Kamis, 01 Maret 2012

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI




PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
Pemikiran politik al-Mawardi (seorang yuris Sunni) di tuangkan secara komplit dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan Khlifah Abbasiyah melawan para penguasan (amir) dinasti Buwayhiyah, yang sangat efektif pengaruhnya dan untuk menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir. Karya ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran yang mencerminkan jawaban terhadap kebutuhan pada masanya atau pemaparan dan realitas politik dan pemerintahan yang terjadi pada masanya.
            Al-Mawardi hidup pada masa terjadinya pertarungan politik dan teologis yang tajam antara Sunni dan Syi’ah (baik Imamiyah maupun Ismailiyah). maka tidak meng-herankan apabila perhatian utama al-Mawardi ditujukan untuk mendukung keyakinan Keagamaan Sunni dan posisi politik kekhalifahan Abbasiyah yang dia dianggap paling sah (legitimate) secara agama dan politik. Al-Mawardi ingin mempertahankan kesatuan politik umat Islam di bawah kepemimpinan politik khalifah Abbasiyah di Bahdad. Meskipun pikiran-pikirannya lebih merupakan diskursus teologis (ideologis), Namun beberapa teoritisnya dideduksi dari praktik dan realitas kesejarahan.
            Sumbangan penting pemikiran politik al-Mawardi ialah bahwa dia memberikan gambaran yang detail mengenai lembaga politik dan administrasi pemerintahan, yang belum diberikan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Pemikir sebelumnya pada umumnya membahas Imamah dari sudut pandang teologi, sehingga imamah lebih mencerminkan pembelaan teologis terhadap posisi khalifah. Misalnya bahwa kekuasaan Khilafah atau Raja adalah mandat dari Allah swt. (Khilafah memang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi). Malah bagi al-Ghazali, kekuasaan kepala Negara adalah suci (muqoddas) –tidak bias diganggu gugat.
Namun al-Mawardi menyatakan kekuasaan kepala Negara tidak sendirinya berasal dari Tuhan, meskipun tetap berada dalam batasan-batasan kedaulatan legal dan politik Tuhan. Al -mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme kepala Negara dan pemecatannya dengan baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’azl).
Al-Mawardi meletakkan fondasi-fondasi Negara Islam dalam arti keharusan adanya lembaga khilafah, persyaratan-persyaratan calon khilafah, wilayah-wilayah wewenang dan kekuasaan khilafah, aturan untuk lembaga kementrian (wizaroh), pejabat-pejabat eksekutif (tanfidz) dan pejabat-pejabat delegatori (watanfidz), birokrasi dan tata-usaha-administrasi,lembaga peradilan, kepala-kepala daerah/pemerintaha daera (imaroh ‘ala al-bilad) dan panglima-panglima perang.
A.    Imamah dan Imam (Kepala Negara)
Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep ummah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepalaNegara.
            Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al Mawardi, “Al Imamah maudu’atu li khilafat al nubuwwah fi hisarat al din wa siyat al dunya”. Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :
          “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).
           Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih denganyang memenuhi syarat-syarat tertentu.
           Bagi al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari,:
1.      Pemilihan oleh (para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain.
2.      Penunjukan kepala Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci.


          Menurut al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/-memiliki 7 (tujuh) persyaratan,
a)       Rasa keadilan (‘adalah);
b)       Pengetahuan (‘ilm);
c)      Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
d)     Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
e)      Berwawasan luas;
f)       Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti) Islam dan melaksa-nakan jihad;
g)    Punya garis keturunan dari Quraisy
                Syarat terakhir tidak dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan imam baru dengan kontrak yang baru pula.

                 Tugas dan tanggungjawab seorang imam menurut al-Mawardi :
a)         Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi konsensus generasi Islam awal;
b)          Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
c)          Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
d)         Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan;
e)         Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh;

f)           Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
g)          Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang) dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut ijtihad.
h)         Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional)
i)           Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
j)           Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara agama.
              Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam (lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni:

a)      Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa pengecualian.
b)      Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para pemimpin wilayah (amir).
c)       Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan, direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
d)    Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas khusus, seperti hakim                      daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer daerah.

A.    Lembaga Kementrian (Wizarat)
             Menurut al-Mawardi, sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’) karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung, karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.
              Konsep Wizarah sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya. Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan imamah juga boleh. Menurutnya ada dua macam wizarah (kementrian) yakni,
1.      Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
              Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.
2.      Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
               Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka.
               Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.



              Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni,
a)      Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
b)     Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah);
c)      Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang;
d)    Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.
               Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz. Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni,
               a)  Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka;
b)      Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at;
c)       Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
               Di luar  itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.
B.     Pemerintaha Daerah (‘imart’ala al-Bilad)
                  Pemikiran al-Mawardi tentang pemerintahan daerah (gubernur propinsi, kepala daerah) karena suatu negara mempunyai wilayah yang sangat luas. Sehingga penguasa daerah dapat melaksanakana kekuasan penuh didaerahnya, dengan syarat tetap mengakui kekuasaan tertinggi khalifah dalam hubungannya dengan hukum Islam. Kekuasaanya dibagi dua yakni umum dan khusus.
                  Kekuasaan yang bersifat umum meliputi dua macam, yakni,
1. Imarat al-istikfa’
                   Yaitu kekuasaan kepala daerah atas wilayah tertentu dengan (karena) pengangkatan khalifah yang tugas, wewenang, bertanggungjawabnya dibatasi oleh isi kontrak dan penugasannya oleh khalifah. Ruang lingkup tugasnya meliputi,
                  
a)      Menangani urusan militer, mengorganisasi dan menggaji militer, kecuali jika khalifah telah menentukan;
b)      Menangani urusan-urusan hukum dan memilih qadi atau hakim;
c)      Menarik pajak dan menangani urusanzakat serta menunjuk pagwai-pegawai  yang mengurus-urusan tersebut;
d)     Melindungi agama dan menjaga kemurnian ajarannya;
e)      Menegakkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia;
f)       Memimpin shalat jamaah dan jum’at atau menunjuk orang untuk mewakilinya;
g)      Mengorganisasi pemberangkatan haji;
h)      Jika daerahnya berbatasan dengan Negara musuh, maka amir harus memimpin jihat melawan musuh dan jika menang membagi barang rampasannya dan mengambil seperlima untuk mereka yang berhak.
2.  Imarat al-Istila’
                          Yaitu kepala daerah memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan keluarga yang berpengaruh disuatu daerah (propinsi), yang ini biasanya terjadi di daerah yang letaknya jauh. Pada masa merosotnya pengaruh Abbasiyah akhir abad ke-9 dan 10, bermunculan kekuatan baru di beberapa daerah yang dipimpin oleh pemimpin militer lokal, yang merebut kekuasaan dengan kekuatan militer dan menyatakan kekuasaannya secara sepihak sebagai penguasan. Imarat al-Istila’ juga disebut dengan al-Ghalabah.
Adapun kewajiban dan tanggung jawab Imarat al-Istila’ yaitu,
a)      Mempertahankan posisi imamah sebagai pengatur agama sehingga syari’at Islam tetap terpelihara;
b)      Mempertahankan sikap taat (loyal) terhadap agama;
c)      Mempertahankan kesatuan agar umat Islam memiliki kekuatan menghadapi lawan-lawannya;
d)     Menjalankan hukum-hukum agama dan memelihara berlakunya ikatan-ikatan keagamaan;
e)      Menggunakan harta (kekayaan) Negara secara benar;
f)       Menegakkan peraturan-peaturan secara adil (proporsional);
g)      Memelihara agama dan mengajak rakyat untuk taat kepada Tuhan.
Imarat al-Istila’diperbolehkan mengangkat Wazir tawfidh, tapi jika dipan-dang tidak memenuhi persyaratan, maka khalifah sendiri yang mengangkat wazir.
                            Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
                Perbedaan antara Imarat Istikhfa’ dengan Imarat al-Istila’, adalah,
a)        Imarat Istikhfa’ memiliki wewenang lebih terbatas dibanding Imarat al-Istila
b)       Imarat Istikhfa’ hanya memiliki wilayah yang ditentukan oleh khalifah, sedang Imarat al-Istila’ wilayahnya meliputi daerah yang berhasil taklukan oleh amir;
c)      Imarat al-istila’’ boleh mengangkat wazir, sedang Imarat Istikhfa’ tidak boleh.
C.    Lembaga Peradilan
1.    Peradilan Qada
                              Lembaga ini dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan berdasarkan hukum syari’at, yang meliputi kehidupan sosial keagamaan. Untuk itu khalifah menunjuk seorang qadi dari kalangan yuris (orang yang menguasai hukum Islam). Namun qadi memiliki independensi untuk mengambil keputusan hukum berdasarakn syari’at, bahkan ia tidak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya.
                    Syarat yang harus dipenuhi seorang qadi adalah; 1) Harus seorang laki-laki dewasa; 2) Berakal; 3) memiliki kecerdasan; 4) Merdeka; 5) Muslim; 6) Adil; 7) sehat pendengaran dan penglihatan dan 8) Memiliki pengetahuan luas tentang Syari’ah atara lain ilmu usul dan furu (mencakup Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas. Sementara kekuasaan qadi, meliputi sepuluh aspek :
1.      Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara pemaksaan hukum
2.       Membebaskan orang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman, dan memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun dengan dilakukan sumpah;
3.      Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot;
4.      Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya;
5.      Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan syari’at.
6.      Menikahkan janda dengan orang yang sederajat, jika tidak ada wali dan menghendaki menikah;
7.      Melaksanakan hukuman bagi terhukum;
8.      Mengawasi para pegawai demi kemaslahatan mereka;
9.       Meneliti para saksi sekretarisnya, meski nampak jujur dan kredibel, serta menentukan penggantinya.
10.  Menegakkan persamaan didepan hukum antara yang kuat dan yang lemah, dan mengakkan keadilan dalam peradilan baik bagi bangsawan maupun rakyat biasa.
Dalam perspektif kontemporer, fungsi lembaga qadi mirip dengan fungsi yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi qadi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum dan mengadili perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam, disisi lain memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam rangka legalisasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang di derivasikan dari Syari’at.
                Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.
2. Peradilan Tindak Ketidakadilan (Muzalim)
              Lembaga ini dibentuk untuk mendengarkan pengaduan rakyat yang mendapat perlakuan tidak adil dari pejabat pemerintah. Orang yang pertama kali mengadakan lembaga ini adalah Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah bani Umayyah. Gagasan ini muncul setelah ia membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa, yang kemudian ia menunjuk Abu Idris (seorang hakim) untuk menyimpulkan dan memutuskan perkara dengan meneliti sebab-sebabnya.

               Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan,
a)      Tindak ketidakadilan dan tirani yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya terhadap rakyat;
b)     Ketidakadilan dalam penilaian atau penarikan pajak;
c)      Supervisi (pengawasan) keuangan pejabat publik di biro-biro pemerintahan;
d)     Klaim tentara regular berkaitan dengan pengurangan gaji mereka;
e)      Mengembalikan hak yang diambil paksa;
f)       Pengawasan atau pemeliharaan wakaf;
g)      Penegakan keputusan yang diberikan oleh qadi yang belum dilaksanakan;
h)     Mengambil alih wewenang petugas (biro) ketertiban umum (hisbah) yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
i)        Pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara kolektif;
j)       Pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pengadilan secara umum.
              Seorang yang bertugas dalam lembaga Mazalim, harus memenuhi persyaratan antara lain,
a)      Memiliki kedudukan;
b)     Mempunyai pengaruh;
c)      Berwibawa;
d)     Mempunyai harga diri;
e)      Tidak rakus, tidak mudah silau oleh dunia.
f)       Menghindari perbuatan maksiat dan menjauhi syubuhat (hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya).
               Sementara dalam memeriksa atau menginvestigator terhadap suatu kasus, Mazalim harus menghadirkan lima elemen, yaitu,
a)      Petugas keamana dan pembanu (al-humat dan a’wan);
b)     Para qadi dan hakim untuk mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak mereka dan pengetahuan tentang apa-apa yang berjalan dengan majelis mereka;
c)      Para ahli fiqh sebagai tempat bertanya mengenai maslaah yang rumit;
d)     Penulis (sekretaris) yang mencatat perjalanan siding dan hasilnya;
e)      Saksi-saksi

             Dalam pemikiran al-Mawardi mengenai Peradilan, dia menungkapkan perbedaan menyangkut yuridiksi antara Mazalim dan qadi, yaitu,

a)      Mazalim memiliki Kedudukan dan kekuasan lebih tinggi dari pada qadi;
b)     Mazalim memiliki wilayah kekuasaan yuridiksi lebih luas baik dalam lingkup tindakan maupun pemberian hukum dari pada qadi;
c)      Mazalim memiliki kekuatan intimidasi lebih besar dari pada qadi;
d)     Mazalim memiliki kekuatan memeriksa tindak kejahatan yang dilakukan secara terbuka dan mengoreksi serta menindak pelanggaran terbuka, sedang qadi tidak;
e)      Mazalim memiliki kekuasaan penuh memberikan panggilan untuk meng-hadapi siding pengadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar