KONSEP NEGARA HUKUM
(material Formal dan Welfare State)
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada
tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep
Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika
kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu,
jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara
Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan
pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan
Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hokum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib
dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional
dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk
itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum
yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai
hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land),
dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the
guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the
constitution’.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Negara Hukum Indonesia
1. Konsep
Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum,
selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’,
juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’
dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’
dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti
norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu,
istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip
hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan
oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang
berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of
Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri,
bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”2, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara
lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam
tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V.
Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat
elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan
A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang
dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk
menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah
lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap cirri penting
Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara
Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara
Hukum Modern3. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.
Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup
pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam
bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam
arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of
law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan
tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian
orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika
hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan
semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan
juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive.
Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan
istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita
tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti
sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’,
pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the
rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di
zaman sekarang. Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian tersebut
di atas, konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad
ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian
Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat
unsur ‘rechtsstaat’, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya ‘administratieve
rechtspraak’ atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok Negara
Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsure pengertian Negara Hukum Modern itu
dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah karena
konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak dibahas oleh para
ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke 19
ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan
Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping
Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk
pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha
Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena
abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum
kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk merumuskan
secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan praktek
ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini. Menurut Arief Sidharta4, Scheltema,
merumuskan pandangannya tentang unsurunsur dan asas-asas Negara Hukum itu
secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai
berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar
dalam penghormatan atas martabat manusia
(human dignity).
2.
Berlakunya
asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian
hukum terwujud dalam masyarakat.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama
dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam
atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan
supremasi hukum;
b) Asas undang-undang menetapkan berbagai
perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan
tindakan pemerintahan;
c) Asas non-retroaktif perundang-undangan,
sebelum mengikat undang-undang
harus lebih dulu diundangkan dan
diumumkan secara layak;
d) Asas peradilan bebas, independent,
imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi;
e) Asas non-liquet, hakim tidak boleh
menolak perkara karena alasan undang undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan
dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau
Equality before the Law)
Dalam
Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok
orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu.
Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua
orang
di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk
menuntut
perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai
hak dan kesempatan yang sama
untuk turut serta dalam
pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan.
Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip,
yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan
pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil yang diselenggarakan secara
berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat
dimintai pertanggungjawaban oleh
badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan
dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan politik dan mengontrol
pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi
kritik dan kajian rasional oleh semua
pihak;
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan
menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas
informasi;
g. Rancangan undang-undang harus
dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat
sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang
bersangkutan.
Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum peerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi
keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan
dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata
tiap tindakannya, memiliki tujuan
yang jelas dan berhasil guna
(doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus
diselenggarakan secara efektif dan
efisien.
Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil
inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri
nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip,
yaitu:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2. Prinsip musyawarah;
3. Prinsip keadilan;
4. Prinsip persamaan;
5. Prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip peradilan yang bebas;
7. Prinsip perdamaian;
8. Prinsip kesejahteraan;
9. Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip
oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera6, membagi konsep ‘rule
of law’ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap
kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law”
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep
Negara Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6
bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana
hukum hanya difungsikan sebagai
“instrument
of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai
alat
kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat
tinggi,
serta
sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun
yang
menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri
yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule
written in advance) dan tidak boleh
bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti
berlaku untuk semua orang, (iii) jelas
(clear), (iv) public, dan (v) relative stabil.
Artinya, dalam bentuk yang ‘formal
legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas
hukum sangat diutamakan.
3. Democracy and Legality. Demokrasi yang
dinamis diimbangi oleh hukum yang
menjamin kepastian. Tetapi, menurut
Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode
of legitimation”
demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa
dengan “formal legality”7.
Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga
dapat menghasilkan hukum yang buruk dan
tidak adil. Karena itu, dalam suatu
sistem demokrasi yang berdasar atas
hukum dalam arti formal atau rule of law dalam
arti formal sekali pun, tetap dapat juga
timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai
kepastian dan prediktabilitas itulah
yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu
dapat saja dianggap menjadi lebih buruk
daripada rezmi otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan kepastian.
4. “Substantive Views” yang menjamin
“Individual Rights”.
5. Rights of Dignity and/or Justice
6. Social Welfare, substantive equality,
welfare, preservation of community.
Randall Peerenboom (2004)
2. Cita Negara Hukum Indonesia
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide
pokok konsepsi Negara Hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia
dewasa ini, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas
prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang.
Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga
berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum
(The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya,
yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik
akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi Dalam
perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin
tertinggi negara yang sesungguhnya,
bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum yang tertinggi.
Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.
Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang
bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut
sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam system pemerintahan parlementer.
2.
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan
ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya
diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan yang
bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna
mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan
yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh
lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui
‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu
misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat
hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga
masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat
diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3.
Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum,
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process
of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan
tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and
procedures’ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat
kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk
menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan
tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’
yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan
dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun
peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation)
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang
dibebankan oleh peraturan yang sah.
4.
Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara
dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum
besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu,
kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ
yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi
dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan
terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat
Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di
zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang
bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan
organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi
Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional
(KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan
atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam
kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga
tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk
menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga
atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena
fungsinya dapat disalah gunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang
aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol
sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan
kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan
untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut
dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak
memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak
memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan
uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan
adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh
hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnyahakim
tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan
keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara
oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan
menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’
undangundang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan
yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara
juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya
secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan
tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap
warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan
dijalankannya putusan hakim tata usaha Negara (administrative court)
oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting
disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak
didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi Negara sebagai
pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang
menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa
putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata
usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent
and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional
Court):
Di samping
adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya
keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim
mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam system ketatanegaraannya, baik
dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dansederajat dengan Mahkamah
Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung
yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional
court) ini adalah dalam upaya
memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang
kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya,
mahkamah ini diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undang-undang yang
merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai
bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan
negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai Negara
demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi
satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9.
Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu
Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya
Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh
mengurangi arti atau makna kebebasan dan
hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat
penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu
Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan
penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara
yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang
sesungguhnya.
10.
Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga
setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara
sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin
kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan
rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat)
yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara Hukum
yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam
setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai
tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang
dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang
diwujudkan melalaui gagasan negara hokum (nomocrasy) dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional
Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan
demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial
yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga
kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat
dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung
(partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya
partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui
parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi
rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari
‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu
mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan
hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim,
dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar
dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat
dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama
dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur yang
terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur
ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi
nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya
prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an
Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam
Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan
tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh
bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan
nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain
pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau
ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa
yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan
menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin
persamaan dan penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah
Negara Pancasila. Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan
Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum
perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam
Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’.
Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan.
Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga
tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan
mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita Negara hukum yang
mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
BAB.III
KESIMPULAN
A.
Konsep Negara Hukum Indonesia
1. Konsep
Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait
dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan
dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan
‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan
‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti
norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,
konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The
Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan
A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang
dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk
menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar