MAHKAMAH
KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
---------
MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA[1]
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.[2]
A. PERUBAHAN UUD
1945
Reformasi Konstitusi
Sejak
datangnya era reformasi yang ditandai dengan peristiwa berhentinya Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998 telah terbuka peluang bagi dilakukannya reformasi
konstitusi setelah mengalami fase “sakralisasi UUD 1945” selama pemerintahan
Orde Baru. Dalam perkembangannya reformasi konstitusi menjadi salah satu
tuntutan berbagai kalangan, termasuk para pakar/akademisi hukum tata negara dan
kelompok mahasiswa, yang kemudian diwujudkan oleh MPR melalui empat kali
perubahan (1999-2002).
Reformasi
konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan
berdasar pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 1945 tidak lagi cukup untuk
mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat,
terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan
hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan negara pada beberapa tahun
terakhir pemerintahan Presiden Soeharto yang antara lain ditandai dengan
maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjadi bukti tak terbantahkan mengenai hal ini.
Beberapa
aspek yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebabkan konstitusi Indonesia ini
tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis dan
menegakkan hak asasi manusia, antara lain sebagai berikut.
1. UUD 1945
terlampau sedikit jumlah pasal dan ayatnya, hanya terdiri dari 37 pasal sehingga
belum/tidak mengatur berbagai hal mengenai penyelenggaraan negara dan kehidupan
bangsa di dalamnya yang makin lama makin kompleks.
2. UUD 1945
menganut paham Supremasi MPR yang menyebabkan tidak ada sistem checks and
balances antarcabang kekuasaan negara.
3. UUD 1945
memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden (executive heavy)
sehingga peranan Presiden sangat besar dalam penyelenggaraan negara.
4. Beberapa muatan
dalam UUD 1945 mengandung potensi multitafsir yang membuka peluang penafsiran
yang menguntungkan pihak penguasa.
5. UUD 1945 sangat
mempercayakan pelaksanaan UUD 1945 kepada semangat penyelenggara negara.
Bentuk Perubahan UUD Indonesia
Dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya (a)
pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) penggantian Undang-Undang Dasar, dan (c)
perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai Hukum Dasar bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara
Serikat (Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari UUD 1945 ke Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika
bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara
Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) Tahun 1950.
Setelah itu,
mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru sama sekali
dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus ditugaskan untuk
menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk, diadakanlah
persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun
1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Akan
tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya yang dikenal
dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan
Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 menjadi hukum dasar
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan dari UUDS Tahun 1950 ke UUD
1945 ini tidak ubahnya bagaikan tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga.
Karena itu, sampai dengan berlakunya kembali UUD 1945 itu, dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti
pembaruan Undang-Undang Dasar, melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan,
penyusunan, dan penggantian Undang-Undang Dasar.
Perubahan dalam
arti pembaruan Undang-Undang Dasar, baru terjadi setelah bangsa Indonesia
memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto
berhenti dan digantikan oleh Presiden Prof. Dr. Ir. Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pada tahun 1999 dapat diadakan Perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana
mestinya. Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum MPR pada tahun 1999,
disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2000 dan Perubahan
Ketiga dalam ST 2001. Pada ST MPR 2002, disahkan pula naskah Perubahan Keempat
yang melengkapi naskah-naskah Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi
perubahan itu dapat disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah
Undang-Undang Dasar yang mencakupi keseluruhan Hukum Dasar yang sistematis dan
terpadu.
Kedua bentuk
perubahan Undang-Undang Dasar seperti tersebut, yaitu penggantian dan perubahan
pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari UUD
1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945
adalah contoh tindakan penggantian Undang-Undang Dasar. Sedangkan perubahan UUD
1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat adalah contoh
perubahan Undang-Undang Dasar melalui naskah Perubahan yang tersendiri. Di
samping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa dipraktekkan di
beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan cara memasukkan (insert)
materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Cara terakhir ini, boleh jadi,
lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru,
yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru
tersebut.
Berkenaan dengan
prosedur perubahan Undang-Undang Dasar, dianut adanya tiga tradisi yang berbeda
antara satu negara dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang
mempunyai kebiasaan mengubah materi Undang-Undang Dasar dengan langsung
memasukkan (insert) materi perubahan itu ke dalam naskah Undang-Undang
Dasar. Dalam kelompok ini dapat disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman,
Belanda, dan sebagainya. Konstitusi Perancis, misalnya, terakhir kali diubah
dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah aslinya pada tanggal 8
Juli 1999 lalu, yaitu dengan mencantumkan tambahan ketentuan pada Article 3,
Article 4 dan ketentuan baru Article 53-2 naskah asli Konstitusi Perancis yang
biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum terakhir diamandemen pada
tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga pernah diubah beberapa
kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan presiden secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai
pertang-gungjawaban tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan
diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga
naskah Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi
perubahan itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua,
kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah
Undang-Undang Dasar. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama
sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan
Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya, negara-negara
demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan.
Sistem demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan masih bersifat ‘trial
and error’. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan
Afrika, banyak yang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian
ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah
dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena
keadaan keterpaksaan.
Oleh karena itu,
kita perlu menyebut secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat sebagai model ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah
yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua,
ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli
Undang-Undang Dasar tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar
dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan adendum tambahan
terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan demikian
memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya negara-negara
demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti prosedur yang baik seperti
itu. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali berturut-turut sampai
sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya
Amerika Serikat itu.
Empat Perubahan UUD 1945
UUD 1945 telah
mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999,
Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD
1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan
materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama
UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR yang diselenggarakan antara tanggal 12
sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu
tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak
sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di
sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD
1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya
berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Setelah tembok
romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan, gelombang perubahan atas naskah
UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR
menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi
yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu
mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah
Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah
Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal
tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya
mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan
rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda
perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang berhasil
menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.
Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini
adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan sangat mendasar pula.
Perubahan yang
terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai
tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun
2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan
perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3
ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan
Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke
dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan
ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian
secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal,
termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri
atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang
dihapuskan dari naskah UUD.
Pasal II Aturan
Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 menegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa
sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan
lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian
dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945
setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian,
karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama
sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
Sosialisasi UUD 1945
Setelah terjadi
empat kali perubahan UUD, terjadi perubahan besar dalam UUD 1945. Sebelum perubahan,
UUD 1945 terdiri dari 71 butir ketentuan sedangkan setelah perubahan, UUD 1945
menjadi 199 butir ketentuan atau bertambah 280%. Dari 199 butir ketentuan
tersebut, naskah UUD yang masih asli tidak mengalami perubahan (naskah asli)
hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%), adapun selebihnya 174 butir ketentuan
(88%) merupakan materi baru sama sekali.
Dari segi
kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 setelah
mengalami empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu
konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah
secara besar-besaran. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali
perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam
naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Seandainya selama
59 tahun Indonesia merdeka, seluruh rakyat sudah mengetahui isi UUD 1945
sebelum perubahan, maka sebenarnya rakyat pada saat sekarang ini hanya
mengetahui 25 butir ketentuan (12%) saja dari UUD 1945, sedangkan 174 butir
ketentuan (88%) sama sekali tidak dimengerti oleh rakyat Indonesia. Gambaran
ini makin parah jika kita memahami bahwa tentu saja tidak seluruh rakyat yang
jumlahnya ratusan juta itu mengetahui 25 butir ketentuan naskah asli UUD
1945.
Hal ini sangat
berbeda sama sekali dengan pengalaman perubahan konstitusi bangsa Amerika
Serikat. Dalam perjalanan negara AS selama lebih dari 200 tahun ini, konstitusi
AS telah mengalami perubahan sebanyak 27 kali, 10 perubahan pertama mengenai
hak asasi manusia, dan baru pada perubahan kesebelas dan seterusnya mengenai
materi lain. Setiap ada perubahan UUD di AS, perdebatannya dapat berlangsung
selama setahun. Padahal rumusan kata yang diubah itu tidak banyak, bisa hanya
satu kalimat atau satu paragraf. Walaupun demikian, untuk sampai kepada
keputusan mengesahkan naskah perubahan konstitusi itu, perdebatannya panjang
sekali dan seluruh rakyat AS terlibat sehingga mempunyai pemahaman mengenai isi
dan proses perubahan konstitusi itu. Apabila rancangan perubahan konstitusi
sudah diputuskan di constitution convention, naskah itu masih harus diratifikasi
di setiap negara bagian. Dalam proses ratifikasi di negara bagian inilah,
rakyat di negara bagian akan terlibat lagi secara lebih intens. Karena itu
kalau suatu kaidah hukum dasar sudah dinyatakan berlaku mengikat sebagai bagian
perubahan UUD di Amerika Serikat, sebenarnya semua orang sudah ikut
memperdebatkan dan memahaminya sehingga lebih mudah untuk melaksanakannya.
Proses di AS
memiliki perbedaan yang cukup besar dengan di tanah air. Materi perubahan UUD
1945 banyak sekali dan dilakukan dalam
waktu sangat singkat, yakni hanya empat tahun. Terkait dengan ini, kita
menyadari bahwa kegiatan pemasyarakatan
(sosialisasi) UUD 1945 itu telah banyak dilakukan, tetapi tetap tidak cukup
karena bangsa kita heterogen, tingkat pendidikannya sangat tidak merata,
tingkat kemiskinan yang tinggi, dan menyebar di berbagai daerah dari Sabang
sampai Merauke. Kondisi ini menyebabkan doktrin yurisdiksi dalam ilmu hukum
tidak berlaku. Dalam doktrin yurisdiksi hukum itu dikatakan semua orang mesti
sudah tahu hukum, dan ketidaktahuan terhadap hukum tidak boleh menjadi alasan
orang itu dibebaskan dari hukum.
Doktrin yuridiksi
mudah diterapkan di negara maju atau negara kecil seperti Belanda, namun dengan
kondisi negara kita seperti diuraikan di atas, penerapan doktrin yurisdiksi
menjadi masalah besar. Karena itu mutlak diselenggarakan program pemasyarakatan
(sosialisasi) UUD 1945 oleh berbagai lembaga negara/instansi pemerintah secara
sinergis dan harmonis agar UUD 1945 yang telah disempurnakan ini dapat dipahami
oleh aparatur penyelenggara negara dan warga masyarakat.
B. MAHKAMAH
KONSTITUSI RI
Mahkamah Konstitusi
di Berbagai Negara
Dalam sistem hukum
yang dianut di berbagai negara, terdapat kekuasaan yudikatif yang antara lain
mempunyai wewenang mengawal dan menafsirkan konstitusi. Kekuasaan ini
dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri
sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Jika
berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberadaan lembaga
MK merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara
demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri.
Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara
tersendiri.[3]
Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di setiap
negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat
dibayangkan sebagai fungsi MK seperti judicial review dalam rangka
menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil ataupun
dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah
Agung (Supreme Court).[4] Akan tetapi, di beberapa negara
lainnya, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari
otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan MK itu dapat dinilai cukup populer.
Negara-negara seperti ini dapat disebut sebagai contoh, Afrika Selatan, Korea
Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dan sebagainya memandang perlu untuk
membentuk MK. Tentu tidak semua negara jenis ini membentuknya. Republik
Filipina yang baru mengalami perubahan menjadi demokrasi, tidak memiliki MK
yang tersendiri. Di samping itu, ada pula negara lain seperti Jerman yang
memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.
Di Afrika Selatan,
MK dibentuk pertama kali pada tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution
1993. Setelah UUD 1996 disahkan, MK tersebut terus bekerja, yaitu mulai
persidangannya yang pertama pada bulan Februari 1995. Anggotanya berjumlah 11
orang, 9 pria dan 2 orang wanita. Masa kerja mereka adalah 12 tahun dan tidak
dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian karena pensiun, yaitu
apabila mencapai usia maksimum 70 tahun. Semua anggota MK independen, dengan
tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial)
dan tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk.
Di Republik
Czechoslovakia, MK terbentuk sejak Februari 1992, sebelum Republik Federal
Cekoslovakia bubar dan menjadi dua negara (Czech dan Slovakia)
pada tanggal 31 Desember 1992. Konstitusi Republik Czech yang disahkan pada
tanggal 16 Desember 1992, mengadopsi ketentuan mengenai MK itu dalam Bab 4-nya
yang selanjutnya mengatur rincian ketentuan mengenai hal itu dalam UU No. 182
Tahun 1993 tentang MK yang berlaku sejak tanggal 16 Juni 1993. Sesudah itu,
pada bulan Juli 1993, 12 orang pertama diangkat menjadi hakim konstitusi dan MK
resmi mulai bersidang. Pada bulan Januari 1994, diangkat lagi 3 orang tambahan
sehingga seluruh anggotanya berjumlah 15 orang. Ke 15 orang itu ada yang
berasal dari parlemen, guru besar hukum dari berbagai perguruan tinggi, hakim
profesional, dan beberapa orang pengacara praktek.
Republik Lithuania,
segera setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Uni Soviet pada tanggal 11
Maret 1990, mengadopsi gagasan constitutional review ke dalam
konstitusinya yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1992 melalui suatu
referendum nasional. Gagasan itu dicantumkan dalam Bab 8 yang mengatur mengenai
Constitutional Court, yang dirinci lagi ketentuannya dalam UU tentang MK
yang disahkan oleh parlemen Lithuania (Seimas) pada tanggal 3 Februari
1993. Jumlah anggotanya sebanyak 9 orang diangkat oleh parlemen (Seimas)
dari calon-calon yang diusulkan oleh Ketua parlemen 3 orang, oleh Presiden 3
orang, dan 3 orang lainnya oleh Ketua MA. Ketua MK itu dipilih dan ditetapkan
oleh Seimas dari calon yang diajukan oleh Presiden. Masa jabatan
kesembilan hakim konstitusi itu ditetapkan bervariasi, yaitu 3 orang paling
lama untuk 9 tahun tanpa perpanjangan, sedangkan 3 orang lagi untuk 6 tahun,
dan 3 orang lainnya untuk 3 tahun, masing-masing dengan kemungkinan
perpanjangan hanya 1 kali masa jabatan dengan interval selama 3 tahun. Dengan
demikian, 3 orang anggota MK itu berganti setiap tiga tahun sekali. Para Hakim
Konstitusi Lithuania ini harus mempunyai reputasi yang tidak tercela, tidak
pernah diberhentikan dari jabatan, berpendidikan hukum, dan berpengalaman dalam
profesi hukum atau di lembaga pendidikan hukum sekurang-kurangnya 10 tahun.
Jika diangkat, setiap Hakim Konstitusi tidak boleh merangkap jabatan di
lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, atau bebas dari pengaruh orang atau
organisasi di luar MK.
Di Konstitusi Korea
Selatan, MK diatur dalam Konstitusinya, yaitu pada Pasal 107 dan dalam Bab VI
yang berisi tiga pasal, yaitu Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113. Menurut
ketentuan Pasal 111 ayat (2), jumlah anggotanya 9 orang. Pasal 111 (2), (3),
dan (4) menentukan: (2) MK terdiri atas 9 orang anggota yang memenuhi syarat
sebagai hakim dan diangkat oleh Presiden (The Constitutional Court is
composed of nine adjudicators qualified to be court judges, and they are
appointed by the President); (3) Di antara Hakim Konstitusi tersebut pada
ayat (2), tiga orang berasal dari orang yang dipilih oleh Majelis Nasional, dan
tiga orang diangkat dari orang yang dicalonkan oleh Ketua MA (Among the
adjudicators referred to in Paragraph (2), three are appointed from persons
selected by the National Assembly, and three appointed from persons nominated
by the Chief Justice); (4) Ketua MK diangkat oleh Presiden dari anggota MK
dengan persetujuan Majelis Nasional (The head of the Constitutional Court is
appointed by the President from among the adjudicators with the consent of the
National Assembly).
Masa jabatan
kesembilan anggota MK itu ditentukan dalam Pasal 112 ayat (1) untuk 6 tahun dan
dapat diangkat kembali sesuai ketentuan UU (The term of office of the
adjudicators of the Constitutional Court is six years, and they may be
reappointed under the conditions as prescribed by law). Dalam ayat (2)
dinyatakan: “The adjudicators of the Constitutional Court may not join any
political party nor participate in political activities”. Selanjutnya dalam
ayat (3)-nya dinyatakan: “No adjudicator of the Constitutional Court can be
expelled from office except by impeachment or a sentence of imprisonment or
heavier punishment”.
Dari contoh-contoh
kasus di Afrika Selatan, Czech (Cheko), Lithuania, dan Korea Selatan tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa di lingkungan negara-negara yang berubah ke
arah demokrasi pada dasawarsa terakhir abad ke-20, pada umumnya mengadopsi
gagasan pembentukan MK seperti yang telah lama berkembang di beberapa negara
demokrasi konstitusional di Eropa. Jumlah anggotanya berkisar antara 9 sampai
15 orang. Di Korea Selatan dan Lithuanian 9 orang, Afrika Selatan 11 orang,
Cheko (Czech) 15 orang. Masa jabatannya juga bervariasi. Di Afrika Selatan 12
tahun maksimum berusia 70 tahun, di Korea Selatan 6 tahun dan sesudahnya dapat
diangkat lagi, dan Lithuania maksimum 9 tahun dengan pergantian setiap 3 tahun,
dan di Cheko 10 tahun dan sesudahnya dapat diangkat lagi tanpa pembatasan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI
Pemikiran mengenai
pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota
BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung
(MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini
ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang
disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham
trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan
belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Pada saat
pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu MK muncul
kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi
telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.[5] Karena
perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme
institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi
kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat
serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan
perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di
bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan
melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang
berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam
perkembangannya, ide pembentukan MK mendapat respon positif dan menjadi salah
satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses
pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide MK menjadi
kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang
menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November
2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara
ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang
membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.
Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C UUD 1945
menyatakan:
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim
konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Sesuai ketentuan
UUD 1945 tersebut, MK mempunyai wewenang sebagai berikut.
a. Menguji
undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar;
c. Memutus
pembubaran partai politik;
d. Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
Aturan
Peralihan Pasal III UUD 1945 yang menjadi bagian dalam Perubahan Keempat (tahun
2002), dinyatakan bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk pada tanggal 17
Agustus 2003. Sebelum MK terbentuk, segala kewenangannya dilakukan oleh MA.
Terkait dengan ini, sejak disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 yang
mengesahkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 (11 Agustus 2002), sampai
terbentuknya MK pada tanggal 13 Agustus 2003, MA telah menerima 14 perkara yang
menjadi wewenang MK. Namun sampai berlangsungnya pengalihan perkara dari MA ke
MK pada tanggal 15 Oktober 2003, tidak ada satu pun perkara yang masuk tersebut
telah diputus oleh MA.
Sebagai
tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas
pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13
Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal 13 Agustus 2003
inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan
setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK.
Sembilan
hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan pada
tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003 disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sesuai
ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim
konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal dari usul
Presiden. Konfigurasi sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang
kekuasaan negara tersebut mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga
cabang kekuasaan negara tersebut di dalam tubuh MK sebagai lembaga pelaksana
kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem checks and balances antarcabang
kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang
menggantikan paham Supremasi MPR dengan Supremasi Konstitusi, maka kedudukan
tertinggi dalam negara Indonesia tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945. Seiring
dengan itu setiap lembaga negara mempunyai kedudukan yang sederajat atau sama
dan tidak dikenal lagi istilah Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi
Negara. Dengan demikian walaupun MK baru dibentuk pada era reformasi, namun
lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang sederajat atau sama dengan lembaga
negara yang lain yang telah ada sebelumnya, seperti Presiden, DPR, dan MPR
serta MA. Dengan kedudukan MK yang sederajat atau sama dengan lembaga negara
lain dan adanya kesederajatan atau kesamaan kedudukan antarlembaga negara, maka
pelaksanaan tugas konstitusional MK menjadi jauh lebih mudah dan lancar dalam
memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.
Pelaksanaan
Tugas Mahkamah Konstitusi RI
Sampai
bulan Maret 2008, MK telah melaksanakan tiga wewenang dari empat wewenang yang
ada pada dirinya, yaitu menguji UU terhadap UUD (judicial review),
memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang diatur oleh UUD. Sedangkan satu wewenang MK belum dilaksanakan
karena memang sampai saat ini belum ada permohonan mengenai hal itu yang masuk
ke MK, yaitu memutus pembubaran partai politik. Seiring dengan itu kewajiban MK
juga belum dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada permohonan dari DPR
berisi pendapat lembaga legislatif ini terkait dengan impeachment Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Total
perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008, per 7 April 2008
sebanyak 21 perkara yang terdiri dari 17 perkara untuk pengujian undang-undang
dan 4 perkara untuk sengketa kewenangan lembaga negara. Dari 21 perkara
tersebut terdapat 13 perkara (61,90%) yang telah diputus dan 8 perkara (38,10%)
masih dalam proses pemeriksaan.
Adapun
untuk rincian perkara yang masuk sejak 2003 sampai dengan 2008 yaitu untuk
permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang teregistrasi di MK
sampai 7 April 2008 adalah sebanyak 140 perkara. Dari sejumlah perkara itu,
terdapat 132 perkara (94,29%) yang telah diputus oleh MK dan sisanya yakni
sebanyak 8 perkara (5,71%) masih dalam tahap pemeriksaan dengan beberapa
perkara direncanakan akan diputus dalam waktu tidak lama lagi. Telah diputusnya
sebagian besar perkara dan hanya tersisa sekitar sepersepuluh jumlah perkara
yang masuk menunjukkan bahwa MK dipandang memiliki kinerja cukup tinggi.
Secara
garis besar 132 putusan MK tersebut terbagi kepada beberapa kategori, yaitu 37
perkara (28,03%) yang permohonannya dikabulkan; 79 perkara (59,84%) yang permohonannya
ditolak atau yang tidak dapat diterima; 14 perkara (10,61%) ditarik kembali
oleh pemohon, dan dua perkara (1,52%) bukan merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Data ini antara lain menunjukkan bahwa terdapat hampir sepertiga
jumlah pemohon telah dengan tepat menyusun permohonannya dalam pengertian isi
permohonan pengujian UU yang diajukannya dapat dibuktikan memang bertentangan
dengan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan
kesadaran konstitusi yang cukup memadai.
Dalam
setiap bulannya, rata-rata Mahkamah Konstitusi menghasilkan 2,7 putusan. Waktu
yang dibutuhkan untuk memutus satu perkara bervariasi mulai kurang dari satu
bulan hingga 8,4 bulan. Perkara yang membutuhkan waktu paling lama tersebut
adalah PUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena banyaknya keterangan
pemohon, saksi, ahli, dan pihak terkait yang harus didengar dalam persidangan.
Sedangkan
untuk perkara perselisihan hasil Pemilu 2004, MK telah memutus 252
perkara yang diajukan oleh 23 partai politik, 21 perkara yang diajukan calon
anggota DPD, dan sebuah perkara yang diajukan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Putusan MK terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai politik
itu terbagi kepada empat jenis, permohonan dikabulkan sebanyak 41 perkara
(14,96%), permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%), permohonan tidak
dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara (3,28%) ditarik
kembali oleh Pemohon.
Data
ini antara lain menunjukkan bahwa setengah lebih partai politik yang menjadi
Pemohon tidak memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang. Mereka
hanya memenuhi persyaratan administratif, permohonannya menjadi kewenangan MK,
dan signifikan pengaruhnya terhadap posisi yang ada (jika dikabulkan) tetapi
tidak didukung data sahih. Seiring dengan itu hanya 15% pemohon yang
benar-benar memenuhi semua persyaratan agar permohonan diterima, termasuk
memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang.
Putusan
MK terhadap perkara yang diajukan oleh partai politik telah membawa implikasi
terhadap perolehan kursi DPR oleh partai politik di mana terdapat partai
politik yang kehilangan kursi, seperti Partai Golkar (kehilangan 1 kursi DPR)
dan Partai Demokrat (kehilangan 2 kursi DPR), di sisi lain terdapat partai
politik yang mendapat tambahan kursi, seperti Partai Bintang Reformasi
(tambahan 1 kursi DPR) dan Partai Pelopor (tambahan 2 kursi DPR).
Dari
21 perkara yang diajukan calon anggota DPD, hanya satu perkara yang dikabulkan
permohonannya oleh MK dan mempengaruhi penetapan calon anggota DPD, yakni
permohonan Achmad Chalwani dari Provinsi Jawa Tengah yang menyebabkan perubahan
posisi di mana Achmad Chalwani terpilih menjadi anggota DPD menggantikan Dahlan
Rais yang semula ditetapkan KPU sebagai anggota DPD. Data ini menunjukkan bahwa
sebagian besar Pemohon (95%) mengajukan permohonan tanpa didukung data yang
sahih, kuat, dan signifikan dalam mengajukan keberatannya atas hasil
penghitungan suara yang dilakukan KPU.
MK
juga telah memproses dan mengambil putusan terhadap satu-satunya permohonan
dalam perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004, yang
diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Wiranto dan Salahuddin
Wahid. Pasangan ini mengajukan permohonan bahwa penghitungan suara yang
dilakukan KPU tidak akurat karena terdapat sekitar lima juta suara pendukung
mereka yang hilang. Namun dalam persidangan MK, data yang diajukan Pemohon
tidak dapat dibuktikan dan pada puncaknya MK memutuskan untuk menolak
permohonan Pemohon karena dalil yang diajukan tidak terbukti.
Melalui
penyelesaian sengketa hasil Pemilu, MK telah membawa perkara-perkara yang
bersifat politis untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum sehingga menghindarkan
kemungkinan terjadinya aksi kekerasan di jalanan atau lobi-lobi politik. Hal
itu juga merupakan perwujudan dari supremasi hukum dan penegasan bahwa Indonesia
adalah negara berdasar hukum. Walaupun untuk pertama kalinya MK melaksanakan
tugas konstitusionalnya memutus perkara perselisihan hasil Pemilu, namun
berbagai putusan MK mengenai perkara ini dapat diterima secara luas, tidak
hanya oleh pemohon dan termohon, juga konstituen dan para pendukung/massa
partai politik. Hal ini terbukti dengan sangat minimnya tanggapan negatif yang
menggugat atau menentang putusan itu, termasuk melalui aksi unjuk rasa yang
biasanya mengiringi putusan-putusan berkaitan dengan partai politik. Fenomena
ini menunjukkan bahwa MK dipandang telah menampilkan kinerja memuaskan dengan
menjatuhkan putusan yang adil dan benar.
Dalam
konteks demokratisasi, penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2004 oleh MK
secara memuaskan tanpa ada gejolak di tingkat elit maupun massa menunjukkan
bahwa MK telah berhasil mengawal proses demokratisasi di tanah air. Kinerja MK
yang demikian baik tersebut menjadi salah satu faktor signifikan bagi
terwujudnya situasi dan kondisi yang kondusif bagi dimulainya pelaksanaan tugas
lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu 2004 (DPR, DPD,
DPRD, dan Presiden/Wakil Presiden) secara lancar dan tertib.
Untuk
perkara sengketa kewenangan lembaga negara, MK telah menerima 10
permohonan perkara. Dari sepuluh perkara itu telah diputus 10 perkara, yang
terdiri dari 2 perkara ditolak, 5 perkara tidak diterima, dan 3 perkara lagi
ditarik kembali.
Salah
satu perkara sengketa kewenangan lembaga negara diajukan oleh Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita. DPD mengajukan
permohonan sehubungan dengan terbitnya keputusan Presiden Megawati tentang
pengangkatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009. Permohonan
ini disebabkan DPD merasa hak konstitusionalnya dilanggar karena pengangkatan
itu tidak dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD sebagaimana diatur
UUD 1945. Setelah melakukan persidangan beberapa kali, akhirnya MK
mengeluarkan putusan berisi penolakan permohonan Pemohon. Perkara ini merupakan
perkara pertama yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK. Penyelesaian
sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh MK dengan mekanisme
hukum yang tersedia telah menghindarkan terjadinya konflik politik antarlembaga
negara yang berkepanjangan dan instabilitas politik yang merugikan kepentingan
negara dan bangsa.[6]
Dalam
rangka mendukung tercapainya visi dan misi serta tugas MK sekaligus
mensosialisasikan konstitusi dan lembaga pengawal konstitusi (MK), lembaga
negara ini juga menjalankan program publikasi dan informasi, antara lain
melalui situs MK www.mahkamahkonstitusi.go.id, majalah dwibulanan Konstitusi
dan jurnal ilmiah dwibulanan Jurnal Konstitusi. Juga digelar diskusi
interaktif di TVRI dalam acara “Forum Konstitusi” (setiap Kamis pukul
23.00-23.30 WIB) yang membahas berbagai isu atau topik berkaitan dengan
konstitusi dan hukum serta MK. Juga diselenggarakan kegiatan tatap muka antara
Pimpinan atau hakim konstitusi MK dengan berbagai komponen bangsa, baik
penyelenggara negara maupun masyarakat seperti dengan kalangan perguruan
tinggi, insan pers, humas, dan aparat pemerintah daerah. Pada tatap muka
tersebut, Pimpinan atau hakim konstitusi MK menyampaikan berbagai hal mengenai
MK, termasuk mengenai kedudukan, wewenang dan kewajiban, serta perkembangan
pelaksanaan tugas.
Selain
itu MK juga menerbitkan berbagai buku mengenai konstitusi dan hukum, antara
lain buku UUD 1945 dan UU MK dan buku UUD 1945 dalam beberapa bahasa daerah.
Saat ini telah terbit UUD 1945 dalam bahasa Jawa Kromo Inggil, Sunda,
Bali, Bima, UUD 1945 dalam aksara Arab Pegon, UUD 1945 dalam huruf
Braile, dan Mandarin serta Arab. Kesemua terjemahan UUD 1945 dalam bahasa
daerah dan aksara tersebut merupakan terjemahan tidak resmi yang merupakan
bentuk partisipasi dan sumbangsih lembaga negara MK dalam mendukung dan
mensukseskan sosialisasi konstitusi kepada berbagai komponen bangsa.
Seiring
dengan itu, telah dibentuk unit usaha penerbitan dalam struktur Koperasi
Pegawai Setjen dan Kepaniteraan MK yang bergerak dalam bidang usaha penerbitan
buku mengenai hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan. Pembentukan unit
penerbitan dengan nama Konstitusi Press (Konpress) ini bertujuan ikut aktif
membangun kesadaran dan perilaku sadar dan taat hukum dan konstitusi serta
mengembangkan pemikiran dan gagasan kritis seputar hukum, konstitusi, dan
ketatanegaraan. Buku-buku terbitan Konpress dijual kepada umum dan
didistribusikan ke toko-toko buku besar di Jakarta dan daerah.[7]***
CURRICULUM
VITAE
Nama
Lengkap :
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Alamat
Rumah :
Jl. Widya Chandra III No. 7
Jakarta
Selatan
Telp.
021-5227925. HP: 0811-100120;
Email:jimly21@hotmail.com,
jimly_asshiddiqie@yahoo.com
Alamat
Kantor :
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia,
Jl.
Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.
Telp./Faks.
021-3522087.
Email:
jimly@mahkamahkonstitusi.go.id
Pendidikan
1. Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 1982 (Sarjana Hukum).
2. Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1984 (Magister Hukum).
3. Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Indonesia Jakarta (1986-1990), dan Van Vollenhoven Institute, serta
Rechts-faculteit, Universiteit Leiden, program ‘doctor by research’ dalam ilmu
hukum (1990).
4. Post-Graduate Summer Refreshment Course
on Legal Theories, Harvard Law School, Cambridge, Massachussett, 1994.
5. Dan berbagai ‘short courses’ lain di
dalam dan luar negeri.
Pengabdian
dalam Tugas Pemerintahan dan Jabatan Publik lainnya
1.
Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1981 sampai sekarang. Sejak tahun 1998 diangkat sebagai Guru Besar
Hukum Tata Negara, dan sejak 16 Agustus 2003 berhenti sementara sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) selama menduduki jabatan Hakim Konstitusi, sehingga berubah
status menjadi Guru Besar Luar Biasa.
2.
Anggota
Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1988-1993.
3.
Anggota
Kelompok Kerja Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhan-kamnas),
1985-1995.
4.
Sekretaris
Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH), 1999.
5.
Ketua
Bidang Hukum Tim Nasional Reformasi Nasional Menuju Masyarakat Madani,
1998-1999, dan Penanggungjawab Panel Ahli Reformasi Konstitusi (bersama Prof.
Dr. Bagir Manan, S.H.), Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998-1999.
6.
Anggota
Tim Nasional Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, 1996-1998.
7.
Anggota
Tim Ahli Panitia Ad Hoc I (PAH I), Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia dalam rangka Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (2001).
8.
Senior
Scientist bidang Hukum BPP Teknologi, Jakarta, 1990-1997.
9.
Staf
Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 1993-1998.
10.
Anggota
Tim Pengkajian Reformasi Kebijakan Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta, 1994-1997.
11.
Asisten
Wakil Presiden Republik Indonesia bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan
Kemiskinan, 1998-1999 (Asisten Wakil Presiden B.J. Habibie yang kemudian
menjadi Presiden RI sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei
1998).
12.
Diangkat
dalam jabatan akademis Guru Besar dalam Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
13.
Koordinator
dan Penanggungjawab Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum dan Masalah
Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2000-2004.
14.
Anggota
Senat Akademik Universitas Indonesia, 2001-sekarang.
15.
Penasehat
Ahli Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002-2003.
16.
Penasehat
Ahli Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, 2002-2003.
17.
Anggota
tim ahli berbagai rancangan undang-undang di bidang hukum dan politik,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM, serta Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, sejak tahun 1997-2003.
18.
Pengajar
pada berbagai Diklatpim Tingkat I dan Tingkat II Lembaga Administrasi Negara
(LAN) sejak tahun 1997-sekarang.
19.
Pengajar
pada kursus KSA dan KRA LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional)
sejak 2002-sekarang.
20.
Guru
Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum berbagai Universitas Negeri dan Swasta di
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Palembang.
Publikasi
Ilmiah
1.
Gagasan
Kedaulatan dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
2.
Pembaruan
Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Angkasa,
1995.
3.
Pergumulan
Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah,
Jakarta: UI-Press, 1996.
4.
Agenda
Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi,
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
5.
Undang-Undang
Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1998.
6.
Reformasi
B.J. Habibie: Aspek Sosial, Budaya dan Hukum,
Bandung: Angkasa, 1999. Edisi bahasa Inggeris Habibie’s Reform:
Socio-Cultural Aspect and the Legal System, Bandung: Angkasa, 1999.
7.
Islam
dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
8.
Teori
dan Aliran Penafsiran dalam Hukum Tata Negara,
Jakarta: InHilco, 1998.
9.
Pengantar
Pemikiran Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta: The Habibie Center, 2001.
10.
Konsolidasi
Naskah UUD 1945 Pasca Perubahan Keempat,
Jakarta: PSHTN FHUI, 2002.
11.
Mahkamah
Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan Peraturan tentang Mahkamah
Konstitusi di 78 Negara, Jakarta:
PSHTN-FH-UI, 2003.
12.
Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH-UII-Press, 2004.
13.
Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia,
Jakarta: MKRI-PSHTN FHUI, 2004, Konstitusi Press (cetakan pertama, Juli
2005), Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, November 2005).
14.
Memorabilia
Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
15.
Hukum
Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
Jakarta: Konstitusi Press, (cetakan pertama, 2004, cetakan kedua, 2005), Setjen
dan Kepaniteraan MKRI, (cetakan Pertama, Juli
2006).
16.
Model-model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama, April 2005, cetakan kedua, Mei
2005), Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Juli 2006).
17.
Kemerdekaan
Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama, Juli 2005),
Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama,
November 2005).
18.
Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Yarsif Watampone (cetakan
pertama, November 2005), Setjen dan
Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama,
November 2005).
19.
Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama, Oktober 2005,
cetakan kedua, Februari 2006, cetakan ketiga, Agustus 2006), Setjen dan
Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Juni 2006).
20.
Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara
Langsung (Sebuah Dokumen Historis), Jakarta:
Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Februari 2006).
21.
Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama, April 2006),
Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, April 2006).
22.
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI
(cetakan pertama, April 2006, cetakan kedua, Juni 2006).
23.
Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama, Juli 2006),
Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Juli 2006).
24.
Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Juli
2006).
25.
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid I) dan (Jilid II), Jakarta:
Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama, Juli 2006), Konstitusi Press
(cetakan pertama, September 2006).
26. Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta :
Buana Ilmu Populer, 2007.
27. Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta : P.T. Rajawali
Press, 2007.
28. Ratusan makalah yang disampaikan dalam
berbagai forum seminar, lokakarya dan ceramah serta yang dimuat dalam berbagai
majalah dan jurnal ilmiah, ataupun dimuat dalam buku ontologi oleh penulis lain
berkenaan dengan berbagai topik.
[1] Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim
Polri, Bandung, 19 April 2008.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk
lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang
membentuknya. Uraian lengkap mengenai MK di 78 negara dapat dibaca dalam Jimly
Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan
Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.
[4] Pembahasan secara komprehensif mengenai pengujian
konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
[5] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
[6]
Uraian lengkap mengenai pelaksanaan tugas MK dapat dibaca dalam Laporan Tahunan
(Annual Report) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang diterbitkan setiap
tahun mulai 2003.
[7]
Sampai saat ini, Konstitusi Press telah menerbitkan sepuluh buku: (i) Hukum
Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi; (ii) Memorabilia Dewan
Pertimbangan Agung; (iii) Model-model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara; (iv) Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
dan Mahkamah Konstitusi; (v) Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia; (vi) Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara; (vii) Teori
Hans Kelsen tentang Hukum (semua karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.);
Berjalan-jalan di Ranah Hukum: Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H.M. Laica
Marzuki, S.H.; dan Menjaga Denyut
Konstitusi (editor Refly Harun, dkk). Dua buku lainnya adalah Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Maruarar Siahaan, S.H.) dan
buku Jejak-jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
(Prof. Dr. Ismail Sunni). Khusus buku Model-model Pengujian Konstitusional
di Berbagai Negara dan buku Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. telah naik cetak dua kali mengingat
besarnya minat masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar