Pembahasan berkaitan ini berkaitan dengan gerakan tarikat yang berkembang di Indonesia. Dalam kajian ini yang diungkap dan focus pembahasanya mengenai hal-hal meliputi pengertian, tahap yang mesti di lalui dalam tarikat, proses praktis dan pandangan masyarakat mengenai tarikat.
Tarikat berasal dari bahsa arab “At-thariqah”, yang berarti “jalan”.
Jalan yang d maksud disini adalah jalan yang di tempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah. Asy-Syekh Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tarikat sebagai berikut[1] :
“Tarikat adalah pengamalan syariat dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjuhkan (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.”
“tarikat adalah menjauhi larangan-larangan, baik yang lahir maupun yang batin dan menjujung tinggi perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuanya.”
“Tarikat adalah menghindari yang haram dan makruh dan berlebih lebihan dalam hal yang mubah dan melaksanakan hal-hal yang sunat sebatas kemampuan di bawah bimbingan seseorang arif dari ahli nihayah.”
Dari penertian pengertian ini, dapat bahwa tarikat berhubungan dengan amalan-amalan atau latihan-latihan kerohanian dengan cara tertentu agar dekat cengan Allah. Di antara hal-hal yang dicatat di dalam definisi definisi di atas adalah definisi pertama yang meliputi pengalaman atau upaya yang harus dilakukan oleh seseorang sufi..
Hal ini dilakukan dengan cara:
(1) Pengamalan syariat;
(2) menghayati hakikat ibadah;dan
(3) Tidak mempermudah dalam ibadah.
Adapun definisi kedua lebih menekankan konsistensi dan kesabaran dalam proses mendekatkan diri dengan Allah, misalnya:
(1) Menjauhi segala apa yang dilarang, baik yang lahir maupun yang batin;
(2) Menjunjung tinggi semua perintah Allah dengan kadar kemampuan yang maksimal.
Adapun definisi ketiga menjelaskan bagaimana semaksimal mungkin seorang sufi melaksanakan mal ibadh yang wajib baginya. Namun, harus didampini oleh seorang guru sufi agar amalannya tidak menyimpang. Intisari dari definisi ketiga adalah:
(1) Menhindari segala yang haram,makruh, dan berlebihan dalam yang mubah;
(2) Menunaikan segala yang fardhu;
(3) Melaksanakan amalan-amalan sunat sebatas kemampuan di bawah bimbingan seorang yang arif dari ahl al-nihayah.
Demikian juga, menurut Harun Nasution,bahwa tarikat berasal dari kata “thariqah” adalah jalan yang harus ditetapkan oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqat juga mengandung arti organisasi (tarikat), yang mempunyai svekh, upacra ritual, dan bentuk zikir tertentu[2].
Dengan demikian, ada dua pengertian tarikat.
(1) Tarikat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai tingkat kerohanian tertentu. Tarikat dalam sisi ini adalah dari sisi amalih.
(2) Tarikat sebagai sebuah kumpulan atau organisasi yang di dirikan menurut aturan yang telah ditetepkan oleh seorang syekh yang menganut suatu aliran tertentu. Dalam organisasai itulah, seorang syekh mengajarkan amalan-amalan (tasawuf) menurut aliran tarikat yang dianutnya.
Tarikat padamulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk kelompok yang menjadi pengikut bagi para syekh.Dengan kata lain,arikat adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian, tasawuf adalah usaha yang mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarikat tu adalah cara atau jalan yang di tempuh seseorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan.inilah hubungan antara trikat dan tasawuf,”[3]
B. Sebagai Jaringan Sosial Politik
Seorang penyair melayu, menabuh gendering perang melawan penjajah Belanda dengan bait bait syair menggelora dan membangkitkan jiwa seorang muslim.dengan syair yang luar biasa ini, masyarakat Palembang menghadang kekuatan lawan.
Martin van Brunessen menulis[4] bahwa berapa bait dari syair perang menantang[5], tersebut menceritakan phlawan orang Palembang terhadap pasukan belanda yang dikirim untuk menahlukan kota mereka pada tahun 1819. Perang ini dikenal dengan nama komandan pasukan belanda,Muntinghe, yang dimelayukan menjadi Menteng. Sang penyair menggambarkan bahwa bagaimana kaum putih (“Haji”) mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabilillah. Mereka membaca asam (Al-Malik, Al-Jabbar), berzikir, dan beratib dengan suara keras atau “fana”. Dalam keadaan tak sadar (“mabuk zikir”),mereka menyerang tentara belanda. Mereka berani mati mungkin juga mereka kebal dan sakti lantaran amalan tadi. Dibuat semangat keberanian, mereka berhasil mengalahkan serangan pertama pasukan belanda
1. Syekh dan Sultan
Tarikat Naqsyabandiah merupakan salah satu tarikat yang paling besar, yang cabang cabangnya hamper terdapat di seluruh dunia islam,menyebar dari Yogoslavia dan Mesir sampai cina dan Indonesia. Hasil pengamatan yang dilakukan banyak sarjana menunjukkan bahwa syekh syekh tarikat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit politik. Contoh klasik adalah syekh ‘Ubaidallah Ahrar (khwarij Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarikat Baha’uddin Naqsaband.
2. Tarikat dan Pemberontakan
Jimat-jimat, llatihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam pertarekatan ( walaupun mempunyai daya tarik kuat ). Sekalipun demikian, pada situasi tidak aman, dalam perang atau pemberontakan, aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, bukan tarekat yang melopori pemberontakan, melainkan para pemberontak, yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian. Bebrapa kasus laporan resmi menyebutkan bahwa menjelang pemberontakan, orang-orang berjubel mendatangi syekh-syekh tarekat yang berpredikat sebagai ahli kesaktian, untuk minta dibaiat oleh mereka.
Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti- Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun 1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan tarekat samaniyyah. Orang berbondong-bondong datang untuk dibaiat dan diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tanpa memedulikan bahaya. Tiba-tiba, pemberontakan menjadi jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum beratip be’amal tewas tertembak. Dalam kasus ini, tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah tarekat dilibatkan[6].
3. Tarikat sebagai jaringan social
ada suatu ciri tarekat lagi yang tidak boleh diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Amalan terekat bisa saja dilakukan secara perseorangan, tetapi biasanya murid yang telah dibaiat akan tetapi menjaga hubungan khusus dengan gurunya juga dengan sesame murid. Kalau tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara teratur ikut zikir bersama dan cenderung bergaul lebih banyak dengan sesama “ikhwan” dari orang lain.
Seorang syekh besar biasanya mempunyai beberapa orang wakil dan melalui mereka, ia bisa memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas. Jaringan syekh-syekh dan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang kadang-kadang sangat berpengaruh. Contoh klasik dari tarekat sebagai jaringan pemersatu masyarakat adalah tarekat Sanusiyah di Libya. Orang Badui disana terdiri atas sejumlah suku yang di antara mereka terjadi banyak persaingan dan peperangan.
Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekat bisa mengoordinasi dan mempersatukan semua suku Badui.
a. Pemikiran Tareqat Hamzah Al-Fansuri
Dikatakan bahwa ajaran Siti Jenar tentang kesatuan Khaliq dengan makhluq merupakan tahap pertama tasawuf falsafi di Indonesia. Ajarannya kemudian meredup karena ditentang oleh wali-wali yang lain. Keadaan tasawuf falsafi di Indonesia terus berlangsung sampai munculnya Hamzah Fansuri.
Riwayat hidup Hamzah Fansuri, dimulai pada tahun dan tempat kelahiran, tahun dan tempat meninggal, tempai ia dimakamkan, apa saja karya-karya yang telah ia tulis, masih dipersoalkan oleh para peneliti dan sangat sulit ditemukan. Hanay berdasarkan beberapa fakta yang terbatas, para pengkaji menyimpulkan bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Berkenaan dengan tempat kelahiran Hamzah Fansuri.
b. Muhammad Kholil Al-Maduri
Pulau Madura yang terletak di Jawa Timur banyak melahirkan ulama besar sejak zaman dahulu hingga sekarang. Salaha seorang di antara mereka Muhammada kholil Al-Maduri. Nama lengkapnya ialah Kyai Haji Muhammad Khalil bin Kyai Haji Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang terkenal itu.
Kyai Muhamma Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil Akhir 1235 H/27 Januari 1820 M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan Pulau Madura Jawa Timur . Kyai Haji Muhammad Khalil berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung dari keluarga.
c. Aliran Tasawuf Sunni Ar-Raniri
Hasanji Al-Hamid Asy-Syaf’i Al-Asy’ari Al-Aydarusi Ar-Raniri. Dia lahir di Ranir sebuah kota pelabuhan tua dipantai Gujarat, India. Ia secara umum dianggap lebih sebagai seorang alim Melayu Indonesia dari pada India atau Arab. Tahun kelahiran tidak diketahui secara pasti,tapi kemungkinan adalah menjelang abad ke-16. Dikatakan bahwa ibunya adalah seorang melayu, tapi ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadharami yang mempunyai tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pendidikan pertamanya diperolah di Ranir, kemudian di wilayah Hadharamaut.
Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, Ar-raniri dalam hal kalam dan tasawuf dengan fasih mengutip Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Al-Qunyawi, Al-Qasyani, Al-Fairu zabadi,Al-Jilili, dan para ulama’ terkemuka lainnya.
d. Habib Husain Al-Qodari
Menelusuri kisah tentang Habib Husain Al-Qodari, sesunggunya tidak terlalu sukar karena banyak naskah yang khusus membicarakan boigrafinya. Akan tetapi, semuanaskah yang telah di jumpai tidak jelas nama pengarangnya karena yang disebut hanya nama penyalinya. Semua naskah dalam bentuk tulisan melayu atau jawi. Nama lengkapnya, As-sayyid / As-Syarif Husain bin Al-habib Ahmad Al-qadari, Jamalul Lail, sampai nasabnya kepada nabi Muhammad SAW. Nama gelarnya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M. wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/1771 M dalam usia 64 tahun. Ia mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di negeri itu selama empat tahun.
e. Pemikiran Al-Palembangi
Namanya Abd Ash-Shamad Al-Palembani. Ia berasal dari keturunan ArabYaman. Ayahnya, Syekh Abd Al-Jalil ibn Syekh Abd Wahhab Al-Mahdani yang berhijarah ke kota Palembang pad penghujung abad ke-17 M. Ia pernah menjadi mufti di wilayah Kedah pada tahun 1700 M.
Al-Palembani merupakan tokoh tasawuf sunni yang menggantikan posisi Ar-Raniri dalam pergelutan pemikiran menghadapi pengikut-pengikut Hamzah Fansuri. Al-Palembani di pandang sebagai tokoh yang menjadi faktor penentu keberhasilan Ahlussunnah Waljama’ah dan tasawuf sunni memantapkan kedudukan dan pengaruhnya di Indonesia. Hal ini dapat dipahami bahwa ketika tasawuf falsafi yang dimotori oleh Hamzah Fansuri terhembus dengan kuatnya, karya-karya Al-Palembani, terutama malalui terjemahan dua karya Al-Ghazali, memberikan pengaruh yang lebih luas.
Menurut Al-Palembani, Ma’rifatullah secara langsung di dunia adalah sesuatu yang mungkin, tetapi memandang secara benar-benara kepadanyahnya dapat terjadi di akherat. Ma’rifat tercapai dalam bentuk cahaya yang ditentukan Allah SWT. Ke dalam hati hamba.
C. Dampak Positif dan Negatif Kelembagaan Tarekat
Dalam perkembangan dan penyebarannya memiliki beberapa dampak yaitu positif dan negative yang diantaranya adalah :
1. Dampak positif
Dampak positifnya adalah :
o Dengan mengamalkan thariqat berarti mengadakan latihan jiwa (riadhoh) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dengan melalui perbaikan budi pekerti dalam berbagai seginya,
o Dengan bertariqat dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah Zat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikiran dan dibarengi dengan tafakkur yang secara teras-menerus,
o Dengan bertariqat akan tirnbul perasaan takut kepada Allah sehingga timbul pula dalam diri seseorang itu suatu usaha uxituk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lupa kepada Allah.
2. Dampak Negatif
Dampak negatifnya adalah :
o Do’a dan dzikir yang bid’ah tidak mampu memenuhi tujan peribadatan, yaitu menyucikan dan membersihkan hati dari berbagai kotoran, tidak mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang bersarang di dalam hati, apatah lagi mendekatkan hati kepada sang Pencipta. Berbeda halnya dengan do’a dan dzikir yang bersumber dari Al Quran dan hadits yang shahih, do’a dan dzikir yang bersumber dari keduanya merupakan obat yang sangat berguna untuk menghilangkan berbagai kotoran dan penyakit di dalam hati. Dengan demikian orang yang lebih memilih untuk menggunakan berbagai do’a dan dzikir yang bid’ah, adalah mereka yang lebih memilih sesuatu yang hina sebagai ganti dari sesuatu yang lebih baik.
o Do’a dan dzikir bid’ah tersebut menjadikan pelakunya terluput dari pahala besar yang disediakan bagi mereka yang konsisten mengerjakan dan menerapkan dengan benar berbagai do’a dan wirid yang bersumber dari Al Quran dan sunnah. Mereka yang mengerjakan berbagai do’a dan dzikir bid’ah tersebut tidak mendatangkan pahala dan manfaat bagi, justru mereka memperoleh kemurkaan Allah ta’ala atas perbuatannya tersebut.
o Do’a yang diada-adakan (bid’ah) bertentangan dengan syari’at, oleh karenanya sangat sulit terkabul, padahal tujuan dari berdo’a adalah agar permohonan kita dikabulkan.
o Berbagai do’a dan dzikir yang bid’ah pada umumnya mengandung berbagai perkara yang mungkar, entah karena dipraktekkan dengan keliru dan tidak pada tempatnya, sebagai perantara kesyirikan, mengandung tawassul bid’ah, atau bahkan kesyirikan yang nyata karena memanjatkan permintaan yang hanya pantas ditujukan kepada Allah, Rabbul ‘alamin.
o Orang yang mempraktekkan do’a dan dzikir bid’ah dan meninggalkan tuntunan Allah dan rasul-Nya telah membarter kebaikan dengan keburukan, mengganti sesuatu yang bermanfaat dengan yang berbahaya, dan tidak disangsikan lagi hal ini tentu merupakan kerugian yang teramat nyata.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahsaan di atas dapat kita simpulkan bahwa thariqat dengan segala bentuk ajarannya akan mampu melahirkan manusia-manusia yang mampu mengetahui hakikat dirinya, hakikat. syaria'at islam yang diturunkan kepadanya dan akhirnya akan mengenal sifat-sifat Tuhannya. Dari kesadaran yang dimiliki tersebut akan terbentuk manusia-mamisia yang merniliki kesadaran yang sempuma dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya atau dengan kata lain bahwa melalui thariqat akan tercipta mannsia-manusia yang paripuraa atau yang sering disebut sebagai insan kamil yang nantinya akan mampu mengembangkan tugas-tugasnya secara sempurna, baik tugasnya sebagai khalifah filard maupun tugasnya sebagai hamba Allah.
Guna tercapainya tujuan tliariqat secara kaffah hams dilalui beberapa hal yang lekat kaitannya dengan ajaran thariqat itu sendiri, yaitu ajaran-ajaran dan tingkatan-tingkatan thariqat. Secara umum di dalam ajaran thariqat memiliki beberapa ajaran. Lebih spesifik lagi yang terkait dengan fokus penelitian, dalam thariqat Nagsyabandiyah di kenal beberapa ajaran-ajaran seperti: Zikrullah (mengingat Allah), baik zikir lisan dengan menyebut "Allah" dengan bersuara maupun zikir qalbi dengan mengingat atau menyebut "Allah" dalam hati (tidak bersuara).
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah Yasin, siti. Tasawuf modern, Tesis. Jakarta: Perpustakaan UIN. 1992
Hamka. Akhlaqul Karimah. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1992.
Halim Soebahar, Abd. Wawasan baru pendidikan islam. Jakarta: Kalam mulia.2002
Hamka. Ayahku. Jakarta: 2000.
Hamka. Kenag kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang. 1979
Tidak ada komentar:
Posting Komentar