Minggu, 26 Februari 2012

Mistisisme dan Ortodoksi dalam Tradisi Islam




Mistisisme dan Ortodoksi dalam Tradisi Islam
            Persoalan Ortodoksi selalu muncul tanpa kecuali dalam berbagai pembicaraan mengenai doktrin dan praktek Sufi. Padanya terletak perdebatan antara penganut mistik dan ulama, dan mamainkan peran sentral dalma studi-studi barat mengenai Islam. Ada dua isu yang di pertaruhkan mengenai hal ini :
1.      Dasar-dasar sejarah mistisisme Islam.
2.      Pada tingkat mana Sufisme menyimpang dari inti doktrinal dn ritual Islam.
 Kedua persoalan tersebut mengasumsikan adanya suatu formulasi tradisi yang murni dan orisinil yang bisa digunakan sebagai standar untuk menilai ortodoksi dari sejumlah doktrin dan ritus.
            Langsung atau tidak langsung, pandangan mengenai ulama mempunyai pengaruh dalam Orioentalisme Barat. Hal ini dilihat dalm tulisan Islamolog yang memandang Sufisme sebagai suatu kebangkitan agama asli ras Aryan (Palmer 1867), adapun pandangan ini terus menduduki posisi pertama dalam kesarjanaan Islam. Rahman menyatakan bahwa Sufisme di tandai oleh “ kecenderungan yang membingungkan untuk kompromi denagan kepercayaan dan praktik-praktik populer dari masa yang baru setengah-konversi atau bahkan konversi nominal “(1979: 115).  studi-studi islam di Indonesia teruutama dari Clifford Geertz, menggemakan posisi ini lewat sebutan “puritan” untuk merujuk pada pembaharu modern (Geertz 1960, 1968). Ada tiiga alasan unutk menolak pandangan mengenai ortodok yaitu:
1.      Teori-teori mengenai ulama setidaknya sangat dipengaruhi oleh trasdisi-tradisi non-Islam sebagaimana juga Sufisme.
2.      Ide dasar mengenai formulasi Islam (tradisi agama lainnya) yang “murni” dan “ortodok” menentang fomulasi sebulumnya.
3.      Sebagaimana menurut Goldziher (1981)dan lain-lainnya, Muhammad memberkan paradigma untuk perkembangan Sufisme.
Klaim-klaim terhadap ortodoksi sangat menyandarkan diri terhadap al-Quran. Kendati demikian, seperti kebanyakan kitab suci keagamaan lainnya, al-Quran tidak memuat sesuatu yang komprehensif, sejumlah pertanyaan yang ditujukan dengan logis mengenai kosmologi, soeriologi, etika, ritual dan aspek-aspek agama lainnya, kurang lebih suatu bentuk hukum.
Hadist dan Syari’at merupakan aspek doktrin teologis yang tidak di temuan dalam al-Quran. Rahman (1979: 54) mendefinisikan hadist sebagai “ suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya untuk memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan, atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya, terutama para sahabat terkemukanya.......”. Adapun itu merupakan hasil dari proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Quran digunakan unutk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktik kepercayaan, sosial, dan keagamaan. Upaya untuk merujuk pertanyaan-pertanyaan dan praktik-praktik ini ke Nabi Muhammad akan melegitimasi inovasi dan interprestasi keagamaan. Pada pengamatan Junyboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadist adalah “untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkan kepada nabi. Dan sepanang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu tranmisi hadist dan temuan-temuan“ yang akan didokumentasikan dengan baik ini di rancang dalam enam kumpulan semikanonik yang bersama al-Quran merupakan inti Islam “Ortodoks”.   
Sebagaimana akan di uatarakan nanti hadist akan menawarkan model untuk ritual rakyat (populer ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dus melegkapi juga suatu lingkaran penafsiran. Dalam istilah Sperber, pengetahuan ensiklopedis mengenai adat kebiasaan komunitas muslim awal di tranformasikan ke dalam pengetahuan simbolik ini menumukan ekspresinya di dalam hadist, penafsiran dari penetap-penetap mana suatu segmen pengetahuan simbolik dari populasi muslim kontemporer. Adapun Godziher melihat peran panafsiran dalam pertumbuhan syari’at, di lihat dari perkembangan  yang sebagian besar oleh penaklukan terhadap Arab atas Byzantium dan Persia. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental :
1.      Al-Quran
2.      Hadist
3.      Konsensus Ulama (Ijma’)
4.      Analogi (Qiyas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar