PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH
DITINJAU
DARI ASPEK HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF*
(Beberapa
Pokok Pikiran)
Oleh:
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH, MSi**
I
Dari aspek yuridis Konstitusional
terlihat jelas pertimbangan-pertimbangan yang tajam akan kesepakatan untuk
melaksanakan kebijakan desentralisasi yang melahirkan Otonomi Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia .
Sejak Indonesia merdeka hingga kini baik dengan UUD 1945, Konstitusi RIS,
maupun UUD Sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua UU
tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU
No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun
1999 dan terakhir UU No.32 Tahun 2004. Secara yuridis konstitusional, kebijakan
Otonomi Daerah dalam UUD 1945 jelas terlihat dalam sistem pemerintahan, di mana
di dalamnya juga mengatur tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18). Dan dalam
penjabaran UUD 1945, pada kebijakan Otonomi Daerah senantiasa termuat dalam
dalam kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
seperti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai macam
ketentuan lainnya. Kebijakan hukum tentang Otonomi Daerah menjadi landasan kuat
untuk mengembangkan demokrasi di seluruh strata pemerintahan, di mana demokrasi
sebagai salah satu paradigma konstitusi merupakan salah satu sendi utama dan
prinsip dasar yang dianut oleh
II
Agenda otonomi daerah adalah agenda
nasional yang sangat penting dan telah menjadi wacana publik di saat-saat kondisi bangsa demikian komplek dan belum
jelas arah kepastiannya. Otonomi Daerah dianggap sebagai opsi tepat untuk
mengingkatkan dearajat keadilan sosial serta distribusi kewenangan secara
proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten dan kota
dalam hal penentuan kebijakan publik, penguasaan asset ekonomi serta pengaturan
sumber daya local.
Dari sudut pandang Hukum Tata Negara
dalam konteks NKRI sebagaimana diamanatkan UUD 1945, otonomi daerah merupakan
sarana kebijakan yang tepat untuk memelihara keutuhan negara, bangsa, serta
memperkuat persatuan dan kesatuan. Selama hampir setengah abad, masyarakat
didaerah merasa tidak mendapat perlakuan yang wajar dan adil. bahkan selama
tigapuluh lebih masyarakat di daerah mengalami proses marginalisasi dari
panggung politik nasional. Hal itu terjadi sebagai akibat dari begitu kuatnya
sentralisasi kekuasaan selama ini. Bersamaan dengan gelombang reformasi,
tuntutan pelaksanaan otonomi daerah, terutama dari daerah-daerah yang kaya
sumber daya alam akhirnya terwujud dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Jo UU No. 32 Tahun 2004.
Salah satu tujuan reformasi adalah
menciptakan pemerintahan yang baik, yakni pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Pemerintahan yang baik, khususnya di Indonesia sangat terkait dengan
tipe negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan oleh konstitusi.
dalam negara kesejahteraan, pemerintah termasuk pemerintah daerah dituntut
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, agar dapat terwujud kehidupan
masyarakat yang sejahtera. Dalam rangka mewujudkan masyakarat yang sejahtera
campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat tidak dapat
dihindari.
Menurut Irving Swendlow (1979)
campur tangan pemerintah dalam proses pembangunan terhadap perkembangan
kehidupan masyarakat dapat dilakukan dengan lima cara yakni :
- Operasi langsung (direct operation)
Dalam
hal ini pemerintah langsung aktif melakukan kegiatan yang dimaksudkan. Misalnya
dalam penciptaan keluarga kecil sejahtera, pemerintah melaksanakan progam KB.
Dalam kehidupan ekonomi, pemerintah langsung membentuk dan mengarahkan
bentuk-bentuk koperasi.
- Pengendalian Langsung (direct control)
Langkah pemerintah diwujudkan dalam bentuk
penggunaan perizinan perjalanan dan lain sebagainya. Sudah barang tentu lembaga
pemberi izin harus mendapatkan kewenangan untuk itu terlebih dahuku berdasarkan
peraturan tahun yang berlaku.
- Pengendalian tak langsung (indirect
control)
Lewat
peraturan perundang-undangan yang ada pemerintahan dapat menetapkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk terlaksananya suatu kegiatan
tertentu, misalnya penggunaan devisa tertentu diperoleh asal untuk pembelian
barang-barang tertentu. Demikian pula
untuk melakukan poligami, harus dipenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut berarti pemerintah telah
mengarhkan agar hal tersebut terlaksana sesuai dengan tujuan negara.
- Pemengaruhan Langsung (direct influence)
Intervensi
ini dilakukan secara persuasive, pendekatan ataupun nasehat agar supaya anggota
masyarakat tertentu mau bertingkah laku seperti yang dikehendaki pemerintah.
Misalnya dengan pemberian penyuluhan agar masyarakat petani mau berkoperasi dan
sebagainya.
- Pemengaruhan tak langsung (indirect
influence)
Ini
merupakan bentuk involvement yang paling ringan, tetapi tujuannya tetap
untuk mengiring masyarakat agar berbuat seperti yang dihendaki oleh pemerintah.
Misalnya pemberian informasi, penjelasan suatu kebijaksanaan pemerintah,
pemberian penghargaan kepada para teladan pada bidangnya masing-masing dan
sebagainya.
Dari
uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa campur tangan pemerintah terhadap
aspek kehidupan masyarakat agar pemerintah dapat melakukan monitoring secara
continyu terhadap berbagai kegiatan masyarakat. Dengan demikian aspek kehidupan
dan kegiatan masyarakat tersebut dapat diarahkan sedemikian rupa. Karenanya
masalah sumber daya manusia di lingkungan pemerintah sangat penting bahkan
sangat menentukan.
III
Dari uraian dimuka tampak dengan jelas bahwa
konsekwensi logis dari negara kesejahteraan adalah sangat luasnya kekuasaan dan
kebebasan pemerintah. Dominannya kekuasaan pemerintah ini akan menimbulkan
beberapa akibat yang tendensinya dapat merugikan masyarakat.
Akibat-akibat
tersebut antara lain :
- Akan terjadi sistem birokrasi yang
berbelit-belit dan berkepanjangan.
Hal ini justru kontra dengan tujuan negara
kesejahteraan itu sendiri, yakni memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat.
- Akan dapat terjadi arogansi pemerintah.
Aparat pemerintah bukanlagi sebagai abdi masyarakat, akan tetapi
sebaliknya masyarakat yang harus melayani pemerintah.
- Kebebasan individu akan semakin sempit
sebagai akibat semakin meluasnya kebebasan dan kekuasaan pemerintah.
Jelaslah
kiranya, apabila kebebasan pemerintah berkembang tanpa kendali akan senderung
menghidupkan sistem otoriter dalam pemerintah, yang akibatnya akan menghambat
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and strong
goverment), yang merupakan sarana mutlak untuk terciptanya masyarakat yang adil
dan makmur.
Karena itu perlu dipikirkan kriteria
untuk menilai apakah pemerintah telah bersih dan berwibawa, atau sebaliknya. Di
sinilah diperlukan peranan DPRD sebagai wakil rakyat yang dipilihlangsung oleh
rakyat dalam pemilu untuk mengawasi pemerintah (eksekutif).
Dalam praktek
otonomi daerah, keterlibatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) adalah sangat penting, karena pada dasarnya bentuk kebijakan otonomi
daerah harus tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Dan pada penghujung tulisan ini ingin
disampaikan, bahwa dengan pemberian otonomi yang luas kepada daerah membawa
konsekuensi perlunya kriteria kualitas yang handal baik bagi Gubernur,
Bupati/Walikota dan anggota-anggota DPRD. Dan tidak kalah penting adalah Kepala
Daerah dan DPRD diharapkan dapat menjadi partner yang handaldalam rangka
mengelola pemerintahan di daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerah.
Sehingga tidak menimbulkan arogansi masing-masing kelembagaan baik DPRD maupun
Kepala Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar