Senin, 03 November 2014

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI ASPEK HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF*

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
DITINJAU DARI ASPEK HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF*
(Beberapa Pokok Pikiran)
Oleh: Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH, MSi**

I

            Dari aspek yuridis Konstitusional terlihat jelas pertimbangan-pertimbangan yang tajam akan kesepakatan untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi yang melahirkan Otonomi Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka hingga kini baik dengan UUD 1945, Konstitusi RIS, maupun UUD Sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua UU tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir UU No.32 Tahun 2004. Secara yuridis konstitusional, kebijakan Otonomi Daerah dalam UUD 1945 jelas terlihat dalam sistem pemerintahan, di mana di dalamnya juga mengatur tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18). Dan dalam penjabaran UUD 1945, pada kebijakan Otonomi Daerah senantiasa termuat dalam dalam kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai macam ketentuan lainnya. Kebijakan hukum tentang Otonomi Daerah menjadi landasan kuat untuk mengembangkan demokrasi di seluruh strata pemerintahan, di mana demokrasi sebagai salah satu paradigma konstitusi merupakan salah satu sendi utama dan prinsip dasar yang dianut oleh Indonesia. Hal ini berarti memberi peluang yang luas terhadap peranan aktif elit politik daerah dan tokoh masyarakat serta segenap lapisan masyarakat di seluruh daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II

            Agenda otonomi daerah adalah agenda nasional yang sangat penting dan telah menjadi wacana publik di saat-saat  kondisi bangsa demikian komplek dan belum jelas arah kepastiannya. Otonomi Daerah dianggap sebagai opsi tepat untuk mengingkatkan dearajat keadilan sosial serta distribusi kewenangan secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dan kota dalam hal penentuan kebijakan publik, penguasaan asset ekonomi serta pengaturan sumber daya local.
            Dari sudut pandang Hukum Tata Negara dalam konteks NKRI sebagaimana diamanatkan UUD 1945, otonomi daerah merupakan sarana kebijakan yang tepat untuk memelihara keutuhan negara, bangsa, serta memperkuat persatuan dan kesatuan. Selama hampir setengah abad, masyarakat didaerah merasa tidak mendapat perlakuan yang wajar dan adil. bahkan selama tigapuluh lebih masyarakat di daerah mengalami proses marginalisasi dari panggung politik nasional. Hal itu terjadi sebagai akibat dari begitu kuatnya sentralisasi kekuasaan selama ini. Bersamaan dengan gelombang reformasi, tuntutan pelaksanaan otonomi daerah, terutama dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam akhirnya terwujud dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 Jo UU No. 32 Tahun 2004.
            Salah satu tujuan reformasi adalah menciptakan pemerintahan yang baik, yakni pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang baik, khususnya di Indonesia sangat terkait dengan tipe negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan oleh konstitusi. dalam negara kesejahteraan, pemerintah termasuk pemerintah daerah dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, agar dapat terwujud kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dalam rangka mewujudkan masyakarat yang sejahtera campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari.
            Menurut Irving Swendlow (1979) campur tangan pemerintah dalam proses pembangunan terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dapat dilakukan dengan lima cara yakni :
  1. Operasi langsung (direct operation)
Dalam hal ini pemerintah langsung aktif melakukan kegiatan yang dimaksudkan. Misalnya dalam penciptaan keluarga kecil sejahtera, pemerintah melaksanakan progam KB. Dalam kehidupan ekonomi, pemerintah langsung membentuk dan mengarahkan bentuk-bentuk koperasi.
  1. Pengendalian Langsung (direct control)
Langkah pemerintah diwujudkan dalam bentuk penggunaan perizinan perjalanan dan lain sebagainya. Sudah barang tentu lembaga pemberi izin harus mendapatkan kewenangan untuk itu terlebih dahuku berdasarkan peraturan tahun yang berlaku.
  1. Pengendalian tak langsung (indirect control)
Lewat peraturan perundang-undangan yang ada pemerintahan dapat menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk terlaksananya suatu kegiatan tertentu, misalnya penggunaan devisa tertentu diperoleh asal untuk pembelian barang-barang tertentu. Demikian  pula untuk melakukan poligami, harus dipenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut berarti pemerintah telah mengarhkan agar hal tersebut terlaksana sesuai dengan tujuan negara.
  1. Pemengaruhan Langsung (direct influence)
Intervensi ini dilakukan secara persuasive, pendekatan ataupun nasehat agar supaya anggota masyarakat tertentu mau bertingkah laku seperti yang dikehendaki pemerintah. Misalnya dengan pemberian penyuluhan agar masyarakat petani mau berkoperasi dan sebagainya.
  1. Pemengaruhan tak langsung (indirect influence)
Ini merupakan bentuk involvement yang paling ringan, tetapi tujuannya tetap untuk mengiring masyarakat agar berbuat seperti yang dihendaki oleh pemerintah. Misalnya pemberian informasi, penjelasan suatu kebijaksanaan pemerintah, pemberian penghargaan kepada para teladan pada bidangnya masing-masing dan sebagainya.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat agar pemerintah dapat melakukan monitoring secara continyu terhadap berbagai kegiatan masyarakat. Dengan demikian aspek kehidupan dan kegiatan masyarakat tersebut dapat diarahkan sedemikian rupa. Karenanya masalah sumber daya manusia di lingkungan pemerintah sangat penting bahkan sangat menentukan.
           
III
Dari uraian dimuka tampak dengan jelas bahwa konsekwensi logis dari negara kesejahteraan adalah sangat luasnya kekuasaan dan kebebasan pemerintah. Dominannya kekuasaan pemerintah ini akan menimbulkan beberapa akibat yang tendensinya dapat merugikan masyarakat.
Akibat-akibat tersebut antara lain :
  1. Akan terjadi sistem birokrasi yang berbelit-belit dan berkepanjangan.
Hal ini justru kontra dengan tujuan negara kesejahteraan itu sendiri, yakni memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
  1. Akan dapat terjadi arogansi pemerintah. Aparat pemerintah bukanlagi sebagai abdi masyarakat, akan tetapi sebaliknya masyarakat yang harus melayani pemerintah.
  2. Kebebasan individu akan semakin sempit sebagai akibat semakin meluasnya kebebasan dan kekuasaan pemerintah.
Jelaslah kiranya, apabila kebebasan pemerintah berkembang tanpa kendali akan senderung menghidupkan sistem otoriter dalam pemerintah, yang akibatnya akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and strong goverment), yang merupakan sarana mutlak untuk terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
            Karena itu perlu dipikirkan kriteria untuk menilai apakah pemerintah telah bersih dan berwibawa, atau sebaliknya. Di sinilah diperlukan peranan DPRD sebagai wakil rakyat yang dipilihlangsung oleh rakyat dalam pemilu untuk mengawasi pemerintah (eksekutif).
            Dalam praktek otonomi daerah, keterlibatan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah sangat penting, karena pada dasarnya bentuk kebijakan otonomi daerah harus tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Dan pada penghujung tulisan ini ingin disampaikan, bahwa dengan pemberian otonomi yang luas kepada daerah membawa konsekuensi perlunya kriteria kualitas yang handal baik bagi Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota-anggota DPRD. Dan tidak kalah penting adalah Kepala Daerah dan DPRD diharapkan dapat menjadi partner yang handaldalam rangka mengelola pemerintahan di daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerah. Sehingga tidak menimbulkan arogansi masing-masing kelembagaan baik DPRD maupun Kepala Daerah.



*    Disampaikan  dalam acara  Rapat Koordinasi anggota Legislatif dan Eksekutif Pemerintah Kabupaten Banyumas pada tanggal 18 Juli 2005.
** Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar