pembaharuan pemerintahan. Karenanya sebagaimana dikemukakan di atas, penye-lenggaraan pemilu 1999 tidak hanya memilih anggota DPR dan mengisi keanggotaan MPR, melainkan termasuk pula pemilihan anggota DPRD dalam rangka pembaharuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis, karena reformasi tidak hanya diperlukan pada pusat pemerintahan, tetapi juga melingkupi pembaharuan-pembaharuan di tingkat daerah. Pembaharuan-pembaharuan   ditingkat daerah tidak kalah penting, karena segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya terjadi dipusat pemerintah tetapi juga pada pemerintahan tingkat daerah.
Pemerintahan Daerah hasil pemilu 1999 akan menjadi batas pembeda antara masa pemerintah Orde Baru dan pemerintah baru yang bertugas mewujudkan cita-cita reformasi. Karena itu pula kendatipun UU No.22 Tahun 1999 akan dilaksanakan secara efektif paling lambat dua tahun setelah diundangkan (Mei 2001), namun sepanjang dimungkinkan sudah semestinya penyelenggaraan pemeritahan daerah, misalnya yang mengatur kedudukan atau fungsi Kepala daerah dan peran DPRD akan dapat dilaksanakan menurut semangat asas bahkan ketentuan UU No.22 Tahun 1999.
Dengan demikian roda pemerintahan di daerah pasca pemilu 1999 haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh UU No.22 Tahun 1999, artinya dengan Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD hasil pemilu 1999, sudah dapat dilakukan berbagai kebijakan sesuai dengan tuntutan reformasi.
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka pasca pemilu 1999 konstruksi pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD sebagaimana dianut selama Orde Baru, akan berubah menjadi Kepala Daerah yang dikontrol oleh DPRD dan Kepala Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dengan struktur pemerintah daerah yang demikian diharapkan DPRD dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal dan dalam perspektif inilah esensi kehidupan berdemokrasi di dalam pemerintah di daerah akan lebih bermakna.
Pada penghujung tulisan ini ingin disampaikan, bahwa dengan pemberian otonomi yang luas kepada daerah membawa konsekuensi perlunya kriteria kualitas yang handal baik bagi Gubernur, Bupati/Walikota Madya dan anggota-anggota DPRD.


DAFTAR PUSTAKA

Arbi Sanit, Peranan DPRD di Indonesia, Jurnal Penelitian Sosial, No.8 Tahun 1990, Hal.28
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Martin H. Hutabarat dan Dahlan Thaib (Ed), Hukum dan Politik Indonesia , Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
TAP MPR NO.X/MPR/1998
TAP MPR NO.XV/MPR/1998
UU NO.5 Tahun 1974
UU NO.22 Tahun 1999














1) Pasal 16 ayat 2, pasal 18 dan pasal 19 UU No.22 Tahun 1999
2) Pasal 2 UU No.22 Tahun 1999
3) Pasal 31 dan 33 UU No.22 Tahun 1999
4) Pasal 46 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999
5) Pasal 45 UU No. 22 Tahun 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar